Anak Perempuan Untuk Mengurus Orang Tua di Masa Tua

Sebagai pasangan yang baru memiliki dua orang anak dan keduanya berjenis kelamin laki-laki, salah satu pertanyaaan yang cukup sering kami terima adalah,

Gak pengen nyari anak cewek lagi?

😁😁😁😁

Biasanya, pertanyaan itu kami tanggapi dengan bercanda saja, karenaΒ toh biasanya orang yang bertanya juga dalam rangka bercanda berhubung sebenarnya yang bersangkutan sudah mengetahui kalau kami tidak ada niat menambah anak lagi, atau kalau tidak demikian maka pertanyaan itu dilontarkan sekedarnya saja hanya agar supaya ada topik obrolan.

Tanggapan berupa candaan kami biasanya adalah seperti ini,

“Masih kok. Masih pengen nambah dua lagi malah. Tapi nanti kalo anak-anak udah gede, pengen nambah dua anak mantu cewek. Satu buat si abang, satu buat si adek.”

πŸ˜›πŸ˜›πŸ˜›πŸ˜›

Biasanya, kalau kami sudah menjawab seperti itu, maka si penanya akan tertawa dan tidak membahas lebih lanjut lagi karena berarti sudah cukup jelas bahwa itu artinya kami memang tidak memiliki keinginan untuk menambah anak, apalagi dengan niatan untuk ‘mencari’ anak perempuan.

Namun, terkadang kami juga berhadapan dengan penanya yang tidak termasuk kategori ‘biasanya’ yang justru setelah mendapat jawaban dari kami seperti di atas, malah kemudian mengubah haluan pembicaraan dari yang tadinya santai menjadi serius. Dari yang tadinya hanya bertanya masih ingin mencari anak perempuan lagi atau tidak menjadi ke pembicaraan serupa ceramah yang berisi rentetan alasan mengapa memiliki anak perempuan itu penting, yang mana salah satu alasan penting tersebut adalah agar supaya ada yang mengurus kita di masa tua.

Pernyataan bahwa memiliki anak perempuan adalah penting agar supaya ada yang mengurus kita di masa tua itu, mengingatkan saya pada beberapa kondisi serta pengalaman yang saya lihat bahkan alami sendiri.

Salah satu tetangga, yang cukup sering berkomunikasi dengan saya, usianya dengan suaminya sudah mulai sepuh. Mereka memiliki tiga orang anak. Dua anak perempuan dan satu anak laki-laki. Kedua anak perempuannya sekarang tinggal di luar negeri, sementara yang masih tinggal di Indonesia adalah anaknya yang laki-laki. Sekarang ini kondisi mereka berdua sering sakit dan siapa yang kemudian mengurus mereka berdua, pasangan suami-istri yang sudah pensiun dan mulai sepuh itu? Tentu saja anaknya yang laki-laki!

Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di dalam keluarga saya sendiri. Saya dan kakak saya, sama-sama perempuan yang merantau di tanah orang. Yang satu di tanah Timor, sementara yang lain di tanah Sumatera. Orang tua di mana? Mereka tetap tinggal di kota di mana kami lahir dan dibesarkan. Siapa yang kemudian diandalkan kalau tiba-tiba orang tua kenapa-kenapa? Tentu saja adik saya yang laki-laki dan istrinya! Bersyukur sekali karena adik saya tidak mengikuti jejak kakak-kakaknya yang perempuan untuk merantau di pulau seberang πŸ˜….

Hal yang kurang lebih sama juga dialami dalam keluarga pak suami. Di antara enam kakak beradik, hanya suami saya saja yang laki-laki, selebihnya lima orang perempuan semua. Sudahlah suami adalah anak laki-laki sendiri, sejak kuliah sampai kerja pun dia terus merantau. Jangankan sama orang tua, sama istri dan anak-anaknya pun dia sering jauh-jauhan. Namun meski begitu, dari beberapa kali kejadian di mana mertua harus mendapat perawatan khusus di rumah sakit bahkan dioperasi, yang kemudian menjaga serta mengurus mertua di rumah sakit ya adalah suami saya! Bukan karena ipar-ipar saya tidak mau menjaga, namun karena memang secara kondisi serta kemampuan fisik, suami saya itulah yang bisa diandalkan. Ipar-ipar saya yang notabene semua adalah perempuan itu, mereka terikat dengan tanggung jawab sebagai ibu dalam keluarga kecil mereka. Kalau suami saya, yang paling dipikirkan adalah pekerjaan yang mana itupun kalau sudah minta cuti dalam rangka mengurus orang tua kandung, sudah pasti akan segera diizinkan oleh atasan dan kantor. Sementara bagi ipar-ipar saya yang masih harus mengurus anak-anak yang masih kecil-kecil sementara suami mereka sendiri juga harus bekerja, maka tentu akan kesulitan. Kalau hanya sekedar setiap hari datang ke rumah sakit lalu membantu mengurus selama beberapa jam, mungkin masih bisa. Tapi kalau sudah harus menginap dan stand by di situ selama 24 jam sampai orang tua keluar dari rumah sakit, maka tentu akan sukar bagi ibu-ibu yang memiliki anak dan suami yang harus pergi bekerja.

Contoh kejadian nyata yang lain lagi, beberapa bulan yang lalu, bapak dari salah satu teman perempuan saya meninggal di dalam rumahnya sendiri di Jawa. Teman saya ini memang adalah perempuan asal Jawa yang merantau mengikuti suaminya yang bekerja di kota ini. Orang tuanya, bapak dan ibu, tinggal di Jawa sendiri. Nah, beberapa bulan yang lalu itu, ibunya sedang datang mengunjungi putrinya di sini. Sedihnya, ketika ibunya sedang datang berkunjung ke sini itulah, bapaknya meninggal dalam rumah mereka di Jawa, dalam kondisi sendirian dan baru diketahui keadaannya setelah sudah dua hari meninggal. Sedih sekali kan, padahal masih memiliki istri dan punya anak perempuan, namun meninggalnya sendiri.

Dari keempat contoh di atas itu, saya kemudian bisa mengambil kesimpulan bahwa adalah tidak benar jika kita mengandalkan anak perempuan untuk mengurus kita di masa tua. Bila dijabarkan, maka berikut adalah alasan saya.

Pertama, perempuan itu cenderung ‘ikut suami’, karena itu tidak heran bila semakin ke sini jumlah perempuan yang merantau semakin lebih banyak dibanding laki-laki perantau yang mana itu berarti banyak anak perempuan yang tinggal jauh dari orang tua.

Meski bukan berdasarkan survei resmi, namun ini adalah kenyataan yang sering saya lihat hampir di setiap tempat. Perempuan masa kini kalau bukan merantau karena pekerjaan, maka akan merantau karena mengikuti suami yang juga perantau atau berasal dari daerah lain. Memang masih cukup banyak juga perempuan yang menemukan jodoh yang adalah teman sekampung, namun jaman sekarang kan semakin sering terjadi yang namanya pernikahan antar suku, daerah, dan bangsa. Mendapatkan jodoh yang sekampung pun bukan menjadi jaminan tinggalnya bakal di situ-situ saja kan? Kalau suami mendapatkan pekerjaan di tempat lain, lalu bagaimana? Kalau suami sudah mengajak untukΒ settleΒ  di tempat A karena rejekinya di situ, maka biasanya perempuan akan mengikuti meskipun orang tua perempuan tinggal di kota B.

Memang sih banyak yang berkeinginan untuk mendapatkan kondisi yang ideal. Keluarga kecil membangun hidup di tempat keluarga besar berada, jadi baik suami maupun istri keduanya dekat dengan orang tua dan dapat mengurus orang tua ketika sakit atau sudah sepuh. Tetapi kenyataannya semakin lebih banyak orang yang tidak mendapatkan keberuntungan kondisi yang ideal seperti itu. Lagipula kalau semuanya seperti itu, maka tidak ada yang namanya perantau dan tak ada yang namanya pernikahan campur. Dunia menjadi kurang seru deh 😁.

Kedua, perempuan itu cenderung lebih terikat untuk mengurus anak-anak dibanding laki-laki sehingga justru akan lebih kesulitan jika diharuskan untuk fokus mengurus orang tua.

Memang tidak selalu seperti ini, namun tak bisa juga dipungkiri kalau hal ini benar, bukan? Inilah yang terjadi pada ipar-ipar saya sewaktu mertua harus dirawat di rumah sakit. Satu kali bapak mertua harus dirawat di rumah sakit di Jakarta, ipar saya satu orang domisilinya di Jakarta. Yang menjaga mertua di rumah sakit siapa? Suami saya! Padahal saat itu suami saya justru sedang bertugas di Nias. Kenapa begitu? Karena selain secara fisik suami saya lebih mumpuni untuk mengurus bapak mertua, ipar saya juga harus mengurus anak-anaknya karena suaminya juga kan harus bekerja. Sudah berada di tempat yang sama dengan anak perempuan saja tidak menjamin bisa diurus oleh anak perempuan, kan? Apalagi kalau anak perempuannya merantau. Lebih sulit lagi itu πŸ˜….

Ketiga, saya menemukan (dari hasil obrolan ya bukan hasil survei/penelitian), kalau ternyata istri itu lebih mudah beradaptasi dengan kondisi tinggal bersama mertua dalam rumahnya dibanding suami bila tinggal bersama mertua.

Mertua perempuan dan menantu perempuan memang katanya bila tinggal bersama-sama, mudah sekali memicu konflik. Hal ini dikarenakan, meskipun suami adalah kepala keluarga namun yang menjadi otak penggerak rumah tangga sehari-hari adalah istri, sehingga mertua perempuan yang sudah terbiasa menjadi otak dalam keluarga sebelumnya, biasanya akan kesulitan melepaskan kebiasaan itu. Konflik pun terjadi akibat ada dua otak dalam satu rumah.

Meski demikian, ternyata yang justru saya lihat adalah istri memiliki kemampuan menerima terhadap mertuanya yang lebih besar dibanding suami terhadap mertua. Ini kita berbicara dalam kondisi di mana suami-istri memiliki rumah sendiri lalu orang tua suami move in to the couple’s home ya, bukan kondisi di mana sebaliknya, suami-istri menumpang tinggal di rumah orang tua istri. Istri cenderung lebih mampu menerima bahkan bisa ikut terlibat aktif mengurus orang tua suami bila dibandingkan suami jika berada pada kondisi yang sama terhadap mertuanya. Beberapa penyebab bisa mendorong hal ini, termasuk di antaranya adalah out of respect to her husband or even for the sake of winning her husband’s affection by taking care of her husband’s parents.

Sementara, untuk suami, hal yang sama hampir tidak berlaku. Seorang suami bahkan bisa bersikap kaku berbalut segan terhadap mertuanya sehingga menjadi pasif dalam urusan mengurus mertua.

Dan tidak hanya sampai di situ, untuk alasan keempatnya (yang masih berkaitan dengan poin tiga di atas), saya juga menemukan bahwa sebenarnya orang tua yang sudah tua juga bisa merasa lebih nyaman tinggal bersama anaknya yang laki-laki dibanding anaknya yang perempuan. Kenapa begitu?

Alasannya bervariasi.

Ada yang bilang karena anak perempuan lebih protektif dibanding anak laki-laki yang cenderung cuek. Ini cocok buat orang tua yang dulunya aktif lalu sekarang harus tinggal dengan anaknya. Perhatian anak mereka hargai memang, namun mereka tetap masih mendambakan kebebasan untuk mengatur hidupnya sendiri. Anak perempuan cenderung memperhatikan segala-galanyaΒ  (bahkan sampai ke level ‘mengomeli’ orang tua πŸ˜…) sehingga membuat orang tua merasa seperti tidak berdaya, padahal sebenarnya orang tua yang sudah sepuh tidak ingin merasa seperti itu, mereka hanya perlu yakin bahwa ketika mereka dalam kondisi butuh bantuan, maka bantuan itu akan mereka dapatkan. Anak laki-laki lebih cenderung bisa memberikan kebebasan yang diperlukan orang tua, sementara menantu perempuan cenderung ada rasa segan untuk mengatur mertuanya, jadi ya orang tua meski sudah sepuh namun merasa masih bisa mengatur hidupnya sendiri meskipun ‘diurus’ oleh anaknya 😁.

Ada juga yang bilang karena kalau tinggal bersama anak laki-laki, orang tua cenderung tidak terlalu merasa menjadi beban secara ekonomi bagi keluarga anaknya, karena ada faktor perasaan bahwa ketika mereka sepuh maka adalah wajar jika mereka pun menjadi tanggung jawab dari anaknya. Dengan anak perempuan tentu juga bisa begitu, dengan catatan kalau anak perempuannya memiliki penghasilan sendiri, kalau tidak begitu maka orang tua akan merasa menjadi beban terhadap orang lain yang bukan anaknya. Mungkin kalau kita sekarang berpikir, “Lah itu kan sudah jadi menantu ya sudah samalah itu dengan anak sendiri!

Kenyataannya ternyata tidak demikian untuk beberapa orang tua yang sudah sepuh. Mereka jauh lebih sensitif perasaannya sehingga membuat mereka lebih mudah merasa sebagai beban dan bahkan bisa menjadi frustasi karena sebenarnya tidak ingin menjadi beban tapi mau tidak mau harus menjadi beban. Membebani anak kandung saja banyak orang tua yang tak ingin, apalagi kalau tahu bahwa yang mereka ‘bebani’ adalah suami anaknya. Tidak heran, kalau ada teman saya yang bercerita setiap kali dia mengirim uang ke mamanya, pasti mamanya akan bertanya, “Suamimu tau kalo kamu ngirim duit, kan?“, sementara kalau suaminya yang mengirim uang ke mama suaminya alias mertua teman saya ini, mertuanya hanya akan bilang terima kasih tanpa ada embel-embel bertanya apakah dia selaku istri tahu atau tidak soal kiriman untuk mertuanya itu πŸ˜…. Teman saya ini adalah ibu rumah tangga sementara satu-satunya yang menjadi provider keuangan negara di rumah tangganya adalah suaminya. Hal-hal yang terlihat sepele seperti ini sebenarnya memang menunjukkan kalau orang tua relatif akan lebih merasa menjadi beban untuk anak perempuannya yang tidak berpenghasilan langsung (kalau yang tak langsung kan dari suami ya 😁) dibanding terhadap anaknya yang laki-laki yang mungkin memang secara sadar tidak sadar dianggap sudah seharusnya menanggungjawabi orang tua yang telah pensiun atau sepuh.

Kelima, menurut saya berusaha mencari anak perempuan dengan tujuan agar ada yang mengurus di masa tua, terasa seperti sedang mematok nasib untuk anak perempuan agar tidak kemana-mana dan hanya mengurus orang tua saja, selain itu juga seperti menubuatkan nasib kita sendiri di kala tua yang harus diurus oleh anak.

Menurut saya ini hal yang kurang bisa saya terima, karena anak perempuan juga harus diajarkan untuk memiliki mimpi dan berusaha mengejarnya, meskipun harus terbang jauh meninggalkan sangkar alias rumah orang tua.

Dan soal ketika kita nanti tua, ah biar Tuhan saja yang mengatur. Yang pasti pegang terus janji Tuhan, jangan kuatir terhadap apapun juga. Burung di udara saja Dia pelihara, apalagi anak-anakNya. Berdoa saja agar tetap sehat sampai tua sampai Tuhan panggil pulang, dan bahkan kalau bisa tidak ‘menyusahkan’ anak-anak sama sekali. Namun apapun itu, biarlah kehendak Tuhan yang jadi, untuk apa dipikirkan, toh semuanya ada dalam tangan Tuhan.

Keenam, anak laki-laki itu sebenarnya baru akan back off dari tanggung jawab mengurus orang tua ketika memiliki saudara perempuan yang dinilainya lebih mampu mengurus orang tua dibanding dirinya.

Ini kasusnya kalau anak laki-laki tersebut memang pada dasarnya telah mengerti tanggung jawab ya. Dan biasanya kalau sudah begini, tanggung jawab yang mereka lepaskan itu adalah yang berkaitan dengan mengurus keperluan sehari-hari orang tua bukan tanggung jawab finansial.

Saya pernah baca di satu artikel, yang bunyinya begini,

“Sons reduce their relative care givingΒ efforts when they have a sister, while daughters increase theirs when they have a brother.” (source)

Itu artinya, sebenarnya anak laki-laki itu mampu mengurus orang tua jika diharuskan demikian, tapi kalau ada saudara perempuannya (yang mana kalau perempuan dianggap lebih bersifat care giver ya πŸ˜…) apalagi jika kondisi saudara perempuannya itu memungkinkan untuk mengurus orang tua, maka barulah dia merasa bisa melepaskan tanggung jawab itu 😁.

Sekali lagi, ini asumsinya si anak laki-laki mengerti tanggung jawab ya, jadi dia menyerahkan tanggung jawab ke saudara perempuan bukan karena tidak mau bertanggung jawab melainkan karena merasa kalau saudara perempuannya lebih mampu mengurus orang tua dibanding dirinya.

Ketujuh, baik anak laki-laki atau pun perempuan, bukan itu yang terpenting. Yang terpenting adalah anak mengenal arti kasih.

Mau anak perempuannya sepuluh sekalipun, tapi kalau semua tidak peduli dengan orang tua yang sudah sepuh ya apa gunanya juga, bukan?

Tapi kalau anak-anak kita didik untuk mengenal kasih Tuhan (dan dengan demikian juga mampu memilih pasangan yang seimbang yang sama-sama mengenal kasih itu) serta diajarkan untuk mampu mengaplikasikan kasih itu untuk sesama (salah satunya adalah dalam bentuk tanggung jawab terhadap orang tua yang telah sepuh), maka yakinlah, baik anak perempuan ataupun anak laki-laki, mereka tidak akan tidak peduli dengan orang tua. Orang tua pasti akan diurus saat butuh untuk diurus.

Ada amen, saudara-saudara? 😁.

Begitulah pemirsa, yang pasti memang, kondisi keluarga itu berbeda-beda dan sangat dinamis, apalagi jika telah menyangkut situasi ketika orang tua sudah sepuh. Contoh serta alasan yang saya kemukakan di atas mungkin juga tidak sesuai atau sama dengan yang terjadi pada orang lain. Ada satu teman yang saya kenal baik, tadinya dia dan suaminya tinggal di Jakarta, namun begitu salah satu orang tuanya terkena stroke, teman saya ini kemudian meminta suaminya agar mereka pindah ke Palembang agar bisa mengurus orang tua meskipun sebenarnya dia memiliki abang kandung yang juga tinggal juga di Palembang. Mungkin ini berkaitan dengan poin enam di atas ya. Abang teman saya merasa bisa melepaskan tanggung jawab karena merasa adik perempuannya bisa mengambil alih tanggung jawab mengurus orang tua itu. Teman saya dan keluarga kecilnya memutuskan pindah ke Palembang dan dia mencurahkan waktunya untuk mengurus orangtua sambil suaminya membangun usaha baru di sini, hingga kemudian satu per satu orang tuanya dipanggil pulang oleh Tuhan. Teman saya ini tadinya hanya memiliki dua orang anak laki-laki, namun pengalamannya sebagai anak perempuan yang mengurus orang tua kemudian membuatnya berpikir untuk memprogram anak ketiga yang jenis kelaminnya tentu sudah bisa ditebak, perempuan. Berdasarkan pengalamannya tersebut, teman saya juga menyarankan saya untuk ‘mencari’ anak perempuan. Saran yang meski kurang sesuai untuk kami, namun yang juga tidak saya bantah karena teman saya memberikan saran berdasarkan pengalaman dan bagi saya setiap orang berhak untuk mengambil pelajaran dari pengalamannya sendiri.

Meski mungkin tidak berlaku untuk semua keluarga, setidaknya poin-poin di atas itulah yang membuat saya dan suami sampai saat ini belum pernah berpikir bahwa kenyataan kami tidak memiliki anak perempuan sebagai sesuatu hal yang kelak akan membawa kerugian bagi kami. Prinsipnya adalah membiarkan semua terjadi sesuai kemurahan Tuhan, bagian kami hanya terus berusaha mendidik anak-anak agar selalu berjalan dalam kehendak Tuhan. Karena itulah, mau berapa kali pun ditanya soal ingin mencari anak perempuan lagi atau tidak, maka jawaban akan tetap sama…

“Menunggu sampai mendapat anak menantu perempuan saja!”

πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†πŸ˜†

19 respons untuk β€˜Anak Perempuan Untuk Mengurus Orang Tua di Masa Tua’

Add yours

  1. Kalau menurutku hari gini mau anak laki2 / perempuan. Satu ataupun 10. Belum tentu bisa urus orang tua di masa tua. Sementara duluuu, orang bisa beranak 10 hingga belasan diurus diri sendiri. Aneh memang tapi nyata adanya.

    Kalau bercandaan tante2 saya yg gak p7nya anak cewek. Mereka akan janjian entah pulang kampung bareng di masa tua dan saling menjaga satu sama lain. Atau ke panti jompo. Yg mana, kami para keponakan perempuan tidak akan membiarkan hal itu terjadi meskipun dengan segala keterbatasan.

    Saya setuju, masing2 keluarga beda kondisi dan dinamis. Sebaiknya cocok gak cocok namanya pun keluarga sedarah yang penting saling sayang dan menghargai. Jadi segala hal mudah-mudahan bisa diakomodir dgn baik. Nice post, Mbak Lisa πŸ‘

  2. Akupun pernah di ngomongin begitu sama tanteku. Dibilang kamu tambah anak ke 3,cewe biar nanti tua ada yg jaga kamu. Padahal ya selain biaya hidup (dan belum tentu jg anak ke 3 dptnya cewe kan), aku merasa anak cewe dan anak cowo itu sama. Aku setuju dengan poin anak cewe atau anak cowo yg terpenting mereka punya hati yg mengasihi (kasih). Beda cerita tanteku yg 1 lagi yg punya anak cowo 1-1nya. Malah sayang bgt sama mamanya. Nikahpun, mamanya jg di boyong. Jadi akupun sama kaya kak lisa, nunggu menantu perempuan saja ya. Hahaha

  3. Dear Allisa,

    Perkenalkan namaku Inong. Selama ini cuma jadi silent reader. Tapi pas baca ini, aku kok merasa β€œWah, ini kok gue banget ya” apalagi pas bagian kutipan: β€œSons reduce their relative care giving efforts when they have a sister, while daughters increase theirs when they have a brother.” πŸ™‚ –> β€œOf course, saya ngaku saya bagian daughtersnya :D” karena sekarang di keluargaku, ibuku sedang sakit dan aku bersama abang dan adik lelakiku harus bergantian merawat beliau (plus Ayahku). Terima kasih untuk sharingnya yah, Lisa πŸ™‚

    1. Halo Inong, maaf baru bisa balas sekarang komentarnya.

      Yang bagian itu sepertinya memang penelitiannya benar ya, ada kecenderungan laki-laki menyerahkan kewajiban merawat orangtua ke saudara perempuannya sebenarnya bukan karena tidak mau tapi karena merasa kalau perempuan lebih cocok untuk urusan rawat-merawat πŸ˜…

  4. wanita di dunia ini sangat berperan penting apa lagi di dalam keluarga, jadi para cowok yang ingin membina keluarga carilah wanita yang sayang pada suami terutama pada keluarga.

  5. jadi pengen komen juga… orang tua saya justru dr sejak kami lulus SD sudah diminta keluar dr rumah tuk sekolah keluar kota. Dari mereka tidak pernah ada tuntutan bahwa nanti kami anak perempuan kudu urus mereka, karena pada dasarnya mereka pengen kami berkembang semaksimal mungkin.
    Dan kalau secara Islam, justru mengurus orang tua kan menjadi kewajiban anak laki2, ya sama kayak yg Lisa tuliskan, perempuan kan memang akhirnya harus nurut suaminya, g bisa bebas lagi.

  6. sesuai banget dah kejadian dr keluarga suami. kakak perempuan 3 tp susah ngurus pas mertua sakit, suamiku yg bisa luangkan waktu. sekarang pun aku dan kakakku merantau, adek cowo sm istrinya yg tinggal sm ortuku. damai2lah kami semua, krn kalo kasih yg melandaskan semuanya, mau anak cowo mau anak cewe, ortu akan tetap diurus

  7. Toss ah…seringkali orang kelihatan kasian kalau kalau kami lagi jalan full formasi, katanya kok gak punya anak perempuan , pernah ada Bapak tua yang ngedekatin suami dan bilang kalau sekarang dia diurus sama anak perempuannya…jadi better kalau kami punya anak perempuan biar ada yang mengurus kami jika tua nanti, kalau kami emang gak ada rencana nambah lagi, tadinya mau dua anak saja cukup gak masalah laki-laki atau perempuan eh dapat rezeki lagi satu orang anak laki-laki lagi, tetap senang luar biasa. Kalau dalam agama kami, justru tanggung jawab mengurusi dan berbakti pada orangtua itu ada pada anak laki-laki, Anak Laki-laki Adalah Milik Ibunya, Dan Selamanya Ia Milik Ibunya. Tentu saja pengen juga anak perempuan, pengen 3 untuk 3 boys kelak kalau mereka dewasa kelak o iya dari sekian banyak yang komen kasian karena gak punya anak perempuan, ketemu suami istri orang batak yang sama sama orangtua murid teman anak kami sekolah di SMA baru-baru ini bikin bahagia , pas ngobrol anak, dibilang anak kami 3 orang laki-laki semua, dibilangnya hebat, kalau di kampung kami sudah dapat piala itu he he he he he jadi panjang komennya

    1. Itulah mbak, selalu aku bilang sama teman-temanku, untunglah anakku sudah dua yang laki-laki, coba kalau misalnya kemarin-kemarin dikasih sepasang, pasti dari keluarga suami bakal minta kalo bisa tambahin lagi anak laki-lakinya…wkwkwkwk… Syukurlah udah dua, jadi udah gak diminta lagi 😁.

Thanks for letting me know your thoughts after reading my post...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: