Kampung Al-Munawar

Aslinya tulisan soal Kampung Al-Munawar ini rencananya akan diikutkan di Giveaway Pertama di Kisahku yang diselenggarakan oleh kak Monda. Sayang, kami ke Kampung Al Munawar saja baru bisa pada siang hari  tanggal 11 Maret (tepat di hari terakhir giveaway digelar). Rencananya sorenya saya akan langsung menuliskan liputannya di blog ini, namun apa daya, begitu pulang, anak saya malah kurang enak badan. Kalau sudah begitu, boro-boro memikirkan untuk edit foto dan menulis lagi. Yang adanya seluruh perhatian hanya terpusat ke anak saja.

Itulah sebabnya saya akhirnya tidak jadi mengikuti giveaway tersebut. Tak mengapa, karena sejujurnya kalau melihat peserta lainnya yah saya minder juga 🤭.

Kampung Al-Munawar yang akan saya ceritakan di sini merupakan tempat bersejarah yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan Undang Undang Nomor 5 tahun 1992. Meski begitu, di Palembang ternyata keberadaannya kurang begitu populer, setidaknya begitulah kondisinya sampai saat tulisan ini saya buat. Saya sendiri mengetahui tentang kampung yang terletak di kawasan 13 Ulu Palembang ini secara tidak sengaja lewat sebuah artikel. Saya kemudian bertanya kepada beberapa teman yang asli Palembang atau yang setidaknya sudah lahir dan besar di Palembang, ternyata rata-rata tidak tahu mengenai keberadaan kampung tua ini.

Entah apa yang melatarbelakangi sehingga kampung ini tidak begitu terkenal di Palembang, namun yang pasti kenyataan tersebut justru membuat saya bertambah penasaran ingin melihat seperti apa isi Kampung Al-Munawar itu. Tentu saja, orang yang saya ajak untuk menemani ke sana adalah pak suami. Awalnya suami menolak karena tempatnya tidak populer ditambah cuaca hari itu yang sangat panas dan masih ditambah pula dengan saya yang mengajak pun tidak mengetahui dengan pasti di mana alamatnya 😅.

Namun seperti biasa, suami agak sukar menolak permintaan istrinya. Tak perlu berlama-lama meminta, dia pun kemudian mau mengantarkan saya ke sana. Dalam perjalanan, suami menghubungi salah satu stafnya via telepon mengenai alamat Kampung Al-Munawar. Staf pak suami tersebut yang notabene adalah orang asli Palembang dan berdomisili di Seberang Ulu ternyata juga tidak mengetahui dengan pasti alamat kampung ini sehingga harus bertanya lagi ke orang lain 😅. Setelah alamatnya didapatkan, staf pak suami tersebut menelepon balik dan menerangkan alamatnya ke kami. Di akhir telepon, stafnya tersebut bertanya, “Ngapoi ke sano, pak? Dak kate apo-apo di situ. Gersang nian malah…

😅😅😅😅

Ya sudah, tak apa. Semakin dibilang tak ada apa-apa di situ, maka semakin pula saya penasaran. Sebenarnya ada apa di kampung yang katanya tak ada apa-apanya itu tapi ternyata bisa diangkat sebagai cagar budaya?

Maka tak peduli apapun kata orang, mari kita lanjutkan perjalanan ke sana 😁.

Sebelum kita tiba di Kampung Al-Munawar, saya jelaskan dulu mengenai kampung ini.

Kampung Al-Munawar adalah kampung yang dihuni oleh warga keturunan Arab tepatnya oleh keluarga besar keturunan mendiang Abdurrahman bin Muhammad Al-Munawar. Berdasarkan cerita, kurang lebih dua ratus tahun yang lalu, datanglah para saudagar dari tanah Arab ke tanah Palembang. Seperti halnya para saudagar dari China dan India, kedatangan mereka disambut oleh Belanda dan kemudian sebagai upaya pendekatan, diangkatlah Kapitan alias Kapten dari masing-masing suku bangsa itu. Nah, konon di Kampung Al-Munawar inilah terdapat rumah sang Kapten Arab. Beberapa sumber menyebutkan kalau Kapten Arab yang terakhir adalah Ahmad Al-Munawar dengan sapaan akrabnya Ayib Kecik.

Jadi, dari penjelasan singkat di atas, sedikit banyak bisa dipahami kan ya kalau nilai sejarah dari kampung ini adalah karena keberadaannya sebagai hunian Arab tertua di Palembang yang mewakili pola tata ruang kampung atau pemukiman masyarakat Palembang tempo dulu yang bermukim di pinggiran Sungai Musi dan Sungai Ketemenggungan. Luar biasanya, kampung ini masih terpelihara dengan baik hingga sekarang.

Ada dua cara untuk mengakses kampung ini, yaitu lewat darat dan juga lewat perairan (sungai) karena kampung ini memang terletak tepat di pinggir sungai Musi. Kami lewat jalan yang mana? Ya jelaslah lewat darat 😁.

Dari pusat kota Palembang, untuk pergi ke kampung ini kita harus melewati Jembatan Ampera, lalu berbelok menuju daerah Plaju, menyusuri jalan Kelurahan 14 Ulu, kemudian berbelok ke komplek Pemakaman Naga Swidak di 16 Ulu. Dari situ kita harus berjalan lurus hingga mentok di persimpangan tiga. Kalau ke kanan berarti ke 15 Ulu, sementara kalau ke kiri berarti ke 13 Ulu. Itu berarti, dari persimpangan ini kita harus berbelok ke kiri. Tidak jauh dari situ, kita akan menemukan lorong masuk ke Kampung Al-Munawar.

Oh ya, jangan heran dengan nama-nama kelurahannya yah. Palembang adalah Kota Sungai, sehingga nama daerah menggunakan istilah Ulu dan Ilir 😁.

Begitu tiba, awalnya kami meragu untuk masuk karena tempat ini terkesan seperti gated community. Memang gerbangnya terbuka, tapi suasananya yang sepi dan terkesan terpisah dari lingkungan sekitar membuat ada rasa yang bagaimanaaa gitu apabila masuk tanpa minta ijin terlebih dahulu.

Tapi, masak sudah jauh-jauh ke sini lalu tidak berani masuk kan ya? Lagipula ini kan cagar budaya, kalau orang yang bukan penghuni tidak boleh masuk dan melihat langsung kebudayaan kuno di sini, lalu bagaimana tempat ini bisa populer dan kemudian dicintai oleh masyarakat sini, ya kan?

Jadi akhirnya kami pun memberanikan untuk masuk.

Dari depannya saja sudah langsung terlihat deretan bangunan tua yang menghiasi kampung ini. Tidak banyak rumah di dalamnya, seingat saya tidak ada lebih dari sepuluh rumah, tapi semua dalam kondisi yang cukup terawat, meski usianya sudah ratusan tahun!

Konon, ini adalah rumah yang tertua, yaitu rumah milik Habib Abdurrahman Al Munawar

Saya memang bukan orang yang mengerti soal bangunan apalagi bahan-bahannya, namun melihat bangunan-bangunan rumah ini, saya seperti bisa melihat kekokohan yang terkandung di dalamnya. Mungkin karena saya tahu sudah berapa tahun usia bangunan yang masih tegak berdiri ini. Berdasarkan informasi yang saya dapat, sebagian bangunan menggunakan bahan Kayu Unglen atau Kayu Ulin alias kayu besi. Sebagian bangunan lagi menggunakan gabungan kayu besi dan batu. Kusen yang menghitam katanya menunjukkan kekokohan bahan yang digunakan. Selain menggunakan kayu yang berkualitas tinggi, kabarnya lagi pada beberapa bangunan menggunakan lantai berbahan marmer yang dibawa langsung dari Italia!

Arsitektur dari sebagian bangunan di sini adalah berbentuk limas yang merupakan khas Palembang, sementara sebagian lagi telah mendapat sentuhan Timur Tengah dan Eropa.

Di bagian tengah kampung, terdapat tanah lapang yang sepertinya merupakan pusat pertemuan dan juga pusat kegiatan warga kampung.

Di kampung ini juga terdapat perguruan Islam Al Kautsar.

Bila kita berjalan lurus mengikuti jalan berbatunya, maka kita akan sampai di tepi sungai. Di situ terdapat sebuah Mushola dan sebuah dermaga kecil. Saat kami ke sana, anak-anak kampung sedang asyik menikmati kegiatan memancing di dermaga itu. Melihat mereka hati ini terasa ikut bahagia 🙂.

Oleh warga penghuninya, kampung ini memang sangat dilestarikan keberadaan asli dan kebudayaannya. Rumah-rumah di sini terlarang untuk dijual bahkan untuk dikontrakkan sekalipun, padahal ukuran rumahnya lumayan luas dan saya yakin, kamarnya pasti banyak. Lumayan sih sebenarnya kalo untuk dikost-kan, hehehe… Warga kampung ini tidak mementingkan soal keuntungan finansialnya. Yang terpenting untuk mereka adalah bagaimana warisan budaya Timur Tengah (tepatnya katanya sih dari Yaman) bisa terus terpelihara di sini. O iya, warga kampung ini juga tidak mengijinkan orang di luar komunitas mereka untuk tinggal di sini. Alasannya karena mereka ketat sekali menjalankan kebudayaan mereka sehingga orang luar pun belum tentu bisa betah dengan hal tersebut 🙂.

Berbicara tentang warga penghuninya, sejauh pengamatan kami mereka terlihat cukup ramah. Beberapa kali kami berpapasan dengan mereka dan dari senyumnya saja bisa terlihat kalau mereka senang dengan kehadiran kami di sini. Ketika kami mengambil beberapa foto rumah, mereka juga hanya tersenyum mengijinkan.

Sehabis mengambil beberapa foto sambil bertanya-tanya sedikit dengan warga kampung, kami kemudian pulang dengan hati bahagia karena telah berhasil memenuhi rasa penasaran tentang Kampung Al-Munawar. Kami juga senang, karena berada di kampung ini membuat kami sejenak seperti berada di era yang berbeda.

Patut diakui, bahwa untuk menjadikan kampung ini sebagai destinasi wisata, maka ada upaya lebih yang mesti dilakukan oleh pemerintah. Usaha tersebut menurut saya mencakup salah satunya restorasi bangunan, karena meski cukup terpelihara namun ada bagian-bagian yang sudah perlu diperbaiki. Usaha lain yang perlu dilakukan adalah terkait promosi, agar paling tidak warga Palembang sendiri tertarik untuk mengunjungi kampung ini. Selain itu, mungkin juga perlu ditambahkan adanya pertunjukan kebudayaan atau museum atau pengembangan konsep kawasan wisata, agar tempat ini semakin memiliki nilai lebih.

Demikianlah liputan saya tentang Kampung Al Munawar. Bagi yang berminat atau berencana mengunjungi kota Palembang, mungkin kampung ini tidak akan masuk dalam itinerary selama berada di sini. Karena itulah, semoga dengan membaca tulisan tentang Kampung Al-Munawar ini, maka paling tidak walaupun tidak datang langsung ke lokasinya namun teman-teman sudah bisa mendapat bayangan seperti apa Kampung Al-Munawar ini.

35 respons untuk ‘Kampung Al-Munawar

Add yours

  1. Reportase yang apik jeng Lis, meski tidak ikutan GA tetap saja sebagai sharing kekayaan budaya Nusantara. Lha pasar pocong, juga pemakaman naga swidak yang di Jawa berarti enam puluh naga. Ikut menikmati kampung Al Munawarnya ….

    1. Di sini memang bahasa aslinya mirip-mirip dengan bahasa Jawa, mbak 😀

      Thanks ya mbak Prih 🙂

  2. suaminya penggemar Arsenal ya mba ? sama donk
    kalau aku lihat sekilas kampungnya mirip banget ya sama Kota Tua di Jakarta mba suasananya

    1. Sebenarnya sih suami penggemar MU, tapi dasar memang dia sukaa banget sama bola jadi suka ngoleksi jersey bola gitu 😀

      Sebenarnya agak beda sih dengan Kota Tua, karena di sini yang ada cuma rumah, kalo di Kota Tua kan ada gedung-gedungnya juga 🙂

  3. Aq terus terang suka sm bangunan bersejarah mba.namun sygnya klo di indo yg bersejarah itu konon dilupakan. Untung masyarakat sekitar msh peduli ya sama kampung ini. Klo pemerintah sik ya gitulah. Mikirnya cmn bangun emol dimana2 dan akhirnya bikin banjir…

    1. Iya, di sini tuh bangunan-bangunan tua sering gak dipelihara, makanya kadang terkesan negara ini justru mundur ketimbang maju 😦

  4. wah mbak keren, reportase kampung al munawarnya lengkap…photo photonya juga bagus……dari membacanya serasa diajak jalan jalan ke tempat aslinya..keren..wah sayang gak bisa posting untuk give away…thanks for sharing…:)

  5. Aku baru tau kampung iini dari tv belum lama, waaah ternyata letaknya tak jauh dari Bagus Kuning ya, sayangnya dulu nggak pernah tau wilayah ini, padahal mau ke Plembang dari Plaju selalu lewatin Naga Swidak ….,

    tp kuingat2 ada lho temanku yg kalau nggak salah rumahnya dekat situ, nggak ngeh, apalagi jadi cagar budaya setelah aku pindah

    Terima kasih banyak niat baik ikut GAnya ya Lis, jadi nambah informasi banget nih

    1. Hehe…memang banyak orang sini yang gak tau dengan keberadaan kampung ini, kak, kurang promosi memang 😦

      Dulu kak Monda tinggalnya di Plaju ya?

      1. Ooo…cuma sebentar berarti tinggal di sini ya kak. Tapi pasti kenangannya berbekas banget yah, secara masa SMA gitu lho 😀

    1. Hihihi…namanya lucuk ya 😀

      Itu ku taro link-nya, ada gambar pasarnya juga tuh 😀

      Thanks buat infonya ya Una 😉

    1. Hehe…tenang aja, u’re not alone :D. Kurang banget memang promosi mengenai kampung bersejarah ini 😦

  6. Aduh Jeng, ini postingan kok keren banget ya. Sayang ya, mestinya tempat ini dijadikan jambi sebagai cagar budaya, biar gak punah begitu saja. Seelah jadi atraksi wisata minat khusus, kebersihannya pasti terjaga..
    Ngomong2 semangat eksplorasi dirimu bagus Jeng..Biar kate anak baru sakit, tetap dibawa juga hehehe..Semoga semangatnya nular pada Raja..

    1. Sebenarnya sejak tahun 92 sudah dijadikan cagar budaya sih mbak, tapi promosinya masih kurang sehingga bahkan masyarakat sini pun kurang mengetahui tentang kampung ini 🙂

      Hehehe..tadinya pe-de bawa Raja karena udah dua hari dia gak demam, eh malah gak taunya pulang dari situ Raja demam lagi 😀

      Thanks yah mbak Evi 🙂

  7. harus di catet nih, diagendakan kalau suatu saat dapat jatah dinas ke palembang disempatkan berkunjung.

    Dulu ke palembang cuma ke jembatan ampera aja, mamu mampir museum sultan badaruddin II sudah tutup karena dah sore 😦

    1. Museum itu memang keknya hanya dibuka pagi sampe siang aja. Aku sendiri belom pernah ke museum itu 😀

      1. jadi klo mau kesana sebaiknya akhir pekan dong yah. Dulu itu jam 3 an segera beresin kerjaan dengan harapan bisa masuk situ. Buru-buru pula jalan, sampe sopirnya ngebut ternyata sampai sana dah tutup.
        foto-foto di depan museum aja sebagai obat kecewanya 🙂

      2. Iya, bagusnya akhir pekan, jadi bisa terkejar waktu bukanya 😀

        Mudah-mudahan bisa ke sini lagi yaaa 😉

  8. Duh…
    seperti biasa dirimu ini kalo posting reportase…super duper lengkap berikut poto yang men detail…berasa berkunjung kesono…
    *sindrom si pemalas aplod poto*

    Truuuus…
    belanja apa aja di Pasar Pocong Lis??…hihihi…

    1. Hahahaha di pasar pocong mah numpang permisi lewat ajah, aku ogah juga singgah di situ 😛

      Thanks ya mbak Erry 🙂

  9. mbak mas, di kampung al-munawar itu ad berapa lapangan/ruang terbukanya mas.?
    trus di artikel lain tertulis ad rumah yang di hadapkan ke sungai karena di ageap di tua’kan, tp tidak di jelaskan, yang dimaksud di tua’kan itu dari apanya. mungkin mbak dan mas bisa berbagi informasi dan pengalamannya mas mbak.

    1. Kalo tidak salah ingat, cuma satu lapangan terbukanya yang dikelilingi oleh rumah2.

      Memang di situ ada 1 rumah yang istimewa karena merupakan rumah kapitan Arab pertama itu

Tinggalkan Balasan ke BunDit Batalkan balasan

Blog di WordPress.com.

Atas ↑