Salah satu dilema yang paling sering dihadapi oleh wanita bekerja yang telah menikah dan mempunyai anak adalah persoalan apakah harus berhenti bekerja atau tetap lanjut berkarir. Memutuskan pilihan mana yang hendak diambil, tentu bukanlah perkara mudah karena baik bekerja atau berhenti, masing-masing memiliki manfaat dan kekurangannya masing-masing. Yang sering menjadi problema adalah bagaimana jika keputusan yang diambil kemudian berujung pada penyesalan. Saya pernah berada pada posisi yang sama, karena itu saya mau membagikan kisah saya di sini, siapa tahu bisa menjadi bahan pertimbangan buat pembaca yang sedang berada di persimpangan jalan antara terus berkarir atau harus melepaskan pekerjaan.
Berhenti Bekerja, Pilihan atau Memang Sudah Jalannya?
Kata orang, hidup adalah tentang membuat pilihan. Apapun yang kita jalani, itu adalah pilihan hidup kita sendiri. Waktu masih lebih muda (sekarang juga masih muda kan ya, walau sudah hampir 40 π), saya merasa dalam hidup ini ada begitu banyak pilihan, yang mana saking banyaknya pilihan itu, saya sering merasa kesulitan sendiri menentukan pilihan. Tapi seiring saya bertambah dewasa, saya semakin dibuat mengerti tentang arti prioritas sehingga banyak hal yang kemudian tercoret dengan sendirinya dari daftar pilihan dalam hidup ini karena gak sejalan dengan prioritas lagi. Memilih menjadi lebih mudah karena keputusan diambil berdasarkan prioritas yang telah jelas.
Setelah saya resmi berhenti bekerja hampir setahun yang lalu, beberapa kali saya dihubungi oleh teman dan kenalan yang ingin mengonfirmasi soal kabar itu. Kebanyakan dari mereka kemudian memuji keberanian saya memilih keluarga di atas pekerjaan. Mereka bilang saya hebat karena melepaskan pekerjaan yang bagus demi keluarga, dan setiap kali saya hanya menjawab dengan jawaban yang kurang lebih namun sama artinya dengan ini, “Gaklah, bukan karena hebat, tapi karena memang sudah harus begitu…”
Jawaban saya itu bukanlah sekedar basa-basi. Bukan juga dalam rangka sok merendah untuk mendapat pujian yang lebih tinggi. Jawaban itu memang datang dari kenyataan yang sebenarnya…
Kenyataan bahwa sebenarnya andaikan saya masih bisa memilih maka akan memilih untuk tetap bekerja.
Setelah punya anak, berkali-kali saya memang berada pada kondisi dilema karena ada di posisi sebagai ibu bekerja yang rindu tetap optimal untuk keluarga. Cerita-cerita di blog ini (sebelum dipindah ke private blog) kayaknya sudah lebih dari cukup ya menjadi saksi buat kondisi-kondisi galau yang saya alami itu…hehehehe…. Segala kondisi galau itu membuktikan bahwa segimanapun saya mencintai keluarga ini, saya masih tetap ingin mempertahankan pekerjaan saya dan ingin bisa optimal baik dalam keluarga maupun dalam pekerjaan. Makanya dulu saya tetap menjalani semua walau harus pontang-panting bagi waktu. Saya tetap ngotot bekerja walau sebenarnya penghidupan kami bisa cukup dengan penghasilan suami saja. Saya cinta pekerjaan saya dan berharap bahwa nanti akan ada masanya di mana saya bisa bekerja dengan lebih tenang karena anak-anak akan punya kesibukan mereka sendiri dan gak dikit-dikit mama…mama….lagi. Saya berusaha bersabar dengan kondisi karena yakin bahwa pekerjaan saya ini juga adalah pemberian dari Tuhan yang harus saya nikmati dan syukuri. Selama semua masih bisa dijalani, kenapa tidak kan ya?
Karena sesungguhnya dalam hati saya mencintai pekerjaan itulah maka ketika terjadi kondisi yang mendesak pun, saya gak terburu-buru mengambil keputusan berhenti, melainkan hanya mengambil cuti tanpa tanggungan selama dua tahun. Sejujurnya saat mengambil cuti tersebut, saya berharap bahwa setelah masa cuti selesai, maka kondisi kami sudah lebih mendukung untuk saya bekerja.
Kondisi yang mendukung seperti apa yang saya harapkan?
Seperti misalnya gak jauh-jauhan lagi dan kalaupun masih harus LDM tapi bukan lagi yang sejauh jarak penerbangan antara Sumsel – Sumut seperti yang saat itu kami jalani. Selain itu saya juga berharap ketika akan bekerja kembali maka di rumah sudah ada orang yang bisa saya percaya untuk bantu-bantu. Seasik-asiknya mengurus rumah sendiri, tetap saja lah yaaa kalau bekerja di luar rumah tuh lebih baik kalau ada yang bantu-bantu di rumah.
Cuti tanpa tanggungan saya itu berakhir di tahun 2020 dan beberapa bulan sebelum jatuh tempo itu, kondisi sepertinya mendukung untuk saya bekerja kembali. Suami sejak akhir tahun 2019 sudah ditempatkan di Jakarta yang notabene deket banget dong ya dengan Palembang. Di rumah juga sudah ada yang bantu-bantu karena si suster sudah dari sejak 2019 mulai bekerja lagi di rumah kami.
Kondisi saat itu tampak ideal…
Sampai pandemi datang.
Si suster memutuskan pulang kampung biar tak pisah-pisahan lagi dengan anak-anaknya, sementara kami akhirnya memutuskan untuk ikut suami ke Jakarta supaya kami tak perlu LDM-an di tengah kondisi pandemi yang saat itu masih tampak tak terkontrol dan tak terprediksi.
Lalu bagaimana dengan rencana saya untuk bekerja kembali?
Seperti yang saya bilang di atas, pengertian akan prioritas membuat urusan memilih menjadi lebih mudah. Saat itu saya memutuskan untuk mengajukan penambahan cuti selama satu tahun lagi. Kalau diijinkan syukur, kalau tidak diijinkan maka itu berarti tanda untuk saya berhenti bekerja. Ternyata usulan perpanjangan masa cuti selama satu tahun lagi itu disetujui oleh perusahaan. Hati saya rasanya bahagia sekali saat itu karena merasa mungkin saja Tuhan memang masih kasih kesempatan saya untuk bisa bekerja kembali.
Masa perpanjangan cuti tanpa tanggungan saya berakhir di pertengahan tahun 2021. Keinginan untuk lanjut bekerja tentu masih tetap ada namun dengan catatan kami gak pisah-pisah lagi. Kebersamaan adalah prioritas kami, sehingga opsi lain yang berpotensi membuat kami harus bekerja di kota yang berbeda, bukan lagi menjadi pilihan. Keinginan itu pun kami doakan dan usahakan. Usahanya tentu dengan cara-cara yang benar dan profesional. Percuma mendoakan sesuatu kalau kemudian diupayakan dengan main belakang, karena yang namanya mendoakan keinginan itu adalah tetap dengan semangat berserah supaya kehendak Tuhan yang tentu adalah yang terbaik itu yang terjadi di hidup kita. Kalau mengupayakannya dengan cara-cara yang tak benar yah berarti bukan berdoa dalam rangka mencari kehendak Tuhan.
Sebulan sebelum masa cuti saya benar-benar berakhir, saya mendapat kabar bahwa SK penempatan ulang saya sudah keluar.
Saya ditempatkan di Palembang π.
Ketika mendapat kabar itu, saya langsung menangis karena tahu apa yang akan menjadi keputusan saya selanjutnya.
Sejak awal pandemi ini terjadi, Tuhan sudah menunjukkan kepada kami betapa kebersamaan sebagai satu keluarga yang utuh itu sangat penting, sehingga bekerja kembali bila dengan risiko harus LDM-an sudah tak lagi menjadi pilihan. Kabar mengenai SK itu seperti menjadi jawaban untuk saya bahwa kali ini, tak ada waktu lagi yang bisa diulur. Tuhan sudah kasih waktu tiga tahun untuk saya bisa melihat dan membuktikan ke diri sendiri bahwa sesuka-sukanya saya dengan dunia pekerjaan, ternyata saya juga sangat menikmati waktu demi waktu hanya di rumah saja mengurus keluarga yang mana saking menikmatinya, saya sama sekali gak ada merasa rindu akan hari-hari saat saya ngantor. Tuhan juga sudah kasih liat sejak pandemi terjadi betapa banyak hal-hal baik yang bisa kami dapatkan dengan tetap bersama-sama yang mana salah satunya adalah pengaruh ke anak-anak. Saya bisa lihat bagaimana anak-anak merasa lebih content dan bahagiaΒ dengan tiap hari bisa bersama papa dan mama mereka.
Hari itu, saya tahu bahwa satu-satunya yang bisa saya lakukan adalah mengajukan pengunduran diri.
Saya tak memilih untuk berhenti bekerja. Saya memutuskan berhenti karena bekerja kembali di kota yang berbeda dengan suami bukan lagi menjadi pilihan.
Hari itu saya menangis, tapi bukan karena beratnya rasa hati mengambil keputusan itu. Saya menangis hanya karena yah….yang namanya berpisah dengan sesuatu yang sudah bersama kita selama belasan tahun tentunya wajar kalau memunculkan rasa sedih di hati.
Berhenti bekerja pada dasarnya bukan pilihan saya sebagai manusia yang ingin semua-muanya. Ya pekerjaan dan karir, ya keluarga yang bahagia dan harmonis π. Berhenti bekerja pada saat itu adalah sesuatu yang pada akhirnya harus saya tetapkan karena pilihan lain bukan lagi menjadi pilihan. Karena itulah saya menolak dibilang hebat dan risih jika ada yang komentar salut dengan saya. Dibilang begitu sama orang saja saya rasanya gak nyaman apalagi kalau sampai saya sendiri yang membangga-banggakan diri bahwa saya adalah istri dan ibu yang baik yang rela mengorbankan pekerjaan dan karir demi keluarga…haiyaaahhh…. π .
Lalu apakah ada penyesalan?
Puji Tuhan Yesus, sama sekali tidak. Usaha yang saya lakukan untuk bisa ditempatkan di Jakarta setelah masa cuti berakhir, justru membantu saya untuk tidak merasa menyesal. Karena saya sudah berusaha dan jawaban Tuhan tetap tidak, maka itu berarti memang sudah inilah yang terbaik untuk kami. Apapun yang menjadi kehendak Tuhan pasti itulah yang akan membawa damai sejahtera, jadi apa yang harus disesali?
Andaikan berhenti bekerja adalah murni pilihan saya sendiri, maka saya tak bisa memastikan kalau saya tak akan menyesal, karena saya hanya manusia yang gak tahu apa-apa tentang masa depan. Hari ini saya mungkin berpikir bahwa inilah yang terbaik. Tapi bisa jadi besok-besok perasaan dan pikiran saya justru berubah sebaliknya. Namanya juga manusia. Namun karena saya yakin bahwa yang terjadi adalah memang jawaban Tuhan itulah, maka saya merasa tenang dan lega menjalaninya tanpa khawatir akan adanya penyesalan π.
Sejak resmi berhenti bekerja hampir setahun yang lalu, beberapa kali saya dihubungi oleh teman dan kenalan yang berstatus sebagai ibu bekerja yang sedang mengalami dilema seperti yang pernah saya alami. Mereka cuma ingin sharing sih soal kondisi mereka sambil nanya-nanya gimana yang saya rasakan setelah berhenti bekerja dan juga gimana pendapat saya andai saya ada di posisi mereka.
Kalau soal perasaan saya, sudah panjang lebar saya jabarkan di atas ya. Intinya saya memang bahagia menjalani ini karena dalam hati sudah mantap bahwa inilah yang terbaik dari Tuhan.
Lalu kalau soal mereka yang sedang ada dalam dilema antara terus bekerja atau berhenti, saya selalu kasih saran ini:
- Berdoa karena hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik untuk setiap orang sesuai dengan kondisi serta prioritas masing-masing pribadi. Pada si A mungkin jawaban Tuhan adalah lebih baik berhenti. Tapi tidak dengan si B yang lebih baik tetap lanjut bekerja. Kondisi, prioritas, serta panggilan setiap orang berbeda-beda, jadi tak ada kondisi ideal yang sama untuk semua orang.
- Jangan buru-buru ambil keputusan kalau opsi lain masih tersedia atau kondisi masih memungkinkan untuk itu. Bekerja itu sangat baik kok jadi kalau masih bisa diusahakan ya kenapa tidak? Justru dengan tetap mengusahakan dan kalau ternyata jawaban Tuhan untuk kita adalah lebih baik berhenti, maka kita akan merasa lebih plong karena menyadari bahwa dengan demikian memang keputusan untuk berhenti bekerja adalah yang terbaik.
Jawaban-jawaban saya itu mungkin tidak terduga untuk mereka yang tadinya berpikir mengingat saya sendiri sudah berhenti bekerja kan ya, maka saya juga akan ‘mengagungkan’ pilihan berhenti bekerja itu dan mereka akan seperti yang mendapat konfirmasi untuk yes, lebih baik berhenti bekerja saja, toh buktinya lihat mbak Allisa hepi-hepi saja setelah berhenti bekerja….hehehehe…. Ya memang benar sih saya hepi-hepi saja, tapi saya juga tak akan meng-encourage wanita lain untuk berhenti bekerja, karena saya tahu persis kondisi setiap orang dan rumah tangga yang berbeda-beda. Dari banyak obrolan saya juga bisa melihat bahwa prioritas setiap wanita sekalipun sama-sama telah berkeluarga serta memiliki anak itu berbeda-beda dan saya tak akan pernah memaksakan prioritas yang saya miliki ke orang lain. Saya juga tak akan memberikan saran berhenti bekerja sebagai bagian dari pengorbanan seorang wanita sebagai istri dan ibu. Duh, memangnya yang memilih untuk menikah dan punya anak itu siapa? Setiap pilihan ada konsekuensinya serta harus dipertangguwabkan bukan? Saya tidak mau berlindung di balik kata pengorbanan, jika itu memang adalah hal yang harus dilakukan sebagai bagian dari konsekuensi dan tanggung jawab saya. Lagian pikiran bahwa telah melakukan pengorbanan inilah yang nantinya bisa backfire begitu ada hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan terjadi.
Saya bersyukur karena keputusan saya berhenti bekerja tidak dicampuri oleh hal-hal sentimental semacam pengorbanan itu. Tidak juga karena didesak oleh pihak lain di luar pribadi saya, entahkah itu suami atau keluarga. Saya berhenti bekerja karena itulah yang menjadi jawaban Tuhan atas apa yang saya dan keluarga gumuli selama ini. Dan mungkin karena sudah jadi jawaban dari Tuhan, maka saya juga tak perlu bersusah-susah menjelaskan ke orangtua saya kenapa saya berhenti bekerja. Mereka tak perlu mempertanyakan lagi kenapa oh kenapa, karena tanpa saya jelaskan pun Tuhan sudah membantu mereka untuk mengerti π. Dan karena ini adalah jawaban dari Tuhan, maka saya bisa bahagia menjalaninya π.
Begitulah pemirsa, cerita saya di hari Jumat malam ini. I’m writing this while my husband is sittingΒ right next to me, we’re watching Our Souls At Night, a movie that reminds me of how time passes by so quickly. I’m glad that I can pour my heart out in this post about how this all quitting work thing wasn’t my choice, yet I feel thankful, happy, and satisfied with that decision. I know it will be read by unknown and silent people, but I don’t mind. I’m just more than happy to write down my feelings, things unexplained even to my close relatives except for my husband. It always helps to understand me better.
Life is about making choices, they say. I always believe that it’s true. And as I grow older, I become more and more realize that the best choice to take is to let God choose the path for me.
Happy weekend!
Kalau segala sesuatu dihubungkan dengan rencana Tuhan, emang lebih ringan menjalaninya ya.
Iya Teh, betul sekali π₯°
Hi Mba Lisa,
salam kenal, saya sudah lama baca blognya tapi baru comment hehe.
Thanks untuk tulisannya ya,.. sangat inspiratif
Salam kenal dan thanks juga sudah mampir sini yaaa…
Terima kasih, Jeng Allisa… tuk sharing luar biasa ini. Mengambil keputusan dengan banyak pertimbangan dan mendoakan pada setiap tahapnya.
Salam hangat buat keluarga Plovea duo R.
Sama-sama Bu Prih, terima kasih juga sudah mau membaca…hehe…Salam balik dari keluarga saya yaa Bu Prih π
Yang paling penting, kita berhenti bukan karena disuruh. Paling kesel kalo denger cerita berhenti karena disuruh suami/ ortu untuk urus RT. Pingin jitak hahaha.
Hahahahaha…bener, paling males soal urusan berhenti kerja ini kalau pake acara disuruh2 π
Memang waktu dan jalannya ya. Makasih sharingnya mba
Iya betul, thanks juga sudah mampir yaa
Seneng bacanya, makasih udah mau berbagi perngalamannya soal kerja ama berkeluarga. Semoga idup Ibu ini sehat selalu, bahagia ma menyenangkan untuk dijalani. Aamiin. Insyallah sering2 mampir deh ke blognya Mbak.
Amin, thank you doanya dan thank you juga udah mampir sini ya π