Pertemuan kita telah membuatku harus memilih. Antara meneruskan cerita dengan dia ataukah memulai lembaran baru bersamamu.
Telah tiga tahun aku bersamanya. Memang tidak fantastis. Tapi bukannya tak indah. Bagaimanapun, ia bisa membuatku tersenyum.
Tentu saja, itu sebelum pertemuan kita yang menghadirkan sejuta gejolak yang membuatku merasa seperti remaja kembali yang baru saja mengenal cinta. Membuatku bertanya, “Jika inilah yang disebut cinta, lalu yang dengannya itu apa? Sekadar suka, sayang,…ataukah…kasihan???”
Aku bingung, kacau, dan diharuskan untuk memilih.
“Kamu bukan milikku atau siapapun, kamu utuh punya TUHAN, dan doaku cuma minta kamu dititipkan buatku sampai akhir hidupku, manusia tak ada yang berhak untuk melarang atau mengaturnya, tapi kalau memang BAPA ijinkan, ya dan amin untuk doaku.
Terkadang aku tak tahan dengan semua hal buruk yang mereka cerita tentang kita, tapi aku tak peduli. Cuma BAPA yang tahu betapa aku cinta kamu, selamanya..“
Itu katamu waktu itu.
Sepenuh hatiku ingin percaya, meski logikaku berteriak, “Tunggu dulu!!!”
Teman baikku bilang, “Bodoh jika kau percaya dengannya. Dia tidak merokok? Tidak minum? Tidak pernah dugem? Tidak pernah ‘nyobain’ perempuan??? Dan dia hidup sendiri di Jakarta, waktu kuliah di UI pernah nyambi sebagai supervisor SPG??? Yeah right!!!”
Temanku di sini bilang, “Jangan cepat percaya. Dia terlalu menarik untuk tidak menjadi player.”
Bahkan seseorang yang mengaku kenal baik denganmu pun bilang,”Dia sudah mengincarmu sejak pertama kali melihatmu. Tujuannya hanya untuk mempermainkanmu.”
Ya, aku tahu, jika aku pintar maka semua ucap dan janjimu harus ku uji.
Tapi, mengapa hatiku dengan percaya diri mengatakan bahwa tanpa perlu diujipun, kejujuran itu telah nampak lewat tatapan matamu?
Ah, semua tentang pertemuan kita selalu membingungkan..
Meski akhirnya hatiku menetapkan satu kepastian yang tak bisa ku sangkal. Aku mencintaimu dan memilih untuk bersamamu.
Meski dengan konsekuensi bahwa aku harus menyakiti seseorang. Walau setelah itu banyak orang yang menilai aku jahat karena mencampakkannya. Tapi bukankah akan lebih biadab lagi jika kuteruskan semua dalam dusta?
Cinta itu telah memanggilku dan yang bisa ku lakukan hanya mengikutinya. Aku tak bisa berbalik.
Aku hanya bisa sampaikan maafku kepadanya. Meski tak menghibur, tapi yakinlah bahwa jika kebahagiaan tidak bertahan selamanya, maka begitu juga kepedihan. TUHAN menyediakan semuanya secara adil. Menurut hikmat dan kehendak-NYA. Dan percayalah, bahwa setiap tangis itu akan selalu jadi bagian dalam doaku…
Hanya itu yang bisa ku sampaikan padanya. Aku tak ingin lagi berjalan dengannya. Aku mau untuk mengawali semuanya denganmu.
Dan di hari ini, mengenang tahun keempat hari di mana kau pastikan hasratmu untuk meminangku, aku ingin tuliskan ini,
“Pertemuan kita telah membuat aku harus melewati banyak hal: fitnah, caci, dan air mata. Setelah semua berlalu pun, aku harus bersentuhan dengan problema budaya, harus memutar otak bagaimana menyatukan dua latar yang kontras.
Tapi, aku bangga dengan pilihanku..
Aku bangga, karena kau selalu hadir dalam setiap perkara yang ku lalui..
Aku bangga, karena bersama, kita telah buktikan pada semuanya bahwa segala tentang kita adalah murni dan jujur.
Sekarang, semua yang pernah mencela kita hanya bisa mengakui bahwa memang dirimulah yang terbaik untukku.
Aku mencintaimu, suamiku…”

*Kisah di bulan Agustus yang selalu menarik untuk saya kenang… Entah apa jadinya jika empat tahun yang lalu saya tak nekad membuat pilihan yang berani*