
Memasuki bulan yang sangat istimewa bagi keluarga kecil kami ini, kami disibukkan dengan pekerjaan yang melelahkan tapi dikerjakan dengan penuh semangat, yakni mengepak barang-barang di rumah untuk keperluan pindahan.
Yes, kami akan pindahan, lagi!
Hidup itu memang sedemikian penuh kejutannya. Di saat saya merasa sudah menikmati kenyamanan rutinitas di rumah ini, Tuhan memberikan anugerah untuk kami pindahan lagi 😁.
Nah, karena akan pindahan itu, maka saya pun harus mengepak barang-barang. Selagi sibuk dengan pengepakan, ingatan saya melayang pada setiap masa di mana saya menjalani proses pindahan. Bila diingat-ingat, sebelum ini sudah ada enam kali saya menjalani pindah-pindahan. Terpikirlah untuk menuliskan kenangan pindah-pindahan itu di sini. Hitung-hitung sebagai dokumentasi perjalanan hidup 😁.
![]()
Pindahan 1, masa masih bersama orang tua, dari rumah dinas ke rumah pribadi
Pertama kali saya menjalani proses pindahan rumah adalah sewaktu saya baru lulus SD. Waktu itu pindah dari rumah dinas ke rumah pribadi milik orang tua.
Sedari lahir, saya tinggal di rumah dinas milik kantor tempat papa saya bekerja. Rumah dinas yang kami tempati sekian tahun itu sebenarnya sangat nyaman. Ukuran bangunannya luas dan punya halaman depan serta samping yang juga sangat luas! Tak hanya itu, di samping dan di belakang pagar rumah juga terdapat kebun yang memiliki jalan setapak untuk turun menuju ke sebuah sungai kecil yang dulu adalah surga bagi saya 😍. Halamannya yang luas juga menjadi tempat yang nyaman untuk saya bermain bersama teman-teman sekompleks. Biasanya kami bermain perang-perangan di situ, apalagi kalau lagi musim liburan sekolah, wah itu seru dan ramai sekali, kami juga bisa bermain sampai puas sampai matahari tinggi, sampai dapat panggilan makan siang dari rumah masing-masing 😁.
Tapi senyaman-nyamannya, tetap saja kemudian terasa ada yang kurang. Statusnya sebagai rumah dinas saja sudah menjadi pengingat bahwa kami tidak bisa tinggal di situ selamanya. Lagipula meskipun ukurannya besar, namun rumah dinas itu hanya memiliki dua kamar tidur, jadilah kami bertiga kakak beradik harus berbagi di dalam satu kamar. Sewaktu masih kecil, urusan berbagi kamar itu tidak terlalu kami pikirkan. Namun setelah kakak saya masuk usia remaja dan saya juga sudah akan memasuki masa remaja, orang tua kami pun harus berpikir bagaimana caranya agar kami tidak berbagi kamar lagi dengan adik kami yang laki-laki. Sebagai gadis remaja, kami tidak lagi membutuhkan halaman yang luas untuk bermain bersama teman, yang kami butuhkan adalah space untuk diri kami sendiri.
Puji Tuhan, di saat itu orang tua saya akhirnya bisa membeli sekapling tanah di sebuah kompleks perumahan dan kemudian bisa membangun rumah sesuai dengan kebutuhan kami. Saya tidak mengingat lagi berapa lama proses pembangunan rumah kami yang baru saat itu, yang saya ingat betul adalah suatu kali ketika libur kenaikan kelas tiba di mana saat itu saya lulus SD dan kakak saya lulus SMP, kami pun pindah ke rumah yang baru.
Bagaimana proses pindah-pindahannya, saya juga sudah tidak mengingatnya lagi. Maklum, saat itu saya masih kanak-kanak, tahunya hanya ikut excited saja melihat barang-barang kami satu per satu diangkut ke atas mobil pickup. Bagaimana mama saya berjibaku membereskan barang-barang di rumah yang baru juga tak saya ingat lagi. Apakah saya ikut membantu? Hmm….sepertinya sih iya, karena sejak kecil pun saya sudah termasuk anak yang rajin untuk urusan bersih-bersih dan beres-beres rumah 😁.
Hal yang saya ingat saat itu adalah perasaan sedih yang saya rasakan ketika meninggalkan rumah masa kecil saya itu. Itu memang bukan rumah kami, namun semenjak saya tahu tentang dunia ini, rumah itulah yang menjadi dunia saya. Sampai hari ini pun saya masih merindukan masa di mana saya menikmati keindahan pohon flamboyan dari dalam kamar saya di rumah itu…
Hal lain yang saya ingat jelas saat pindahan itu adalah tentang salah satu anjing peliharaan kami, si Boomer namanya 😁.
Boomer ini adalah anjing kampung yang sudah kami pelihara sejak masih bayi karena induknya juga adalah anjing peliharaan kami. Karena sudah dari bayi kami pelihara, maka bonding antara kami dengan Boomer ini terbilang sangat kuat. Boomer adalah anjing yang sangat setia dan sama seperti induknya, adalah penjaga rumah yang dapat diandalkan serta sudah teruji. Sewaktu kami pindahan, Boomer tentu juga ikut dibawa, tapi ternyata bagi Boomer rumah yang baru bukanlah rumahnya, sehingga satu kali dia pun nekad kembali ke rumah yang lama tanpa kami ketahui. Yang mengerikan adalah karena untuk ke rumah yang lama dia harus melewati jalan raya bandara di mana semua kendaraan melintasi jalan itu dengan kecepatan yang sangat tinggi. Tak berapa lama sejak Boomer pergi, kami sudah menyadari kalau dia tidak ada dan langsung berusaha mencari. Selagi mencari itulah kami mendapat kabar kalau Boomer ditabrak mobil di jalan 😢. Bersyukur, Boomer saat itu masih selamat meski kakinya terluka cukup parah. Bersyukur juga lewat perawatan rutin yang dilakukan mama saya, Boomer pun bisa membaik kondisinya, meskipun harus agak terpincang sampai akhir hidupnya.
Jadi begitulah, saat pindahan yang pertama kali saya alami di hidup saya itu, yang tertinggal dalam ingatan saya adalah perasaan sedih meninggalkan rumah masa kecil dan juga apa yang terjadi pada anjing peliharaan kami 😁.
Pindahan 2, dari rumah orang tua di Manado ke kamar kos di Palembang
Kedua kalinya saya menjalani pindahan adalah untuk meninggalkan kota Manado, tempat kelahiran saya. Meskipun sedih karena harus meninggalkan semua yang saya cintai di Manado, tapi tak ada perasaan sentimental yang terlalu bagaimana. Waktu itu saya hanya berpikir kalau inilah proses yang harus dijalani. Tak ada lagi pilihan yang lain selain merantau ke kota yang telah ditetapkan oleh BUMN tempat saya bekerja sebagai tempat tugas saya. Lagipula saya akan pindah dengan diantar oleh mama saya, jadi sedihnya tak begitu terasa saat itu. Meskipun jarak perpindahannya sangat jauh, namun berhubung status saya masih gadis yang akan menjalani kehidupan yang baru, maka pindahan saat itu hanya bermodalkan satu koper besar saja 😁.
Kurang lebih tiga hari setelah menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Palembang, saya telah menjadi anak kos di sana. Puji Tuhan dalam waktu yang singkat saya sudah bisa menemukan kos-kosan dengan jarak ke kantor yang hanya kurang lebih lima menit berjalan kaki. Puji Tuhan juga kos-kosan itu berada di lingkungan yang aman, khusus untuk perempuan, dan kondisinya juga masih baru karena memang baru saja dibuka.
Karena hanya membawa satu koper saja, maka proses perpindahan ke kamar kos saat itu jauh dari kata ribet. Malah seru sih, karena jadinya membeli barang-barang baru untuk perlengkapan di kos 😁. Kamar kos saya tergolong sederhana, tetapi ukurannya cukup untuk berisi tempat tidur, lemari pakaian, meja belajar, meja rias, bahkan pantry seadanya. Kamar kos saya juga punya jendela lebar yang menghadap ke arah depan sehingga setiap hari ada sinar matahari serta udara segar yang masuk. Meski sederhana dan saya juga harus berbagi kamar mandi dengan satu penghuni kamar yang lain, tapi keadaannya selalu tenang karena semua penghuni adalah wanita pekerja (beberapa adalah teman kantor saya) yang punya kebiasaan selepas kerja hanya menghabiskan waktu untuk beristirahat di dalam kamar masing-masing.
Yang paling berkesan di saat pindahan pertama kali ke kamar kos ini adalah keseruan berbelanja keperluan kamar, apalagi sebelumnya saya belum pernah merasakan menjadi anak kos. Selain seru, saya juga sangat bersemangat untuk memulai kehidupan yang baru sebagai pribadi yang benar-benar mandiri di tanah rantau.
Semangat yang naif tentu karena setelah beberapa bulan lewat saya menyadari kalau hidup merantau itu berat.
Dari sejak bulan pertama bekerja, saya sudah bertekad untuk benar-benar mandiri, tak akan meminta lagi dari orang tua. Tekad yang bagus tentu meski tak mudah juga menjalaninya dengan penghasilan sebagai anak OJT yang pas-pasan 😁. Saya harus benar-benar bijak menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluaran agar bisa tetap hidup layak di tanah rantau. Belum lagi ditambah drama dalam lingkungan pekerjaan, di mana saya sempat dianggap sangat ambisius, padahal saya hanya tipe orang yang cenderung always try to do my best dalam setiap pekerjaan, hal yang kemudian baru terbukti beberapa tahun kemudian setelah saya memutuskan untuk pensiun dini di mana salah satu faktor terbesar dalam pertimbangan saya adalah kesadaran bahwa saya tak bisa lagi memberikan yang terbaik untuk pekerjaan saya sebagaimana dulu sebelum memiliki anak. Drama dalam keseharian pekerjaan itu masih juga ditambah dengan persoalan adaptasi di lingkungan baru dan saya juga pernah mengalami perampokan serta penodongan di jalan…huhuhu….. Bersyukur, saya waktu itu sudah punya pacar (yang sekarang sudah jadi pak suami 😍) sehingga saya punya teman setia untuk berbagi cerita dan pergumulan.
Saya tinggal di kamar kos itu selama satu tahun tujuh bulan. Singkat memang, tapi dalam kurun waktu yang pendek itu ada banyak sekali proses pendewasaan diri yang saya alami yang mana setiap kali mengingat semuanya, saya hanya bisa bersyukur pada Tuhan untuk kebaikan-Nya yang mengijinkan semua proses itu bisa saya alami. Yang tadinya anak manja, selalu bergantung pada orang tua, tak pernah jauh dari orang tua, ternyata bisa survive di perantauan dengan kemandirian yang penuh. Puji Tuhan Yesus….
Setelah lewat masa satu tahun tujuh bulan itu, Tuhan mengijinkan saya pindah keluar dari kamar kos sederhana itu untuk tinggal di rumah kontrakan yang juga sederhana 😁.
Pindahan 3, dari kamar kos ke rumah kontrakan
Perpindahan saya kali ini didorong oleh kondisi kami saat itu yang akan segera menikah. Pas sekali salah seorang kenalan menawarkan ke saya untuk mengontrak rumah saudaranya yang baru selesai dibangun. Rumah itu sederhana, hanya seluas empat puluh lima meter persegi dan terletak di dalam gang yang tidak bisa diakses oleh mobil. Sederhana dan terbatas, tapi kondisi kami juga saat itu memang masih terbatas jadi yang seperti itu pun sudah cukup untuk kami. Yang penting tempatnya aman untuk saya tinggali sendiri (waktu itu kami masih LDR-an) dan jaraknya juga sangat dekat dengan kantor.
Proses pindahan dari kosan ke rumah kontrakan itu hanya berlangsung selama satu hari saja. Waktu itu masih tiga bulan lagi menjelang pernikahan kami. Saya pindahan tentu dibantu (calon) suami dan puji Tuhan juga dibantu oleh dua orang anak magang di kantor. Yang menyulitkan adalah karena mobil yang kami gunakan untuk pindahan tidak bisa masuk ke dalam gang. Jadilah barang-barang bawaan saya harus diangkut secara manual dari depan gang ke lokasi rumah 😁. Syukurnya sih cuma sedikit saja ya barangnya dan untuk isian kontrakan pun sudah kami cicil dari beberapa bulan sebelumnya, jadi di hari yang sama dengan pindahan, saya sudah bisa langsung tinggal di rumah itu. Meskipun barang-barang saya yang perlu dipindahkan di hari itu hanya sedikit, tapi tetap yah, butuh seharian penuh sampai semua bisa tertata pada tempatnya. Puji Tuhan, meski dalam kondisi yang sederhana, tapi rumah itu sudah sangat layak untuk menjadi tempat pertama kami membangun rumah tangga 💕.
Rumah kontrakan sederhana itu menjadi saksi awal pernikahan kami. Dari yang berstatus pengantin baru sampai menjadi orang tua baru.
Sayang, kenyamanan tinggal di situ hanya bertahan di beberapa bulan pertama saja.
Ketika kami sudah bisa membeli mobil, kami pun menghadapi persoalan dengan mobil kami yang hanya bisa diparkir di halaman parkir umum di seberang jalan utama. Selain itu kami juga mulai menghadapi persoalan dengan air, baik air PAM yang sering mati (ini menyulitkan sekali untuk saya yang punya anak bayi…huhuhuhu….) juga air hujan yang merembes masuk ke dalam rumah…alias banjir, pemirsa!
Tapi tentulah kami tidak bisa serta merta pindah dari situ. Sempat terpikir untuk mencari kontrakan lain, tapi si bapak lebih memilih untuk sekalian saja mencari rumah untuk kami beli. Puji Tuhan, ketika si sulung berusia empat bulan, kami bisa menemukan rumah yang kami cari itu. Dan ketika si sulung hampir berusia enam bulan, kami pun sudah bisa pindah ke rumah itu, rumah dengan status milik sendiri kami yang pertama 😍.
Pindahan 4, dari rumah kontrakan ke ‘rumah damai’
Kami tinggal di rumah kontrakan sampai si sulung lahir. Ketika usianya menginjak tiga bulanan, kami mulai aktif mencari rumah untuk kami beli, sampai akhirnya suatu waktu ketemulah kami dengan sebuah rumah yang meski lokasinya agak jauh ke daerah pinggir kota (jarak lima meter dari gerbang sudah langsung pindah wilayah administratif ke kabupaten 😁), tapi secara ukuran dan kondisi rumahnya sesuai dengan kebutuhan kami, serta juga didukung lokasinya berada di dalam kompleks yang cukup baik. Pertimbangan lain yang tak kalah penting adalah harganya sangat terjangkau untuk kami di saat itu. Dan yang paling penting, sejak pertama kami datang untuk survei ke situ, hati kami sudah jatuh cinta terhadap rumah itu.
Rumah, memang selalu tentang pilihan hati ❤️.
Proses pindahan dari rumah kontrakan ke ‘rumah damai’ itu bisa dibilang lancar dan cukup cepat. Proses pengangkutan barang hanya cukup sehari saja dengan menggunakan satu mobil pickup dan satu mobil sedan kami. Memang ada beberapa kali proses mondar-mandir, tapi bisa selesai dalam waktu satu hari saja sudah terhitung cepat, mengingat proses pengangkutan barang dari rumah kontrakan yang penuh perjuangan karena harus dilakukan secara manual melewati gang 😅.
Proses selanjutnya yakni beberes barang, nah itu yang makan waktu berhari-hari 😅. Apalagi saat itu saya hanya dibantu oleh suster si sulung dengan status saya yang masih bekerja dan punya anak bayi berusia enam bulan, serta jangan lupa, status dengan si bapak juga adalah LDM-an. Lengkap sudah!
Meski begitu, puji Tuhan pelan-pelan bisa juga kami selesai membereskan semua satu demi satu.
Seiring tahun demi tahun berlalu, barang-barang kami yang tadinya berjumlah minimalis saja yang kami pindahkan dari kontrakan ke ‘rumah damai’ itu kemudian bertambah, satu demi satu, sampai tak terasa jadi banyak juga barang-barang kami di rumah itu 😁. Ukuran luas rumah juga ikut bertambah setelah proses renovasi sebanyak dua kali yang pernah kami lakukan di rumah itu. Di rumah itu juga kami pertama kali mengenal proses pembuatan kitchen set. Pernah ada dua kali kami membuat kitchen set di rumah itu. Dari yang pertama hanya segaris kabinet atas hingga kemudian membuat yang benar-benar satu set dengan isian yang komplit. Kompor tanam, table top dari granit hitam, back splash keramik mozaik berwarna ungu, ah pokoknya bangga dan bahagia sekali bisa membuat kitchen set impian di rumah itu. Di rumah itu juga kami menyiapkan ruang bermain dan belajar khusus untuk si sulung yang isinya kami dekorasi dengan sepenuh hati.
Tentu saja, saat itu yang ada dalam pikiran kami adalah bahwa selama kami masih tinggal di Palembang, maka itulah yang akan tetap menjadi rumah kami.
Sampai kemudian di luar rencana saya hamil si bungsu 😁.
Status dengan si bapak yang masih LDM-an, ketiadaan ART dan BS pada saat itu, serta faktor jarak antara rumah dan kantor yang sangat jauh dan penuh kemacetan sepanjang jalan, pada akhirnya membuat saya kelelahan hingga kemudian mengalami pendarahan di awal kehamilan.
Dalam kondisi seperti itu, si bapak mengambil inisiatif mendoakan dan mengusahakan untuk mencari rumah di tengah kota yang dekat dengan kantor saya serta sekolah si sulung.
Puji Tuhan, memasuki trimester kedua kehamilan saya, rumah yang kami cari itu pun kami temukan. Lagi-lagi, kami jatuh cinta dari sejak pertama melihatnya 😍.
Setelah beberapa proses kami jalani, begitu memasuki trimester ketiga kehamilan saya, kami pun pindahan dari ‘rumah damai’ ke ‘rumah tentram’.
Apa kabarnya dengan ‘rumah damai’? Puji Tuhan, hanya selang beberapa bulan setelah kami pindah, rumah itu sudah terjual 🙏.
Pindahan 5, dari ‘rumah damai’ ke ‘rumah tentram’
Bila diingat-ingat, proses pindahan yang kelima ini adalah yang paling melelahkan di antara pindahan lainnya. Bukan saja karena barang-barang kami sangat banyak untuk dikemas, dipindahkan, dan ditata ulang, tapi juga karena kondisi saya saat itu yang sedang hamil besar dan tanpa ART serta BS! Fiuuuhh…..benar-benar melelahkan. Apalagi pada saat itu kami kurang bijak saat mengepak peralatan makan dan dapur, jadilah semua harus dicuci ulang di rumah baru….huhuhuhu….
Puji Tuhan, saya dan suami selalu bisa bekerja sama dengan baik. Meski memakan waktu untuk bersih-bersih dan beres-beres, tapi setidaknya bisa terselesaikan juga semua dan kami sudah bisa langsung tidur di rumah itu di hari pertama pindahan. Oh ya, beres-beresnya tidak hanya memakan waktu berhari-hari, tapi juga berbulan-bulan karena ada barang-barang yang saya tunda untuk dibereskan sampai saya selesai melahirkan bahkan hingga si bungsu berusia sekian bulan 😁.
‘Rumah tentram’ ini ukurannya jauh lebih besar dibanding ‘rumah damai’, tapi bukan juga bisa dibilang sangat besar. Pokoknya cukuplah. Yang membuat nyaman adalah desain rumah ini sangat efisien dan lokasinya benar-benar di tengah kota sehingga jarak tempuh dari rumah ke kantor atau ke sekolah atau ke tempat les anak-anak atau ke mall atau ke rumah sakit atau ke pusat-pusat kuliner, semuanya relatif dekat.
Selama tujuh tahun kami tinggal di situ, rumah yang sudah nyaman itu seiring waktu kami buat semakin bertambah nyaman. Bisa dibilang rumah itu sudah memenuhi semua kebutuhan keluarga kami. Baik dari segi desain, pengaturan ruangan, ukuran, sampai ke lokasinya, semua sudah sesuai. Lagi-lagi tentu tak ada rencana untuk pindah meninggalkannya. Apalagi saat itu si bapak berpindah-pindah tempat tugas dan kami pun bersepakat menjadikan Palembang serta rumah ini sebagai home base kami. Bahkan ketika si bapak pindah tugas ke Jakarta dan kami iseng-iseng main ke salah satu kota mandiri yang terletak di wilayah Tangerang hingga jatuh hati dengan tempat itu dan sampai bermimpi bisa tinggal di situ, kami sama sekali tidak benar-benar berniat untuk meninggalkan Palembang dan rumah kami tercinta.
Sampai kemudian pandemi datang dan seperti yang pernah saya ceritakan di sini, kami pun memutuskan untuk pergi meninggalkan ‘rumah tentram’, rumah yang artinya sungguh berharga untuk kami, tapi kami sadar kebersamaan sebagai sebuah keluarga adalah jauh lebih berarti dan berharga.
Pindahan 6, dari ‘rumah tentram’ di Palembang ke apartemen di Jaksel
Keberadaan tempat tinggal berupa unit apartemen ini berawal dari si bapak yang mendapatkan penugasan ke Jakarta. Tadinya si bapak berencana untuk menyewa kamar kos saja, tapi dengan pertimbangan kalau dirinya sendiri tentu ingin sering-sering mengajak kami main ke Jakarta, maka si bapak pun memutuskan untuk mencari apartemen saja. Awalnya dengan menyewa dan ketika belum sampai sebulan si bapak sudah merasa cocok dengan lingkungan apartemen yang disewanya, kami pun memutuskan untuk mengambil satu unit apartemen di situ.
Apartemen itu ukurannya kecil yakni hanya tiga puluh dua meter persegi saja. Isinya ada dapur, ruang makan yang sangat minimalis, ruang nonton, dua kamar tidur, serta satu kamar mandi. Unit kami itu terletak di lantai 27 di mana dari jendelanya kami bisa mendapatkan pemandangan langit dan kota Jakarta yang fantastis. Oh ya, apartemen itu kami beli dengan kondisi furnished sehingga bisa langsung ditempati.
Masih teringat dengan jelas perasaan kami ketika membeli unit apartemen itu. Bahagia dan bersyukur bukan main karena hal itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Sudah dari sejak dulu kami ingin punya apartemen dengan pemandangan kota, tapi tentu tahu diri dengan keberadaan kami yang saat itu masih menjadikan Palembang sebagai home base. Memiliki apartemen di Palembang rasanya tidak terlalu menguntungkan, tapi untuk punya di Jakarta pun yah hanya masih sekadar impian mengingat kami yang waktu itu belum ada keperluan berdomisili di Jakarta. Itulah sebabnya kami sangat bahagia ketika bisa memiliki apartemen itu, apalagi lokasinya juga bagus dengan fasilitas gedung yang amat sangat memadai.
Si bapak mulai menempati apartemen itu di penghujung tahun 2019. Saat itu kami juga ada bersama dengannya di Jakarta. Kami berempat sama-sama memindahkan barang-barang si bapak dari unit yang disewanya ke unit kami. Bersama-sama juga kami jalan-jalan ke Ikea untuk membeli beberapa perabot untuk melengkapi isi dalam unit apartemen itu. Bahagia dan bersemangat sekali rasanya saat itu. Bahkan hingga kini pun setiap kali mengingat kenangan menutup tahun 2019 dan membuka tahun 2020 di apartemen itu, hati ini masih bisa mengingat kebahagiaan dan semangat yang kami rasakan saat itu.
Ketika si bapak mengantarkan kami kembali pulang ke Palembang, kami sudah membuat rencana untuk lebih sering main ke Jakarta dan menikmati apartemen itu.
Tapi ternyata, hanya selang tiga bulan kemudian pandemi datang dan singkat cerita, pada bulan Juni tahun 2020 kami pun memutuskan untuk meninggalkan rumah di Palembang agar kami tetap bisa bersama.
Pindahan kali ini adalah yang paling sedih yang kami alami. Rasa hati bercampur aduk karena kami sungguh tidak tahu akan bagaimana ke depannya. Akankah kami kembali ke Palembang? Atau akankah hari itu akan menjadi yang terakhir kalinya kami melihat rumah kami? Dan kalau iya kami benar-benar pindah, lalu bagaimana dengan rumah ini juga semua yang kami tinggalkan di sini termasuk salah satu mobil kami saat itu? Bagaimana dengan sekolah anak-anak? Akan seperti apakah hidup kami ke depan? Dan terlebih lagi, akankah kami diijinkan untuk melihat ujung dari pandemi ini?
Ah Tuhan….rasa hati kami berempat sungguh amat galau pada saat itu. Hati kami tidak sepenuhnya siap untuk meninggalkan rumah ini serta kehidupan kami yang sudah mapan di Palembang, tapi dorongan dalam hati kami kuat sekali yang bilang bahwa kami harus benar-benar bersama-sama menghadapi kehidupan yang tak menentu kala itu. Setiap kali kami ibadah dan berdoa bersama, itulah yang kami rasakan dan kami doakan.
Sampai akhirnya hari itu benar-benar terwujud. Kami pergi meninggalkan rumah dengan hanya menggunakan satu mobil saja karena kami hanya membawa barang dan pakaian seadanya, semuatnya saja pokoknya di dalam mobil. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan segala yang kami tinggalkan di rumah ini termasuk kehidupan kami yang sudah settle di sini, hanya yang kami tahu adalah kami harus bersama-sama. Akan bagaimana ke depannya pokoknya kami serahkan ke dalam tangan Tuhan yang penuh kasih saja.
Dan begitulah pemirsa, kami berangkat dari Palembang siang, tiba di apartemen di malam hari. Dengan bawaan yang sangat sedikit, maka hampir tak ada yang perlu kami bereskan. Malam itu, tak lama sesudah tiba, kami sudah beristirahat dengan nyaman di atas kasur. Puji Tuhan….
Oh ya, seperti yang saya sebutkan di atas, saya sudah pernah secara khusus bercerita tentang kepindahan ke Jakarta ini. Apa yang terjadi dan seluruh perasaan ketika hal itu terjadi sudah saya tuangkan di tulisan tersebut. Jadi kalau mau lebih dalam mengulik soal pindahan 6 ini, silakan baca tulisan saya yang lama ini yaa….
Setelah beberapa waktu tinggal di apartemen ini, di tengah pandemi yang masih terus berlangsung, kami pun mantap untuk benar-benar pindah ke Jakarta. Bersyukur saat itu anak-anak masih bersekolah secara online jadi kami tidak perlu terburu-buru memindahkan sekolah mereka dan bisa fokus mencari rumah terlebih dahulu dengan prioritas rumah yang berlokasi dekat dengan sekolah dalam naungan yayasan yang sama dengan sekolah anak-anak. Puji Tuhan, setelah sekian bulan mencari, bisa juga kami mendapatkan rumah yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kami pada saat itu.
Setelah selama tujuh bulan menjadi penghuni apartemen, setiap hari menikmati pemandangan indah langit dan kota Jakarta yang bisa kami nikmati sambil berleha-leha di kamar tidur serta setiap hari juga menikmati aneka menu dari berbagai pilihan resto dan kafe di lantai dasar yang dengan santainya bisa kami pesan dan diantarkan ke depan pintu unit kami, akhirnya apartemen beserta gaya hidup yang santai sederhana itupun kami tinggalkan dan kami pindah ke rumah yang sekarang.
Tak lama berselang setelah kami pindah dari apartemen, kami memutuskan untuk menjual unit apartemen kami itu. Puji Tuhan bisa cepat laku di tengah kondisi pandemi 🙏.
Pindahan 7, dari apartemen di Jaksel ke ‘rumah harmoni’ di Tangerang
Pindahan kali ini adalah termasuk kategori pindahan minimalis karena jumlah barang yang perlu kami bawa pindah termasuk sedikit. Pindahan kali ini juga tanpa dibantu siapa-siapa, benar-benar hanya kami berempat saja. Sama seperti ketika kami pindah dari Palembang ke Jakarta, kami hanya menggunakan satu mobil. Hanya saja kali ini, suami harus dua kali mondar-mandir Jaksel – Tangerang karena selama tujuh bulan tinggal di apartemen, barang-barang kami sudah bertambah. Maklum yah, namanya juga kebutuhan 😁. Selama tinggal di apartemen kami ada belanja barang-barang baru dan juga ada beberapa kali meminta bantuan si mbak yang menjaga rumah kami di Palembang untuk mengirimkan barang-barang kami dari sana berhubung dibutuhkan di apartemen. Meski telah bertambah, namun jumlah barang yang perlu kami bawa masih tergolong sedikit sehingga kami tidak memerlukan bantuan orang ataupun kendaraan lain untuk pindahan.
Sebelum memulai proses pindahan, kami membutuhkan waktu selama hampir satu minggu untuk membersihkan rumah ini. Kami membeli rumah ini dalam kondisi full furnished dan kami juga ada melakukan renovasi di beberapa bagian sehingga membutuhkan waktu untuk memastikan semua barang dan setiap sudut rumah bersih dari debu. Proses bersih-bersih juga hanya dikerjakan oleh kami berdua, sementara anak-anak kami tinggalkan di apartemen. Setiap hari menjelang siang, kami berdua meninggalkan apartemen dan anak-anak, kemudian baru kembali lagi ke apartemen hampir larut malam. Melelahkan sekali, tapi bersyukur pada saat pandemi itu, kondisi tol Tangerang jauh dari kata padat, sampai-sampai perjalanan dari apartemen – rumah bisa ditempuh dalam waktu kurang dari tiga puluh menit sehingga kami tidak bertambah lelah akibat perjalanan.
Setelah rumah siap untuk ditempati, kami juga siap untuk pindah.
Hari itu, pagi yang cerah di bulan Januari. Dari sejak fajar belum merekah, suami telah memulai mengangkut barang dari unit kami ke mobil lalu membawa dan menurunkan semua ke rumah di Tangerang. Setelah itu suami kembali lagi ke apartemen untuk menjemput kami sambil membawa barang-barang yang tersisa. Pagi itu, adalah kali terakhir kami menyaksikan fajar dari jendela apartemen kami itu.

Karena barang bawaan kami tidak begitu banyak, maka yang perlu dibereskan juga tidak begitu banyak. Begitu jam makan malam tiba, rumah sudah beres, dan kami sendiri sudah bersih dan siap untuk menikmati makan malam bersama di meja makan. Puji Tuhan Yesus….
Tanpa terasa, sudah lebih dari empat tahun kami menempati ‘rumah harmoni’ ini. Waktu yang terasa sangat singkat karena begitulah kami sangat menikmati rumah ini, sampai akhirnya sebentar lagi kami akan pindah ke tempat yang baru.
![]()
Begitulah, selalu ada cerita dalam setiap pindahan. Ada kerepotan, ada kesibukan, ada proses penyesuaian yang harus dilakukan, ada zona nyaman yang harus dilepaskan untuk membuat kenyamanan baru. Begitu juga dengan setiap tempat tinggal yang kami singgahi, selalu ada lebih banyak lagi cerita. Tempat-tempat tinggal itu menyaksikan bagaimana kami diproses Tuhan untuk lebih dewasa dan kuat di dalam kasih-Nya yang sungguh besar.
Rumah dinas orang tua saya menyaksikan masa paling bebas dalam hidup saya. Tak ada beban. Tak ada tanggung jawab. Hanya kanak-kanak yang senang tertawa dan bermain, yang takut menghadapi tantangan dan sebisa mungkin menghindari kesulitan, walau akhirnya sering terlibat dalam masalah karena sering bandel.
Rumah pribadi orang tua saya menyaksikan masa saya bertumbuh dalam keremajaan. Si gadis scorpio yang senang bermimpi namun ragu untuk melangkah ke luar menghadapi dunia. Meski begitu, rumah itu menjadi saksi lahir baru yang saya alami di dalam Tuhan, ketika pertama kalinya dalam hidup saya mulai merenungkan dan merasakan kasih Tuhan Yesus yang sungguh besar.
Kamar kos yang sederhana di Palembang, menjadi saksi pertumbuhan saya menjadi wanita dewasa, mandiri, berani, dan percaya diri. Sayangnya hampir menjadi angkuh, tapi puji Tuhan tak Tuhan biarkan.
Rumah kontrakan yang sederhana menyaksikan saya dan suami yang belajar menjadi pasangan suami – istri. Kami belajar mengatur rumah sebaik mungkin, termasuk untuk urusan perencanaan belanja mingguan. Yes, dari sejak awal berumah tangga kami telah menerapkan sistem rancangan menu masakan dan belanja mingguan, meskipun saat itu kami LDM-an. Puji Tuhan dari sejak awal berumah tangga sudah diberikan hikmat untuk membuat pengaturan yang baik dalam rumah kami. Rumah kontrakan juga menyaksikan bagaimana kami belajar menjadi orang tua baru. Tidak tahu apa-apa, tapi puji Tuhan diberikan motivasi untuk belajar.
Di ‘rumah damai’, saya pribadi belajar untuk lebih kuat lagi menjadi seorang ibu. Di rumah inilah saya mulai menghadapi drama asisten rumah tangga, baby sitter, dan daycare. Saat tinggal di rumah inilah saya kemudian belajar menyetir mobil sendiri dan membiasakan diri bangun subuh di jam tiga pagi. Di ‘rumah damai’ saya betul-betul terproses menjadi ibu yang tidak boleh banyak mengeluh, karena mengeluh tak akan menghasilkan apa-apa. Saya bekerja sambil mengurus anak. Saya mengurus anak sambil bekerja. Di tanah rantau, sendiri, tanpa keluarga besar dan bahkan suami hanya pulang seminggu sekali.
‘Rumah tentram’, menyaksikan kehidupan kami yang semakin berkembang, baik dari segi jumlah anggota keluarga juga dari segi kemapanan. Namun di saat yang sama, rumah ini juga menyaksikan bagaimana dilema menjadi ibu bekerja yang semakin sering bergejolak di dalam hati saya. Rumah ini juga menyaksikan bagaimana Tuhan mengijinkan saya mengalami kecemasan akibat kondisi pandemi. Puji Tuhan Yesus yang selalu sangat baik, di saat saya sedang terpuruk, suami justru mengalami pembaharuan iman. Betapa sempurnanya jawaban Tuhan atas seruan minta tolong saya saat itu. Kami sekeluarga akhirnya dengan iman yang diperbaharui, dimampukan Tuhan untuk bangkit bahkan untuk mengambil keputusan besar yang sebelumnya tak terpikir sanggup kami lakukan.
Apartemen yang hanya kami tinggali selama tujuh bulan, menjadi saksi pemeliharaan Tuhan yang luar biasa di dalam kesederhanaan keseharian kami di situ. Di dalam keterbatasan, Tuhan memberikan kami kebahagiaan setiap hari yang mana sampai sekarang pun, setiap mengingat apartemen itu, yang kami ingat adalah perasaan bahagia!
‘Rumah harmoni’ menjadi saksi banyak sekali perubahan dalam hidup kami. Tentang pekerjaan saya, tentang pekerjaan suami, tentang pendidikan anak-anak, tentang keluarga besar. Banyak sekali hal yang terjadi dalam kurun waktu empat tahun saja kami berada di sini. Puji Tuhan….puji Tuhan….puji Tuhan…. Dan sekarang ini, rumah ini sedang menyaksikan kami mempersiapkan kepindahan ke tempat tinggal yang baru.
Setiap tempat punya cerita. Setiap pindahan juga punya cerita. Meski setiap cerita adalah unik, namun kesimpulannya selalu mengarah pada satu hal: pemeliharaan Tuhan yang nyata.
Puji Tuhan…
Sebentar lagi kami akan menjelang cerita pindahan baru serta kisah baru di tempat tinggal baru. Tuhan Yesus kiranya terus menolong dan menyertai. Amin 💕.
Kalau pembaca sendiri bagaimana? Sudah berapa kali pindahan yang pernah kalian alami sepanjang hidup? Adakah di antara pindahan itu yang paling berkesan untuk kalian?
