[Kisah Plovea] Ssst….. Dengar-Dengaran Saja Dulu….. (Ep. 1)

Si Gadis

“Ba dengar-dengar kwa ngana anak, susah ngana pe hidop nanti, kasiang anak eeee, kalo nintau ba dengar pa orangtua….”

Kalimat itu, adalah kalimat yang paling sering didengarnya dari sejak kecil hingga di usianya yang hampir dua puluh tiga tahun ini. Di antara kakak beradiknya, dia memang yang paling bandel sejak kecil. Perempuan tapi tomboy, hobinya memanjat pohon, bermain di sungai, berkelahi dengan teman lelaki, dan beradu argumen dengan papa mamanya meski dia tahu bahwa melawan mereka bisa berakibat pada kakinya dicium mesra oleh ikat pinggang papa atau kemoceng mama. Seiring dia besar, perilaku tomboy makin berkurang dan tanpa sadar dia mulai menjadi gadis yang gemulai. Rambut yang tadinya pendek sekarang selalu dibiarkannya panjang bahkan beberapa kali hampir menyentuh pinggang. Lari-larian dan memanjat pohon tidak lagi menjadi hobinya karena sekarang dia lebih suka berpakaian modis dan membaca gosip di tabloid remaja. Namun meski begitu, tak berarti dia sudah berubah menjadi anak yang mau menuruti kata orangtua. Sudah dibilang tidak boleh berpacaran selama sekolah, namun masih kelas 1 SMA pun dia sudah mengenal arti punya pacar yang berujung pada papanya marah besar dan memberi ultimatum untuknya, pilih pacar atau sekolah. Saat itu dia memilih sekolah. Meskipun ketika berada di kelas 3 SMA, lagi-lagi dia memiliki pacar.

Sejak kecil, dia anak gadis yang termasuk bandel serta keras kepala. Dan kalimat di atas itu akan selalu keluar dari mulut mamanya setiap kali dia bermasalah hingga harus mendapat ceramah berujung hukuman dari orangtua.

Saking seringnya kalimat itu dia dengar, tanpa sadar seiring dia dewasa, kalimat itu terpatri dalam pikirannya hingga kemanapun dia melangkah dia selalu seperti mendengar mamanya mengucapkan kalimat itu.

Dan kalimat itulah yang kini dia dengar dalam pikirannya, ketika di suatu hari menjelang tengah malam setelah dia pulang dari pekerjaannya sebagai IT Administrator di salah satu perusahaan ritel, dia diajak berbicara serius oleh papanya tentang masa depan dan terutama tentang pekerjaannya.

“Kapan kamu mulai kerja di kampus?” Papanya bertanya waktu itu.

“Kalau semester baru sudah mau mulai, pa, sekitar satu bulan lagi,” jawabnya sambil berharap agar percakapan ini segera selesai karena yang dia inginkan adalah segera tidur mengingat besok dia mendapat shift pagi.

“Kalau tinggal sebulan lagi, maka berhentilah dari pekerjaan ini.”

Seperti biasa, papanya tidak pernah berbasa-basi dengannya. Terlalu sering beradu argumen dari sejak dia kecil membuat di antara mereka tidak pernah ada basa-basi, hal yang tanpa sadar membuat kedekatan khusus dalam hubungan ayah dan anak perempuan di antara mereka.

“Sayanglah pa, di pekerjaan ini ada pengalaman….,” dia mencoba untuk kembali berargumen namun seperti yang biasa terjadi, argumentasinya selalu dengan mudah dipatahkan oleh papanya.

“Tidak ada sayang!” Papanya langsung memotong, “Benar pun yang kamu bilang bisa mendapat pengalaman di pekerjaan ini, tapi resikonya jauh lebih besar dari keuntungannya. Papa tidak rela anak gadis papa dalam seminggu bisa beberapa kali pulang hampir tengah malam. Bukan masalah gajinya kecil, walau papa tahu kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih baik, tapi resiko pekerjaannya terlalu besar. Kalau ada apa-apa dengan kamu, hati papa yang hancur tapi yang punya ritel itu mana akan peduli?”

Dia sebenarnya masih ingin berargumen lagi, bahwa dia sudah besar, kuliah sudah selesai tinggal menunggu wisuda, karena itu seharusnya dia sudah bisa membuat keputusan sendiri dan bukankah seharusnya orangtuanya bersyukur bahwa bahkan sebelum dia menerima surat lulus dari kampus pun dia sudah mendapat tawaran bekerja dari perusahaan ritel ini. Dia juga tahu pekerjaan ini hanya akan menjadi sangat sementara buat dia karena tawaran mengajar di kampus pun sudah ada dan dia sudah berencana akan berhenti ketika dia mulai bekerja di kampus. Rencananya tidak hanya sampai di situ, dia juga sedang mencari bahan untuk proposal penelitian S2 nanti karena dia sudah berencana akan melamar untuk beasiswa S2 di luar negeri.

Dia masih ingin berargumen, bahwa biarkanlah semua proses ini dia lalui. Bekerja sebagai staf biasa di sebuah perusahaan ritel memang bukan pekerjaan impian, tapi bukankah di situ juga ada pengalaman? Namun semua argumen itu dia tahan, karena dia tahu bahwa di satu sisi papanya juga benar. Pekerjaan ini beresiko besar, dalam seminggu bisa paling sedikit dua kali dia mendapat shift dengan durasi dari siang sampai malam dan sebagai IT Administrator dia tidak bisa pulang sebelum semua pembukuan hari itu selesai terproses di dalam server. Sejauh ini papanya yang selalu menjemputnya setiap kali dia harus pulang hampir tengah malam. Dari raut muka papanya setiap kali menunggu dia di depan tangga pintu depan perusahaan ritel itu, dia mengerti kalau papanya tidak suka. Bukan tidak suka menjemput anak gadisnya. Tapi tidak suka dengan ritme pekerjaan anak gadisnya yang seperti ini, yang tidak sehat dan yang tidak aman.

Saat itu, lagi-lagi kalimat yang sering diucapkan mamanya itu terngiang di kepalanya, dia pun tahu mungkin dulu dia sering tidak mendengar orangtua, namun sudah saatnya kali ini dia mendengarkan mereka.

Keesokan harinya dia menyampaikan surat pengunduran diri dari perusahaan ritel itu.

Tak lama berselang, papanya mendapat kabar mengenai rekrutmen di dua perusahaan BUMN. Dengan semangat menggebu-gebu, papanya pun menyuruh dia untuk mengajukan lamaran. Saat itu, dia sudah mulai menikmati pekerjaannya di kampus. Mengajar adalah salah satu hal yang dia senangi dan dia sudah terbiasa mengajar di depan adik-adik tingkatnya sebagai asisten dosen ketika dia masih berstatus mahasiswa, karena itu dia tidak lagi mengalami kesulitan dalam mengajar sekarang ini, bahkan dia sangat menikmatinya hingga di titik di mana dia yakin bahwa inilah yang ingin dia kerjakan di hidupnya. Karena itu, ketika papanya menyuruh dia mengajukan lamaran di dua perusahaan BUMN itu, rasanya dia ingin berteriak bahwa dia tidak ingin, bahwa bukan itu yang menjadi cita-citanya. Dia ingin mengajar di kampus dan ingin melanjutkan pendidikan sampai S3 di luar negeri.

Dia mencoba berargumen lagi dengan papanya bahkan sampai menggunakan alasan bahwa ijazah resmi dari kampus belum keluar, yang ada baru surat keterangan lulus saja, dan bahkan wisuda pun baru akan diadakan di bulan depan nanti. Tapi papanya tetap berkeras, tetap yakin bahwa surat keterangan lulus pun sudah lebih dari cukup untuk memenuhi syarat lamaran.

“IPK-mu yang 3,98 itu sudah menjadi jaminan bahwa berkasmu bisa diterima,” kata papanya waktu itu.

“Tapi pa, cita-citaku mengajar di kampus…….,” dia berucap lirih.

Mendengar itu, dia sempat melihat ada rasa simpati yang berkelebat di mata coklat papanya. Tapi hanya sebentar saja karena sedetik kemudian mata papanya kembali melihat dia dengan tajam. Tatapan yang sudah terbiasa dilihatnya dari sejak dia kecil, tatapan yang dia tahu bisa mengintimidasi orang lain, namun yang mereka berdua tahu tatapan tajam itu justru mengisyaratkan betapa papanya mengasihi dia dan hanya menginginkan yang terbaik untuknya.

“Ikuti saja dulu, jika memang rencana Tuhan adalah kamu bekerja di BUMN, maka pasti kamu akan lulus. Tahapan tesnya kan banyak. Tapi jika memang rencana Tuhan untukmu adalah sesuai dengan cita-citamu, maka pasti kamu gagal dalam seleksi ini,” demikian akhirnya papanya berucap.

Mendengar itu, lagi-lagi kalimat yang sering diucapkan mamanya terngiang di kepalanya dan lagi-lagi dia tahu bahwa keputusan yang harus dia ambil adalah mengikuti kata-kata papanya. Dia tidak tahu mengapa, namun yang dia rasakan saat itu adalah salah satu hal yang bisa membuktikan pada orangtuanya bahwa dia sekarang sudah dewasa justru dengan mulai menunjukkan pada mereka bahwa dia bukan lagi sosok yang keras kepala seperti dulu karena itu dia mau mendengarkan mereka.

Lamaran pun dia ajukan ke dua perusahaan BUMN yang sedang membuka rekrutmen itu. Yang satu tesnya diadakan di Manado, sementara yang satu di Jakarta. Dia pun harus mengatur waktu mengikuti tahap seleksi demi seleksi di dua kota yang berbeda sambil tetap mengajar di kampus. Semua tahapan seleksi diikutinya tanpa persiapan sama sekali. Prinsipnya apapun yang terjadi, terjadilah. Jika ini rencana Tuhan maka dia pasti lulus tahap demi tahap. Kedua proses rekrutmen itu hampir sama tahapan seleksinya, namun yang diselenggarakan di Manado memiliki jarak antar tahapan yang lebih pendek sehingga jangka waktu seleksinya pun lebih singkat. Ketika dia sedang berada di Jakarta untuk mengikuti seleksi tahap kedua di sana, dia sudah mendapatkan pengumuman untuk mengikuti seleksi tahap keenam di Manado yaitu wawancara. Sekian ribu yang melamar saat itu untuk kota Manado, di setiap tahap seleksi pun jumlahnya semakin berkurang, hingga memasuki tahap keenam yaitu wawancara, yang tersisa tidak sampai dua puluh orang.

Dia sendiri heran mengapa dia bisa lulus tahapan demi tahapan itu, karena semua benar-benar tanpa persiapan dan tanpa ada tekad yang kuat untuk lulus. Setiap ada pengumuman lulus ke tahap seleksi berikutnya, dia hanya datang, duduk mengikuti tes, mengisi lembar kerja demi lembar kerja, terlibat dalam kelompok diskusi, dan sebagainya, lalu pulang. Semua dilakukan tanpa ada ambisi untuk lulus di tahap itu. Karena itu adalah sebuah kejutan ketika setiap kali pengumuman hasil seleksi keluar, namanya tercantum sebagai peserta yang lulus.

Ketika wawancara pun, dia tidak mempersiapkan diri dengan baik. Ketika peserta yang lain bahkan sampai menghapal nama-nama direksi, dia hanya duduk diam mendengarkan. Dan terbukti memang, dalam wawancara tidak sekalipun pewawancaranya bertanya mengenai nama direksi. Seperti dugaannya, pewawancara hanya ingin mengenal karakternya saja.

Hasil dari wawancara itu, ternyata dia lulus. Dilanjutkan dengan tes di tahapan terakhir, yaitu kesehatan, dan dia lulus lagi. Saat itu peserta yang bertahan hingga akhir tidak sampai sepuluh orang.

Dia pun akhirnya mengerti, bahwa berarti inilah memang rencana Tuhan dalam hidupnya.

Saat itu, meski dia harus melepas impiannya sebagai pengajar di universitas, namun akhirnya dia bisa bersemangat mempersiapkan diri untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan prajabatan di BUMN yang sudah menerimanya ini. Pendidikannya tentu bukan lagi di Manado, tapi di Jakarta. Tahap baru dalam hidupnya akan dimulai. Dan dia bersemangat untuk itu, apalagi karena pacarnya saat itu pun yang juga mengikuti seleksi bersama dengannya, ikut lulus sampai tahap terakhir.

Proses pendidikan berlangsung sekitar dua bulan. Pada akhir proses itu, penempatan masing-masing pun diumumkan. Dia mendapat penempatan di Palembang, sementara pacarnya mendapat penempatan di Papua.

Mengetahui hasil penempatan itu dan mengingat bahwa mereka hanya diberi kesempatan beberapa hari saja untuk pulang ke Manado sebelum menuju ke tempat penugasan masing-masing, pacarnya pun mengajak dia untuk paling tidak bertunangan dulu di Manado sebelum keberangkatan mereka. Dia mengerti, bahwa pacarnya hanya ingin ada hal yang serius yang mengikat mereka sebelum mereka akan menjalani hubungan jarak jauh dan mereka masih tidak tahu akankah ada jalannya untuk mereka bisa berada di tempat penugasan yang minimal bisa dekat. Antara Palembang dan Papua, jauhnya seperti antara Kutub Utara dan Kutub Selatan.

Dia mengerti dengan keinginan pacarnya, karena itu ketika pulang ke Manado, dia pun menyampaikan niat itu ke papanya.

Papanya juga mengerti.

Namun tidak mengijinkan.

“Jangan mengikat dirimu dengan hal yang kamu sendiri belum yakin,” papanya langsung berkata saat itu.

Dia tidak pernah bilang ke papanya bahwa dia sendiri sebenarnya tidak yakin bahwa pacarnya ini memang adalah jodoh dari Tuhan untuknya. Jangankan yakin tentang itu, keyakinan bahwa dia benar mencintai pacarnya saja tidak dia miliki dan sebenarnya sudah beberapa bulan terakhir ini dia bolak-balik bertanya ke dirinya sendiri, apa yang membuat dia bertahan selama tiga tahun bersama pacarnya sekarang ini? Sepertinya bukan cinta, sepertinya hanya karena rasa nyaman karena sudah lama mengenal. Jika hanya rasa nyaman, akankah itu cukup? Tentu saja tidak, karena bahkan sampai pada detik itupun dia tidak pernah bisa menghadirkan sosok pacarnya saat itu ketika dia membayangkan akan masa depan, akan keluarga kecil yang dia rindukan kelak akan dia bangun. Setiap kali dia mencoba membayangkan akan keluarga kecilnya di masa depan, sosok yang akan menjadi suaminya masih tak berwujud. Karena itu dia yakin, bahwa dia tidak yakin.

Ketidakyakinan itu tak pernah dia utarakan ke papanya, namun ternyata tetap bisa dibaca oleh papanya.

“Biarkanlah dirimu bergaul dengan dunia baru, kenali orang-orang baru yang akan ada di sekitarmu nanti. Kalau memang sudah yakin, barulah mengikat dirimu,” papanya lanjut berkata.

Kali ini dia tidak berargumen. Kali ini dia juga tidak memerlukan kalimat mamanya untuk terngiang lagi di kepalanya. Kali ini dia sudah yakin bahwa papanya mutlak benar. Dia harus melihat dunia dulu sebelum mengambil keputusan yang akan mengubah hidupnya selamanya.

Dia pun berangkat ke Palembang, di bandara Manado dia berpisah dengan pacarnya yang juga akan berangkat ke Papua. Perpisahan mereka diwarnai dengan air mata. Bagaimanapun waktu 3 tahun bukanlah singkat. Dia telah yakin dia tidak mencintai pacarnya, dia juga tahu bahwa mereka berdua tidak memiliki masa depan bersama, karena itu meski mereka berpisah dengan air mata dan tetap dengan status sebagai pasangan kekasih, namun dia tahu bahwa tinggal menunggu waktu untuk mereka berjalan sendiri-sendiri.

Si Bujang

Masa depannya sudah terlihat sangat cerah.

Lulus dari salah satu universitas terbaik serta merupakan salah satu kampus idaman di Indonesia, sekarang dia telah mulai bekerja di salah satu perusahaan swasta terkemuka di negara ini, dan bahkan dia juga mendapatkan beberapa tawaran bekerja dari perusahaan lain. Dia puas dengan hidupnya saat itu. Kerja kerasnya selama kuliah sambil bekerja perlahan mulai terbayar. Dan dia bangga dengan dirinya sendiri saat ini. Dia tahu kelak dia akan memiliki karir yang baik dan dia juga sudah merancangkan akan menikah di atas usia tiga puluh. Menikah di usia dua puluhan menurutnya terlalu cepat. Lebih baik di atas tiga puluh ketika dia sudah benar-benar mapan dan bisa memberikan segalanya untuk istri serta anak-anaknya kelak. Soal menikah itu nanti, urusan gampang. Yang terpenting sekarang adalah merintis karir.

Masa depannya sudah dia rancang dengan baik dan dia merasa cukup percaya diri bahwa rancangannya itu bisa terlaksana.

Namun semua itu buyar ketika suatu kali mamanya yang berada di Medan mendesaknya untuk mengikuti seleksi rekrutmen di salah satu BUMN yang memang bisnis intinya adalah sesuai dengan jurusannya saat kuliah yaitu Teknik Elektro. Dia sungguh tidak ingin bekerja di BUMN karena kemungkinan penempatan kerja bisa sampai ke pelosok daerah sementara sejak dulu dia berkeinginan bekerja di luar negeri, bekerja di Jakarta untuk sekarang ini hanya sebagai batu loncatan saja. Karena itu meskipun dia tahu perusahaan BUMN itu sedang membuka rekrutmen pegawai baru, namun tidak terlintas dalam benaknya untuk mengirimkan lamaran.

Sampai ketika dia mendapat desakan dari mamanya.

Dalam hati dia sempat mengumpat, “Sial, kenapa pula mamak bisa tau?”

Sewaktu dia mendengar tentang pembukaan rekrutmen perusahaan BUMN itu dia memang sudah bisa mengira kalau mamanya tahu, maka dia akan disuruh untuk mengajukan lamaran ke situ. Namun saat itu dia masih berharap agar mamanya tidak tahu, karena toh mamanya sehari-hari sibuk dengan urusan saudara-saudara perempuannya yang ada lima orang itu, cucu, serta kehidupan sosial peradatan mengingat bapaknya adalah raja adat. Yang tidak diperkirakannya adalah suatu kali mamanya membuka koran lokal dan di situ ada pengumuman rekrutmen perusahaan BUMN itu yang juga kebetulan saat itu membuka pusat rekrutmen di Medan sehingga beritanya bisa tampil di koran lokal.

“Dicoba ajalah dulu amang, kan kemungkinan gak lulus juga masih ada,” ucap mamanya saat itu.

Akhirnya karena dia adalah anak laki-laki yang baik, yang sejak kecil tidak pernah melawan orangtua, tidak pernah manja meskipun dia anak laki-laki satu-satunya di antara enam bersaudara, masuk masa remaja tidak pernah keluyuran apalagi sampai mengenal rokok dan minuman keras, sangat rajin belajar meski dia tergabung dalam klub basket sehingga prestasi belajarnya selalu baik, dan dia selalu bisa berlaku baik seperti ituΒ  selama ini karena sudah terbiasa dengar-dengaran dengan orangtua sejak kecil, maka kali ini pun dia memilih untuk mendengarkan kata mamanya.

Lamaran pun dia ajukan. Karena posisinya di Jakarta maka dia mengikuti seleksi yang diadakan di Jakarta, meskipun dia mengikutinya dengan setengah hati.

Tidak ada motivasi untuk lulus di tahap demi tahap tes saat itu. Dia merasa tidak membutuhkan pekerjaan ini karena toh dia sendiri sudah bekerja di perusahaan yang terkemuka dengan gaji yang juga baik yang dia tahu persis untuk pegawai BUMN yang baru diterima, maka gaji dari perusahaan swasta tempat dia bekerja sekarang ini adalah lebih besar.

Namun ternyata, tahap demi tahap seleksi terlewati dan selalu dinyatakan lulus hingga di tahap terakhir dan dia mendapatkan panggilan untuk mulai mengikuti pendidikan dan pelatihan prajabatan sebelum resmi diangkat sebagai pegawai perusahaan BUMN tersebut.

Ketika mendapat panggilan tersebut, di saat yang lain bergembira, dia justru tertunduk lesu. Surat panggilan di tangannya terasa seperti vonis hukuman mati, karena itu artinya, telah tiba saatnya untuk dia menentukan pilihan.

Jika mengikuti kata hati, maka dia akan memilih untuk melanjutkan pekerjaannya yang sekarang dan tidak akan memenuhi panggilan dari perusahaan BUMN tersebut.

Namun dia tahu, mamanya akan berkata lain.

Benar saja, ketika mamanya tahu bahwa dia mendapatkan surat panggilan itu, mamanya pun langsung menyarankan dia untuk memenuhi panggilan itu dan mengundurkan diri dari pekerjaannya yang sekarang.

Kali ini, dia mencoba untuk berargumen. Namun sekian banyak argumennya selalu bisa dipatahkan dengan penuh kelembutan oleh mamanya. Hingga akhirnya dia pun mengeluarkan kalimat pamungkasnya, “Mak, aku kalo masuk di situ, bisa jadi aku ditaro mereka di tempat yang jauh mak, sampe ke Papua pun bisa. Mamak yakin mamak bisa tahan jauh-jauhan dari aku antara Medan dan Papua??”

Jawaban dari mamanya yang keluar kemudian adalah suatu hal yang tidak pernah disangka olehnya.

“Gak mang, bukan di Papua kau nanti. Mamak udah mimpi kau bakal ditaro mereka di Palembang,” dia hanya tertegun mendengar itu dan tetap diam ketika mamanya terus melanjutkan, “Jadi keluarlah kau mang dari perusahaan yang sekarang, penuhilah kau panggilan diklat itu, jangan kuatir mang, mamak yakin sekali dengan mimpi mamak. Di Palembang kau nanti, amang.”

Dia, adalah anak laki-laki yang baik. Sosok mamanya sejak kecil adalah sosok yang paling dia sayang dan selalu ingin dia lindungi, karena itu tidak heran meskipun dia memiliki lima saudara perempuan namun dulu dialah yang paling sering menemani mamanya belanja di pasar. Dia selalu ingin melindungi mamanya, tidak hanya fisik namun juga hatinya. Hal terakhir yang dia inginkan di hidup ini adalah membuat mamanya bersedih. Dan dia tahu jika dia tetap dengan pilihan hatinya maka itu berarti dia menyatakan ketidakpercayaannya terhadap keyakinan mamanya yang bahkan sampai mendapat mimpi itu. Pernyataan ketidakpercayaan itu, dia tahu sekali akan sangat membuat mamanya sedih.

Karena itu, meski dengan sangat berat hati, dia pun mengundurkan diri dari tempat dia bekerja sekarang lalu kemudian mengemas barang keperluannya untuk berangkat ke salah satu gedung pusat diklat milik BUMN itu yang terletak di Jakarta Barat. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, namun setidaknya saat ini yang dia tahu adalah bahwa paling tidak dia harus mencoba, untuk kesekian kali dalam hidupnya, menjalani apa yang menjadi pilihan orangtua untuknya.

Si Gadis dan Si Bujang, mereka berangkat dari latar belakang yang berbeda, namun saat itu nasib mereka hampir sama.

Mereka sama-sama tidak mampu mempertahankan impian mereka. Bukan karena tidak mampu meraihnya, namun karena mereka lebih memilih untuk mendengarkan orangtua mereka.

Yang tidak mereka ketahui saat itu, bahwa semua dipakai Tuhan untuk memenuhi rencana Tuhan di hidup mereka berdua. Rencana yang nantinya akan menjadi damai sejahtera bagi mereka, jauh melebihi impian yang harus mereka buang saat itu. Keteguhan hati orangtua dalam mendesak mereka, adalah bagian dari rencana Tuhan. Pun, kerelaan hati mereka untuk mengikuti kata orangtua, adalah bagian dari rencana Tuhan.

Dan mereka tak perlu menunggu lama untuk itu. Segera setelah kedua keputusan yang sama-sama mereka ambil di atas itu, Tuhan membuat jalan mereka bertemu dengan cara yang tidak pernah mereka duga sama sekali…..

Kisah mereka berawal, bukan dari pertemuan mereka, melainkan dari kerelaan mereka mendengarkan kata orangtua.

Bersambung ke seri [Kisah Plovea] selanjutnya….

πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„πŸ˜„

Iklan

25 respons untuk β€˜[Kisah Plovea] Ssst….. Dengar-Dengaran Saja Dulu….. (Ep. 1)’

Add yours

  1. Aslik..aku pikir ini cerpen saat baca tentang si gadis, karena karakternya ndak kak Lisa bgt, hingga paragrap terakhir baru ngeh dan kaget dan ndak percaya, dibalik pribadi yang selama ini aku tau terutama Ibu yang jadi role model buat ku pribadi, dulunya ternyata bukan seperti pribadi anak-anak kk (Raja dan Ralph). You did great kk πŸ™‚

  2. Berarti ini bab pertama When Samosir meets Krones yah πŸ˜‚πŸ˜‚πŸ˜‚
    Jalan Tuhan memang berliku tapi semua indah pada waktuNya

  3. Baca paragraf 1 rasanya kayak flashback ke masa kecil, ” Perempuan tapi tomboy, hobinya memanjat pohon, bermain di sungai, berkelahi dengan teman lelaki.”, selama ini ada beberapa moment aku merasa masa lalu kita ada beberapa kemiripan : buku yang di baca, film yang tonton, sama-sama perantau di Palembang, plus nambah 1 poin tomboy, manjat pohon juga ngebolang di sungai/~(walau dulu aku mainnya di empang mancing belut bukan di sungai)~ perhaps karena kita sama-sama generasi 90-an kali ya… Atau karena… kembali mengutip postingan mu di paragraf terakhir β€œTuhan membuat jalan mereka bertemu dengan cara yang tidak pernah mereka duga sama sekali…..”
    Nice to know you and your family all this time Mrs. Allisa, keep up the good work.

  4. Waaaa, ini kayaknya cerita yang paling aku tunggu tunggu nih secara melihat keharmonisan keluarga Alissa πŸ™‚ Jadi teringat sama diri sendiri, yang sampai sekarang masih belum mampu meninggalkan orang tua karena merasa itu bakti aku sebagai seorang anak πŸ™‚ Ditunggu kelanjutan ceritanya ya, Alissa πŸ™‚

  5. Kak Lis, aku ya selama ini bertanya-tanya, kak Lisa pintar nulis, tulisannya terstruktur, tata bahasanya rapi tapi tetap menarik dibaca kok bisa ya? Ternyata karena pernah ngajar jadi dosen ya, hahahaha.
    Senang baca ceritanya, aku kira awalnya cerpen kak, tapi lama-lama eh kok beneran nih? Hihihi
    Ditunggu kelanjutannya ya kakak cantik…

  6. Hehe, sy pas baca paragraf awal sudah tau kalo ini cerita nyata dari yang nulis cerita. Soalnya sy sudah pernah baca kisah pertemuan kk ini sebelumnya. malah lebih detail kann… tentang siapa yg naksir dluan, sampe perjuangan buat direstuin keluarga besar si bujang hehe…. dan ya benar kata kk, sy jg dalam hal mendapatkan pekerjaan skrg ini sbagai ASN jg buah dari mendengarkan arahan orgtua, πŸ™‚

  7. Lisaa… terharu deh bacanya. Beratnya memilih sesuatu yang sebenarnya tidak kita sukai. Aku pun dulu begitu, suka pengen mengikuti keinginan sendiri, tapi ternyata doa dan pemikiran orang tua lah yang Allah kabulkan. Dan sampai sekarang ak berusaha untuk nurut kata orang tua, karena aku yakin ucapan dan doa mereka lah yang tembus sampai ke Allah, dan yakin kalau itu demi kebaikan anaknya. Meski ya itu, kadang tidak sesuai dengan apa yang kita mau. Tapi kan Allah memang memberikan segala sesuatu bukan sesuai yang kita mau kan yak??
    dan yang jelas, masalah patuh sama orang tua itu juga pasti jadi bekal Lisa dan suami buat kasih pendidikan dasar ke anak-anak kan?
    Suka deh ama postingan ini

  8. Aku sudag nebak dari awal & tebakanku benarr. Yeay. Gak sabar nunggu lanjutan cerita berikutnya si gadis & si bujang. Membaca kisah nyata orang lain yang menyentuh hati (gak lebay) seperti turut serta mengikuti langsung jalan ceritanya.

  9. aq pembaca setia blog kakak meski silent reader, tp kali ini komentar deh πŸ™‚
    Tuhan merancangkan masa depan yang indah dan penuh harapan
    ..beruntung dan berbahagia yang mengenal rancangan-Nya..
    semoga kisah pernikahan & keluarga kakak menginspirasi lainnya.
    Selamat bahagia!

  10. Kisah pertemuan plovea yang selalu manis untuk dikenang dan ditulis ulang ya kak..
    Nanti anak-ku mulai remaja, aku kasi liat tulisan ini supaya mengerti bagaimana rencana Tuhan itu dan buahnya kalo dengar-dengaran orangtua. Posisi anak-ku umur 7 tahun sekarang mirip kak Lisa kecil kelakuannya maaak…. πŸ™‚

Thanks for letting me know your thoughts after reading my post...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: