Tentang Tontonan Yang Sangat Berkesan Untuk Kami Berempat

Kami sekeluarga dari dulu memang hobi menonton. Apalagi setelah pandemi melanda, makin meningkatlah hobi itu di dalam rumah kami, lumayan membantu sih supaya tidak merasa bosan karena hanya berdiam diri di dalam rumah saja. Tontonan, benar-benar menjadi salah satu yang menemani kami melewati hari demi hari di masa pandemi yang masih belum tahu kapan akan benar-benar berakhir ini. Bersyukur ya, pandemi melanda di saat Internet sudah seperti sekarang dan teknologi Smart TV sudah menjadi hal yang lumrah, sehingga pilihan tontonan menjadi sangat luas dan tidak lagi terbatas pada saluran TV tertentu. Sekarang ini sih tinggal pilih ya, mau menonton di Netflix, Prime Video, Disney+ Hotstar, HBO, Vidio, Youtube, Google Play Movies & TV, dan banyak lagi pokoknya. Semakin ke sini semakin banyak, terkadang malah sampai bingung mau pilih yang mana, meskipun kadang kesal juga karena meski pilihan banyak tapi ternyata tak ada yang sesuai selera…..saking kebanyakan maunya 😅.

Biasanya di hari kerja kami menonton di malam hari apabila semua yang perlu dilakukan bisa selesai lebih awal dari jam tidur normal. Eh, jam tidur normal di saat pandemi sih memang bergeser lebih larut ya dibanding saat situasi normal dulu, maklum sekolah dan kerja hanya dari rumah, jadi tak perlu bangun terlalu pagi 😁. Sementara di weekend, kami akan menonton TV di siang hari sehabis makan siang sampai sore menjelang malam dan dilanjut menonton lagi di malam hari setelah semua pekerjaan rumah selesai dan kami semua sudah saat teduh serta doa malam bersama.

Jenis tontonan yang kami pilih beraneka ragam. Drama, serial, film, reality show, romantis, komedi, thriller, apa saja pokoknya yang penting alur cerita serta aktingnya bagus dan tema ceritanya cocok dengan selera kami. Kadang kami menonton berempat bersama-sama apabila rate tontonannya cocok untuk anak-anak. Tapi terkadang juga kami pisah tempat, anak-anak menonton di TV di atas sementara saya dan suami menonton di TV di bawah atau sebaliknya. Hal yang terakhir ini terjadi kalau saya dan suami menemukan tontonan yang sesuai dengan selera kami namun rate-nya tidak sesuai untuk anak-anak.

Nah, meskipun jumlah tontonan yang kami tonton dari sejak awal pandemi melanda hingga sekarang ini bisa dibilang sudah tak terhitung lagi, namun ada dua tontonan yang sangat berkesan buat kami. Kedua tontonan yang sama-sama berupa serial itu sangat berkesan karena setiap kami mengingat, melihat, atau mendengar tentang keduanya, akan membuat kami teringat dan seolah bisa merasakan kembali masa-masa yang kami alami ketika kedua tontonan itu menemani hari-hari kami.

When Calls The Heart

Image is from here

Ini tontonan pertama yang saya maksud. Mungkin sebagian pembaca sudah familiar dengan serial ini, karena ini termasuk serial lama yang sudah mulai dirilis sejak tahun 2014, walaupun baru masuk ke Indonesia setelah Netflix juga masuk ke sini.

Serial ini di Indonesia ditayangkan di Netflix hanya sampai Season 5 (aslinya sekarang ketika saya menulis ini, When Calls The Heart sudah mau masuk ke Season 9, kalau saya tidak salah). Bercerita tentang Elizabeth Thatcher yang rela meninggalkan kehidupan mewahnya di kota demi menjadi guru di kota penambang kecil, Coal Valley. Serial ini berlatar belakang tahun 1910, jadi hanya berselang 8 tahun sebelum pandemi flu melanda dunia untuk pertama kalinya  😁.

Serial ini mengingatkan kami akan masa-masa di awal pandemi yang kami jalani di rumah Palembang. Masa-masa ketika semua terasa mengejutkan dan menakutkan. Tiba-tiba saja sendi-sendi kehidupan berubah. Yang tadinya bisa bebas keluar, bahkan sering kali mengeluh betapa banyaknya waktu yang harus habis di jalan karena harus ke sana dan ke mari, lalu tiba-tiba merasa takut untuk berada di luar rumah bahkan untuk berada di taman depan pun takut karena khawatir disamperi tetangga. Saat itu kehidupan serasa terputus dari dunia luar, secara tiba-tiba. Semua harus dilakukan dari dalam rumah. Sebenarnya sampai sekarang juga masih begini sih, cuma kalau sekarang kan sudah menyesuaikan ya jadi beda rasanya dengan saat permulaan itu. Awalnya kami di rumah berempat: saya, si abang, si adek, dan si suster. Lalu di akhir Maret sebelum PSBB yang pertama kali diterapkan di Jakarta, suami pulang ke Palembang hingga di rumah menjadi berlima. Lalu tidak lama setelah suami berkumpul bersama kami di rumah Palembang, di pertengahan April si suster undur diri pulang ke Lampung hingga akhirnya di rumah hanya berempat saja.

Nah, kenangan pada masa-masa di mana kami hanya berempat inilah yang paling dibangkitkan oleh serial When Calls The Heart ini karena memang serial itu mulai rajin kami tonton setelah hanya tinggal berempat saja di rumah. Sebenarnya saya sudah mulai menonton serial ini dari sejak masih ada si sus, biasanya nonton sore-sore sambil bikin kue di dapur, tapi waktu itu suami dan anak-anak belum ikut menonton dan saya sendiri pun masih agak jarang menonton serial ini. Setelah si suster pergi, setiap hari saya jadinya menonton When Calls The Heart buat teman saya menyetrika baju 😁. Sejak itulah pelan-pelan suami dan anak-anak juga ikut menonton. Awalnya hanya sekedarnya saja, tapi kemudian malah mereka yang suka bertanya kapan saya menyetrika supaya kami bisa  menonton When Calls The Heart bersama-sama. Lama kelamaan, yang biasanya hanya untuk teman menyetrika, serial ini kemudian menjadi semacam tontonan wajib untuk kami begadang di kala weekend 😅.

Serial ini membekas sekali di hati kami semua. Dengan mengingat atau mendengar jingle dan soundtrack-nya saja, mampu membuat kami merasakan kembali apa yang kami rasakan saat itu. Peralihan dari perasaan takut, khawatir, bahkan paranoid parah yang sempat saya alami, menuju ke perasaan yang puji Tuhan pelan-pelan mulai bisa menerima kondisi yang ada.

Tidak begitu lama setelah kami menyelesaikan semua seri When Calls The Heart yang tayang di Netflix, kami pun sudah bersiap untuk pindah ke Jakarta.

The World’s Most Extraordinary Homes

Nah, kalau When Calls The Heart mengingatkan pada masa-masa awal pandemi, maka serial The World’s Most Extraordinary Homes mengingatkan kami pada masa-masa awal kami tinggal di apartemen Pakubuwono.

Pada tau tidak ya dengan serial yang satu ini?

Serial ini adalah semacam mini seri dokumenter tentang rumah-rumah paling luar biasa di seluruh dunia. Jadi di setiap episodenya, kedua host yaitu Caroline dan Piers mendatangi rumah yang dibangun dengan desain arsitektur yang luar biasa di tengah lingkungan yang tidak biasa. Sungguh, menonton serial ini membuat kami ter-wow-wow melihat alangkah bagusnya rumah-rumah di aneka belahan dunia yang mereka kunjungi itu.

Berkebalikan dengan When Calls The Heart, awalnya yang menonton serial ini adalah suami dan anak-anak. Entah bagaimana awal mulanya, yang saya tahu suatu kali selagi saya  bersaat teduh sendiri di kamar, mereka bertiga menemukan serial ini. Selesai saat teduh saya pun ikut menonton dan sejak saat itu, setiap ingin menonton bersama, kami akan memilih serial ini sampai semua episode di kedua season-nya yang ditayangkan di Netflix selesai kami tonton.

Setiap mengingat tayangan ini, kami akan teringat pada masa di mana kami berusaha menyesuaikan hidup di unit apartemen yang ukurannya cukup kecil.

Ruang terbatas, fasilitas pun terbatas.

Anak-anak harus berbagi tempat tidur yang lebarnya hanya 90cm, kamar mandi hanya ada satu jadi setiap ada keperluan ke situ ya harus mengantri, dapur sangat kecil sehingga lumayan membuat kami kewalahan untuk urusan cuci piring sehingga saya kemudian menghindari masak memasak yang berat dan yang menggunakan banyak perkakas (ended up, while we were in that apartment, I only cooked for breakfast 😅) , pakaian terbatas karena kami hanya membawa jumlah yang sekedarnya saja dari Palembang, dan dunia luar sehari-hari yang bisa kami dengar dan lihat hanyalah dari jendela apartemen yang puji Tuhan mengarahnya bukan ke tower lain 😄.

Kehidupan kami sangat terbatas di apartemen itu, sehingga melihat rumah-rumah di serial The World’s Most Extraordinary Homes yang bagusnya luar biasa di tengah alam yang lebih luar biasa lagi itu membuat kami serasa cuci mata dan sejenak dunia kami bisa teralihkan dari kenyataan di hadapan kami saat itu. Melihat rumah-rumah itu membuat mata dan pikiran seperti disegarkan. Perasaan itulah yang selalu terbangkitkan setiap kali mengingat tentang serial itu. Sangat kami sayangkan memang, serialnya hanya berhenti di season dua saja, inginnya bisa ada season baru lagi, lumayan menyegarkan soalnya tontonan yang seperti ini. Tapi mungkin bisa jadi produsernya juga sudah kesulitan menemukan rumah luar biasa lain untuk diliput, karena pasti tidak mudah menemukan rumah dengan kriteria the world’s most extraordinary yang diusung sebagai tema serial ini.

Meskipun baik When Calls The Heart maupun The World’s Most Extraordinary Homes keduanya mengingatkan kami pada masa-masa pandemi yang tentu sulit bagi seluruh dunia, termasuk kami, namun setiap mengingat kedua serial itu, yang kami rasakan adalah perasaan yang hangat, tenang, dan bahagia.

Mungkin karena kami menontonnya bersama-sama berempat sehingga selalu muncul kenangan ketika kami tertawa bersama, penasaran bersama, dan terkagum-kagum bersama. Kebersamaan setiap hari, yang justru baru bisa kami nikmati setelah pandemi tiba.

Atau mungkin juga karena lewat kedua tontonan itu, mata dan pikiran kami bisa sejenak teralihkan dari kondisi sekeliling yang sedang jauh dari normal…

When Calls The Heart membuat kami melihat kehidupan yang sederhana, hangat, dan apa adanya. Sungguh jauh berbeda dengan kondisi pandemi, yang meski membuat semua kesibukan di luar berhenti, namun membuat kecamuk di dalam diri. Pikiran penuh dengan protokol ini-itu serta kekhawatiran yang sungguh besar. Apalagi kalau sudah mendapat share berita di media sosial dan di grup-grup WA. Yang dibagikan belum tentu benar padahal, tapi rasa khawatirnya sudah terpicu sangat tinggi. Dengan menonton When Calls The Heart yang suasananya tenang, meskipun ada konflik khas serial drama, maka hati dan pikiran kami bisa teralihkan dari segala rasa tidak nyaman akibat kondisi pandemi.

Sementara, menonton The World’s Most Extraordinary Homes membuat semangat kami yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi hidup di apartemen, terbangkitkan. Di tengah kondisi di dalam unit apartemen yang begitu terbatas, hati kami ikut bahagia melihat hunian-hunian yang isinya begitu lengkap dan tampak mengakomodir semua kebutuhan penghuninya yang ditampilkan oleh serial ini. Kebahagiaan itu memang menular. Yang punya rumah pasti bahagia dengan rumah milik mereka (semoga yaa…amiinn), kami pun yang hanya melihat dari layar kaca jadi ikut bahagia.

Sekarang, kami sudah tidak lagi berada di Palembang, tinggalnya pun sudah tidak lagi di apartemen. Sejak pandemi melanda, rasanya sudah cukup banyak yang dilewati dan dialami, padahal sehari-hari hanya di dalam rumah. Sekarang kalau mengingat kembali masa-masa di apartemen, rasanya seperti yang sudah lama sekali berlalu. Apalagi kalau mengingat kehidupan di rumah Palembang, wah, rasanya yang sudah benar-benar lampau. Sungguh tak menyangka, betapa banyaknya yang telah berubah hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun ini. Hidup sudah tak sama lagi dan masih tak tahu sampai kapan kehidupan bisa kembali normal seperti dulu. Meski begitu, puji Tuhan, kasih Tuhan Yesus tetap sama, sehingga sampai sejauh ini kami tetap dimampukan melewati hari demi hari, yang mana salah satu berkat yang kami dapatkan adalah bisa menikmati tontonan-tontonan bagus bersama-sama karena kami tidak LDR-an lagi…yeaayyy!!! 💖.

Begitulah pemirsa cerita-cerita di Kamis sore menjelang weekend ini. Kalau teman-teman bagaimana, adakah tontonan yang membangkitkan kenangan tertentu untuk teman-teman?

Update 19 April 2024

All seasons of When Calls The Heart are no longer available to watch on Netflix since January 25, 2021 and The World’s Most Extraordinary Homes is also has been removed from Netflix since June 30th, 2022 😭.

Thanks for letting me know your thoughts after reading my post...

Blog di WordPress.com.

Atas ↑