Bagaimana Jika….

Sejujurnya saya maju mundur untuk memulai menulis ini, karena itu berarti saya harus membuka lembaran lama cerita hidup saya yang sebenarnya ingin sekali bisa saya lupakan meski hampir tak mungkin karena sudah terlanjur meninggalkan bekas yang sangat terlihat hingga saat ini. Beberapa kali draft tulisan ini saya ganti, karena selain ragu dengan kesiapan hati saya sendiri, saya juga bingung bagaimana memulai menceritakannya karena saya sebenarnya tidaklah pintar menulis 😅. Akhirnya setelah beberapa waktu berkutat dengan diri saya sendiri soal tulisan ini, saya pun memutuskan untuk menulis apa adanya saja, meskipun tentu tidak semua harus diceritakan secara detail.

Baiklah kita mulai.

Rumah dan kenangan

Beberapa waktu yang lalu suami saya ada urusan pekerjaan di Palembang yang kemudian disempatkannya juga untuk mengunjungi rumah kami di sana. Puji Tuhan, rumah itu terawat dengan sangat baik oleh orang yang kami berikan amanah untuk menjaganya. Sebenarnya amat sangat sering penjaga rumah kami mengirimkan foto-foto rumah itu, namun melihat dari foto tentu berbeda dengan melihat secara langsung. Menyusuri langsung rumah itu, ruangan demi ruangan, banyak kenangan bermunculan tentang hari-hari yang kami lalui di rumah itu. Semua kenangan itu menghadirkan haru di hati suami dan juga di hati saya karena saat itu kami berdua melakukan panggilan video.

Rumah itu adalah rumah masa kecil anak-anak kami. Rumah yang pernah menjadi tempat di seantero dunia ini yang paling nyaman dan aman untuk kami. Rumah yang di dalamnya kami merasakan banyak sekali berkat dalam keseharian kami. Bagi saya pribadi, rumah itu juga adalah rumah yang sangat saya cintai. Meski mungkin saya tidak berkesempatan menikmati rumah itu sebagaimana mestinya, namun tetaplah rasa cinta saya pada rumah itu sangat besar! Rumah itu, adalah hadiah dari Tuhan untuk kami. Bila mengingat kembali proses kami bisa mendapatkan rumah itu, maka sungguh rasanya tak menyangka bahwa dengan keterbatasan kami saat itu tapi kami bisa memiliki rumah dengan ukuran yang jauh dari kata kecil dan terletak sangat strategis di tengah kota Palembang. Waktu yang Tuhan berikan untuk kami bisa mendapatkannya juga amat sangat tepat, yakni ketika kami sudah benar-benar butuh. Saat itu saya sedang hamil anak kedua, anak pertama sudah bersekolah, saya bekerja, suami bertugas jauh di kota lain, dan saya sedang tidak punya ART serta supir. Kami sudah punya rumah saat itu, tapi lokasinya di pinggiran kota, sehingga waktu tempuh setiap hari antara rumah – sekolah – kantor adalah cukup lama dan melelahkan. Di usia muda kehamilan saya juga mengalami pendarahan, jadi sangat berharap agar bisa pindah ke rumah yang di tengah kota agar dekat saja jaraknya dengan sekolah serta kantor. Puji Tuhan, memasuki trimester kedua kehamilan, harapan kami itu diwujudkan oleh Tuhan. Sebuah rumah di tengah kota, baru saja dibangun, dan bahkan ada bonusnya: rumahnya sangat cantik 😍.

Saking cantiknya rumah itu di mata saya, semangat saya menggebu-gebu untuk mendandaninya. Saya rajin mendekorasinya dan karena tadinya tidak pernah ada rencana untuk pindah dari situ, maka hampir setiap tahun ada saja agenda menambah bagian ini dan itu di rumah itu. Saya malah selalu berpikir bahwa kami akan tinggal di rumah itu sampai kami selesai melakukan tugas kami membesarkan anak-anak dan mengantarkan mereka untuk hidup mandiri.

Melihat kembali ruangan demi ruangannya, di tengah haru dan di tengah satu demi satu kenangan masa kecil anak-anak yang bermunculan, memori lain muncul di benak saya.

Memori yang menjadi alasan kenapa saya bisa dengan rela hati meninggalkan rumah yang sangat saya cintai itu, rumah yang semestinya menjadi basecamp kami sampai menjelang masa pensiun nanti…

Pandemi dan perilaku kompulsif yang meningkat

Sejak dulu saya adalah orang yang sangat memperhatikan higiene, yang mana tentu itu termasuk menjaga kebersihan tangan. Jauh sejak sebelum pandemi terjadi, saya sudah selalu menyediakan hand sanitizer di dalam tas, di mobil, di atas meja kantor, di atas meja samping tempat tidur, dan di ruangan-ruangan dalam rumah di mana anak saya sering berada. Saya tidak pernah menyentuh ‘tombol bersama’ entahkah itu tombol lift, gerbang parkir, mesin absen, mesin ATM, mesin EDC, pesawat telepon kantor, keyboard server, dan semua-semuanya tanpa setelah itu langsung membersihkan tangan saya dengan hand sanitizer. Saya juga tidak pernah menyusui anak, jam berapapun, di mana pun itu, tanpa memastikan tangan saya sudah bersih. Ketika bersalaman dengan orang pun memang sudah menjadi bawaan saya untuk setelah itu merasa harus membersihkan tangan kembali. Meski begitu, perilaku saya yang sudah sejak dulu tertatanam itu tak pernah terasa mengganggu keseharian saya. Pikir saya, semua itu saya lakukan karena memang sudah terbiasa dengan itu dan bukannya karena didorong oleh kecemasan atau hal-hal apapun yang berkaitan dengan mental.

Saya juga sangat senang dengan kerapian dan keteraturan. Pengaturan yang simetris adalah definisi rapi untuk saya. Semua barang harus ada dan berada pada tempatnya, itulah prinsip saya. Tapi lagi-lagi buat saya itu masih wajar dan selalu menampik bila ada yang bilang kalau saya termasuk pengidap OCD. Buat saya, yah saya hanya senang saja melihat segala sesuatu yang tertata rapi serta teratur. Lagipula saya tidak pernah memaksa orang lain yang ada di sekitar saya untuk harus mengikuti aturan rapi saya. Suami dan anak-anak bisa saja membuat barang-barang menjadi berantakan di mata saya. Tak mengapa, saya tak akan marah, toh nanti bisa saya rapikan menurut standar saya. Jika ada keluarga atau teman yang berkunjung ke rumah pun saya bisa menurunkan standar saya agar kenyamanan mereka tidak terganggu.

Semua masih terkendali.

Sampai pandemi terjadi dan semua yang tadinya saya pikir terkendali dan hanya saya lakukan karena terbiasa saja, ternyata tidak lagi sesederhana itu. Saya dilanda kecemasan hebat dan perilaku saya mengarah ke tidak normal.

Saya takut memegang semua barang, padahal semua barang yang dari luar sudah dibersihkan oleh suami saya dengan tisu alkohol. Sayuran dan buah juga sudah dicuci dengan sabun dan sudah dijemur di bawah matahari. Namun tetap saja, saya tak akan memegang satu barang pun tanpa segera mencuci tangan saya. Lebih parah, saya bahkan menjadi takut memegang perabot dan barang-barang di dalam rumah sendiri. Bawaan saya setiap memegang sesuatu adalah langsung mencuci tangan dan yang membuat masalah bertambah adalah, sekali saya mencuci tangan, saya akan melakukannya berulang-ulang, ulang-ulang, ulang-ulang, karena saya khawatir mungkin ada bagian di tangan saya yang belum terkena sabun, jangan sampai masih ada kuman di tangan saya. Tak heran kalau kulit tangan saya rusak parah, sampai sekarang. Saat itu juga saya memotong kuku benar-benar sangat pendek karena khawatir bila ada sedikit saja kuku yang keluar dari kulit maka akan ada kuman yang menempel di situ.

Pernah suatu kali ketika sedang memasak sarapan, saya sampai terduduk di lantai dapur, menangis meraung seperti anak kecil, karena saya tidak sanggup melanjutkan memasak…..

Hanya gara-gara takut memegang bawang merah….

🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️🤦‍♀️

Tak berhenti sampai di takut memegang barang, saya bahkan menjadi takut sekali memegang suami dan anak-anak….

Rasa takut dan cemas yang saya rasakan itu bukan karena saya takut sakit.

Saya cemas karena takut jika suami dan anak-anak jadi sakit karena saya yang kurang menjaga kebersihan tangan saya. Saya takut sekali terjadi apa-apa dengan mereka karena kesalahan saya. Saya benar-benar takut hingga berada pada titik di mana saya takut oleh ketakutan saya sendiri.

Masa itu sangat kelam untuk saya. Ketakutan yang saya rasakan tidak hanya membuat saya tertekan, namun juga merasa terpenjara karena ada banyak hal yang tidak bisa lagi saya lakukan, padahal saya sudah terbiasa aktif bahkan tidak bisa diam di rumah. Yang membuat perasaan saya semakin runyam adalah rasa takut memegang barang-barang itu juga berdampak pada saya yang jadi takut beberes rumah. Yang tadinya semua harus serba rapi dan teratur serta simetris, akhirnya ya sudahlah, yang penting ada pada tempatnya saja. Kepala saya sakit sebenarnya melihat perabot dan barang-barang tidak tertata sebagaimana mestinya, tapi kalau saya bereskan nanti setiap memegang satu barang saya akan cuci tangan, pegang barang yang lain lagi, cuci tangan lagi. Begitu seterusnya sampai tidak kelar-kelar, yang selesai hanyalah tangan saya. Kering. Keriput. Bersisik. Ah, jika diingat lagi masa itu, benar-benar yah, lebih baik tak usah saya ceritakan semua apa isi kepala saya saat itu, supaya yang membaca jangan sampai ikut stress 😅.

Yang pasti, melihat kenyataan yang ada, saya dan suami sepakat kalau saya tidak bisa ditinggal sendiri tanpa ada suami saya mendampingi secara langsung. Karena itulah, ketika dia harus kembali ke Jakarta karena pekerjaan mengharuskannya untuk kembali bekerja di kantor, saya dan anak-anak harus ikut dia. Kami sangat mencintai rumah itu, tapi kondisi saya saat itu sama sekali tidak memungkinkan untuk tinggal sendiri hanya bersama anak-anak.

Berat sekali sebenarnya yang kami rasakan saat itu, apalagi itu kan masih di masa awal pandemi. Jangankan memikirkan masa depan, bisa bertahan melewati pandemi saja tidak tahu kan.. Semua terasa kabur dan tak pasti….

Dan bagi saya pribadi, masa itu terasa semakin kelam karena jati diri saya seperti hancur. Saya, si wanita mandiri ini, yang bisa bekerja sambil mengurus keluarga dan rumah dengan sangat baik, yang selama ini yakin punya iman yang kuat, ternyata bisa selemah itu. Saya menjadi sangat sedih ketika melihat apa yang terjadi dengan diri saya dan terus bertanya, “Kenapa bisa setakut ini? Kenapa bisa selemah ini?”

Masa kelam dan pertolongan Tuhan

Teman-teman yang Kristiani pasti pernah mendengar tentang kisah Nabi Elia yang setelah diijinkan Tuhan melakukan banyak mujizat bahkan bisa dengan seorang diri saja mengalahkan empat ratus lima puluh orang nabi Baal, kemudian malah bisa merasa ketakutan akan nyawanya setelah mendapat ancaman dari Ratu Izebel.

Ketika Tuhan berkata bahwa Ia akan menyertai kita sampai kepada akhir zaman, itu memang benar-benar ya dan amin. Itulah yang saya rasakan dalam kelamnya hidup yang saya rasakan saat itu.

Meskipun saya dalam ketakutan, kesedihan, serta hancur hati, Roh Kudus tetap menolong saya untuk berdoa dan membaca Alkitab setiap hari.  Saya bahkan dituntun untuk membaca Firman Tuhan tentang kisah Nabi Elia di atas. Ketika membaca itu, saya menangis, karena merasa Tuhan sedang menghibur saya dengan berkata bahwa tidak apa-apa untuk merasa takut. Bahkan Elia, nabi Tuhan yang sebesar itu pun bisa merasa takut. Yang terpenting adalah tetap datang kepada Tuhan yang akan selalu menolong. Tuhan pasti tolong, tidak pernah tidak. Firman Tuhan yang saya baca itu sungguh menguatkan dan membangkitkan semangat saya. Hidup dalam ketakutan memang bukanlah suatu hal yang baik, tapi jangan juga merasa terpuruk, karena Tuhan juga mengerti kok bahwa manusia yang hidup dalam daging yang lemah ini bisa merasa takut.

Pertolongan Tuhan juga nyata lewat suami saya, yang sebenarnya saat itu bingung sekali harus bagaimana. Selama ini yang dia tahu, saya adalah istri yang mandiri dan kuat serta yang paling rajin berdoa di rumah 😅. Dalam bayangannya, seharusnya dalam kondisi pandemi yang seperti ini, saya akan masuk ke dalam golongan orang-orang yang merasa paling aman. Kenapa? Karena toh selama ini saya sudah memperhatikan kebersihan bahkan lebih daripada protokol kesehatan yang terus digaungkan pada saat itu. Suami juga mengenal saya sebagai orang yang logikanya selalu jalan, maklum programmer 🤭. Ditambah lagi yang dia tahu saya rajin berdoa serta membaca Alkitab 😅. Dalam logika suami saya, seharusnya saya tidak gampang ketakutan dan juga tidak gampang terpengaruh oleh pemberitaan yang memang sangat gencar saat itu.

Tapi ternyata kenyataan yang terjadi pada saya sungguh jauh berbeda dari apa yang dibayangkan suami saya.

Dia pun bingung harus bagaimana. Menghadapi pandemi yang serba tak pasti saja sudah membingungkan, apalagi sehari-hari berhadapan dengan istri yang tingkah lakunya kian hari kian memprihatinkan dan meresahkan.

Namun bersyukur, bersyukur sekali, di saat itu Tuhan justru menuntun suami saya untuk mencari Tuhan. Di tengah kebingungannya, dia datang kepada Tuhan. Dia menjadi sangat rajin berdoa dan membaca Alkitab dengan sungguh. Kalau tadinya dia hanya membaca Alkitab sekadarnya saja, sejak saat itu dia mulai dituntun Tuhan untuk lebih lagi mendalami apa yang dibacanya. Di tengah ketidaktahuannya harus bagaimana dengan saya, Tuhan menolongnya dengan memberikan kesabaran yang luar biasa untuk saya….

Ketika saya sampai tidak bisa memasak dan hanya bisa menangis terduduk di lantai dapur, suami saya tidak berkata apa-apa, dia hanya memeluk saya sampai saya tenang, setelahnya dia kemudian mengajak saya berdoa.

Kesabarannya juga dia tunjukkan ketika dia tidak pernah mengomentari saya yang sedikit-sedikit cuci tangan. Paling ketika dia melihat saya yang mencuci tangannya sudah berlebihan, dia akan bilang, kalau tangan saya sudah cukup bersih. Dia juga dengan sabar menuntun saya untuk berpikir bahwa pegang ini dan pegang itu tidak apa-apa, tangan saya tetap bersih, saya tak akan membuat dia dan anak-anak sakit karena salah pegang barang. Kesabarannya itu dia tunjukkan bukan dalam waktu yang singkat, namun bertahun-tahun selama pandemi, bahkan sampai sekarang. Yupe, kebiasaan saya sedikit-sedikit membersihkan tangan itu masih belum hilang. Suami tidak pernah protes, tidak pernah melontarkan komentar negatif yang membuat saya merasa semakin buruk. Dia menerima kebiasaan baru saya namun dengan memberikan batas-batas yang lambat laun kemudian bisa saya terima dan lakukan. Suami juga menolong saya dengan dia yang selalu membersihkan barang-barang dari luar tapi dengan selalu bilang bahwa memang kenyataannya sangat baik membersihkan terlebih dahulu barang sebelum digunakan, karena yang namanya barang yang dipajang di supermarket atau toko itu rentan terkontaminasi dengan kotoran bahkan bakteri. Meski saya tahu dia hanya ingin membuat saya merasa lebih baik dan tidak terus menerus berpikir yang tidak-tidak, tapi dia melakukannya dengan serius dan konsisten, sampai hari ini.

Hal yang paling saya hargai serta syukuri, adalah tidak pernah sekalipun suami menuding saya sebagai orang tolol atau lebih parah sebagai orang yang tidak beriman. Saya tahu, dia tahu persis, tanpa ada yang menuding pun, saya sudah sangat terintimidasi oleh ketakutan yang saya rasakan. Intimidasi yang paling menghancurkan hati adalah perasaan bahwa saya ini sebenarnya adalah orang yang tidak beriman. Bersyukur, bersyukur sekali, Tuhan begitu baik. Intimidasi itu tidak diijinkan-Nya datang dari orang yang terdekat dengan saya sehingga saya, bagaimanapun ketakutan saya, tidak pernah sekalipun Tuhan ijinkan ada keraguan untuk datang kepada-Nya dan berdoa.

Suami saya memang sudah sejak dulu adalah suami yang baik, tapi kami sadar sepenuhnya bahwa kesabaran serta hikmatnya menghadapi saya yang sampai sedemikian adalah berkat pertolongan dan anugerah Tuhan.

Pertolongan Tuhan yang sama yang membuat saya perlahan demi perlahan bisa bangkit dari keterpurukan. Masih ada kebiasaan yang tinggal menetap sampai hari ini memang, jadi kalau bertemu saya dan saya sedikit-sedikit masih membersihkan tangan, tolong dimaklumi saja ya, itu bukan karena saya menganggap orang lain kotor, tapi karena saya merasa nyaman seperti itu dan percayalah bahwa saya yang sekarang ini sudah amat jauh lebih baik dibanding saya beberapa tahun silam 😁. Meski begitu, saya sudah sangat lega karena sudah bukan lagi manusia yang hidup dalam ketakutan setiap saat dan saya pun sudah berada pada fase menerima diri saya apa adanya sehingga saya telah berhenti menghakimi dan mengintimidasi diri sendiri.

Bagaimana jika…..

Kenangan tentang rumah dan tentang masa kelam yang pernah kami lalui itu kemudian menghantar saya pada sebuah pertanyaan.

Bagaimana jika seandainya pada saat itu saya tidaklah menjadi lemah? Andaikan saya tetap seperti saya yang dulu, kuat serta mandiri, maka apa yang akan terjadi? Hidup seperti apa yang akan kami jalani?

Andai saya dulu bisa lebih kuat menghadapi pandemi, maka kemungkinan besar kami tidak akan meninggalkan Palembang dan rumah kami di sana. Saya juga pasti akan kembali bekerja karena masa cuti tanpa tanggungan saya juga berakhir di tahun 2020. Anak-anak akan tetap bersekolah di tempat yang sama. Keluarga kami? Ah, kemungkinan besar kami akan tetap menjalani kehidupan keluarga jarak jauh yang hanya berkumpul saat akhir pekan. Anak-anak akan lebih banyak bertumbuh hanya dengan saya. Suami akan tetap berupaya sebisa mungkin ada untuk kami, namun tetap saja dia akan kehilangan banyak momen bersama kami. Dan saya sendiri akan tetap seperti dulu, yang kuat dan mandiri, yang setiap membuka mata di pagi hari diperhadapkan dengan dilema sebagai ibu bekerja, yang perantau, yang jauh dari suami, yang terpaksa take it slow kalau sudah tentang karir karena jauh lebih mengutamakan anak-anak, dan yang sangat keras kepala. Apalagi jika itu sudah menyangkut anak-anak, saya selalu merasa lebih tahu daripada suami 😅.

Saya tidak tahu apakah dengan tetap menjalani kehidupan seperti itu akan baik hasilnya untuk kami atau tidak. Namun yang saya tahu pasti, kehidupan kami yang sekarang jauh lebih baik daripada itu. Kenapa? Karena inilah yang Tuhan ijinkan untuk kami jalani dan memang pada kenyataannya kami sangat mensyukuri kehidupan kami sekarang. Lewat kelemahan saya, Tuhan memberikan anugerah hidup yang seperti sekarang, dan apa yang Tuhan beri pasti lebih baik sehingga kehidupan yang ‘bagaimana jika’ itu menjadi sesuatu yang tidak ingin kami jalani.

Kelemahan saya memang telah menjadi faktor pendorong kami meninggalkan rumah dan kota tercinta serta kemapanan hidup yang sudah kami dapatkan saat itu, bahkan juga kelemahan itu kemudian menjadi salah satu dari sekian banyak pendorong bagi saya meninggalkan pekerjaan. Setelahnya kami juga harus menjalani masa-masa yang seperti mengulang semua dari awal. Tinggal di tempat yang terbatas serta beberapa kali berpindah rumah sampai akhirnya Tuhan memberikan kami tinggal di lingkungan yang adalah impian kami. Proses yang kami jalani tidak mudah, namun kebaikan Tuhan terus kami rasakan sampai kami bisa melihat bahwa bahkan kelemahan saya pun bisa Tuhan pakai untuk menjadi jalan agar kami bisa keluar dari zona nyaman dan diberkati lebih dari apa yang kami pikirkan sebelumnya 🙏.

Belum lama ini, lewat momen ulang tahun kami yang berturut-turut, hal itulah yang menjadi salah satu perenungan kami. Betapa baiknya Tuhan dan betapa tak terselami rancangan-Nya, bahkan keterpurukan pun bisa dipakai-Nya menjadi jalan untuk kehidupan yang lebih diberkati.

Saya menulis ini untuk berbagi dengan siapa saja yang membaca tulisan saya ini. Kami, sama seperti semua manusia di muka bumi ini, tidak selalu baik-baik saja. Kami juga mengalami pergumulan terkait kesehatan mental, dan saya yakin semua orang pun pernah mengalami permasalahan dengan kesehatan mental yang tidak baik-baik saja. Sama seperti tubuh fisik kita yang bisa jatuh sakit, mental kita pun demikian. Mungkin yang saya alami masih terlalu mudah atau biasa-biasa saja dibanding yang dialami orang lain, namun saya berdoa kiranya setiap orang yang menggumuli ini juga dapat menemukan pertolongan Tuhan. Amin 🙏,

Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28).

Satu respons untuk “Bagaimana Jika….

Add yours

  1. Hai Allisa, sudah lama tidak komen di blog kamu. Semoga keadaan terkini makin membaik ya dan sehat sekeluarga.

    Aku selalu percaya bahwa apapun yang terjadi di dunia ini, sudah diatur dan atas ijin Tuhan. Yang terjadi dalam hidupmu juga kupercaya bahwa Tuhan lah yang menjadikan semuanya lebih baik dan untuk kebaikan semuamya. Meski saat menjalaninya, ada saja kesusahan yang menyertai.

Tinggalkan Balasan ke denaldd Batalkan balasan

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑