Biarkan Mama Yang Menyendokkan Nasi Untuk Kalian…..

Suatu kali ketika anak-anak sedang libur sekolah, saya sedang sibuk membuat kue di dapur ketika teringat kalau sudah waktunya untuk anak-anak makan siang. Saya pun segera memanggil anak-anak untuk makan dan mulai menyiapkan makanan di atas meja, termasuk piring dan nasi mereka. Selagi saya menyendokkan nasi, anak saya yang pertama turun dan langsung berkomentar, “Ma, why do you always prepare our rice? You do know that we’re perfectly capable of doing that ourselves, right ma?

Mendengar pertanyaan itu, saya pun terdiam.

Yang dikatakan oleh anak saya itu benar. Mereka lebih dari mampu menyiapkan makanan mereka sendiri tanpa saya harus repot-repot menyiapkan meja untuk mereka, apalagi sampai harus menyendokkan nasi untuk mereka masing-masing. Anak-anak saya sudah besar. Jangankan urusan menyendokkan nasi, memasak untuk diri mereka sendiri saja pun, andai terpaksa, pasti bisa mereka lakukan.

Lalu kenapa saya tetap melakukan ini?

Apakah karena saya senang memanjakan anak-anak saya?

Apakah karena saya menikmati menjadikan anak-anak bak raja di rumah kami?

Kemandirian.

Semenjak menjadi orangtua, entah sudah berapa ribu kali saya mendengar dan membaca tentang hal ini dan tentang betapa pentingnya anak-anak dilatih untuk mandiri dari sejak dini. Jangankan para psikolog atau pakar parenting, orang-orang tua saja begitu saya habis melahirkan sudah langsung mewanti-wanti untuk jangan sering-sering menggendong anak supaya anak tidak bau tangan dan bisa terlelap sendiri tanpa harus digendong sana-sini atau diayun-ayun, biar tidak terbiasa manja katanya. Ketika anak sudah mulai makan makanan padat, banyak orang yang menyarankan pola pemberian makan di mana anak didorong untuk makan sendiri, katanya supaya anak bisa lebih cepat bisa makan sendiri tanpa harus disuap. Agak besar sedikit, anak harus sudah diajari untuk merapikan mainannya sendiri, memakai baju dan sepatu sendiri, memilih baju tanpa intervensi orangtua, makan sendiri dengan sendok dan garpu, mandi sendiri, cebok sendiri, dan seterusnya dan seterusnya. Pokoknya semakin cepat anak bisa mandiri dan melakukan apa-apa sendiri maka akan semakin baik.

Dan saya setuju dengan itu,

pada dasarnya….

Saya sangat mengerti dan sadar sepenuhnya bahwa anak-anak tidak selamanya akan terus menjadi anak-anak di bawah perlindungan sayap orangtua. Kelak mereka akan dewasa dan harus bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Apalagi anak-anak saya adalah laki-laki, kelak ketika dewasa mereka akan menjadi kepala keluarga yang harus bisa menanggungjawabi istri serta anak-anak mereka.

Belajar mandiri adalah langkah awal untuk belajar bertanggung jawab, dan yes, saya mengamini itu. Karena itulah, saya bahkan mengajarkan anak-anak tidak hanya soal yang terkait dengan diri mereka pribadi saja, tapi juga menyangkut pekerjaan sehari-hari di rumah seperti menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak, juga menyetrika. Banyak teman-teman saya yang heran melihat anak-anak bisa mengerjakan pekerjaan rumah tangga, padahal mereka anak laki-laki. Ya tak mengapa, karena papanya juga begitu. Meski kepala keluarga, tapi tetap mengerjakan pekerjaan domestik juga tanpa embel-embel ‘membantu istri’ karena bagi suami saya, pekerjaan domestik adalah tanggung jawab bersama semua orang yang tinggal di dalam rumah.

Saya sadar, untuk bisa bertahan hidup bahkan berhasil kelak dalam hidupnya, maka salah satu hal yang mutlak harus dimiliki oleh anak adalah kemandirian, karena itu kami setuju dan memang menerapkan pola asuh yang menekankan perkembangan kemandirian pada anak dari sejak kecil.

Namun, di sisi lain, saya juga menyadari dengan amat sangat bahwa waktu berlalu dengan sangat cepat. Hal ini tidak hanya sekedar omongan, karena kenyataannya memang seperti itu. Waktu sangat cepat berlalu tanpa bisa ditawar untuk pelan-pelan saja.

Rasanya baru kemarin saya mengandung serta melahirkan mereka, setiap sel tubuh saya masih bisa merasakan dengan jelas bagaimana rasanya setiap proses yang saya lalui ketika mereka akan hadir ke dalam dunia ini. Ingatan saya masih sangat segar untuk memutar kembali bagaimana masa-masa ketika mereka masih bayi dan balita, bagaimana ketika mereka menyusui, belajar makan, belajar berjalan, belajar bicara. Pendengaran saya bahkan masih sangat akrab dengan suara tangisan serta tawa mereka kala bayi. Semua masih sangat jelas terekam seolah baru terjadi kemarin, padahal semua kenangan itu telah berlalu sekian lama.

Dalam sekejap saja, anak bayi yang hanya bisa tenang kalau berada dalam pelukan saya, telah bertumbuh menjadi anak muda yang tingginya sudah jauh melampaui saya. Dulu saya masih harus membantunya memakai sepatu, nyatanya sekarang ukuran kakinya bahkan sudah lebih besar dibanding papanya.

Tak akan butuh waktu yang terasa lama dan panjang bagi anak-anak yang tadinya bergantung sepenuhnya kepada kami untuk pergi menjemput impian dan menjalani kehidupan mereka sendiri sebagai manusia dewasa, meninggalkan kami orangtua di dalam rumah yang segera terasa sepi. Kesibukan demi kesibukan mengurusi mereka di masa kanak-kanak akan berganti menjadi hari demi hari yang panjang menanti kabar dari anak-anak kapan mereka bisa pulang kampung mengunjungi kami.

Menjalankan peran sebagai orangtua bagi anak-anak, bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi harus mempersiapkan anak menghadapi masa depan dengan kemandirian, namun di sisi lain juga harus menggunakan setiap waktu yang ada selama masih bisa mengurus mereka.

Karena itulah, meski sedari dulu kami menempatkan kemandirian sebagai salah satu hal yang harus sangat diperhatikan dalam mendidik anak, namun kami juga berusaha menikmati waktu demi waktu perkembangan anak-anak dalam pengasuhan kami. Tak usah memburu-buru antara waktu dan tingkat kemandirian anak. Anak-anak perlu mandiri, yes, tapi lakukan bertahap sesuai usianya, tak perlu terlalu cepat karena sebagai orangtua pun kami perlu untuk mengurus anak demi kebahagiaan kami sendiri.

Anak bayi hanya bisa tenang kalau digendong? Ya sudahlah tak mengapa, dinikmati saja. Apapun yang mau dikatakan orang soal anak bau tangan, kami tetap memilih rajin meladeni keinginan anak untuk digendong. Setiap menangis ya kami gendong meskipun orang-orang tua mengajarkan untuk membiarkan anak menangis, jangan buru-buru digendong supaya tidak manja. Memang jadinya ada harga yang harus dibayar, yaitu rasa lelah, apalagi anak kami yang kecil pernah ada masa hanya bisa tidur kalau dalam gendongan dan lebih parah lagi gendongnya harus sambil naik turun tangga. Gempor deh! Setiap hari, si kecil hanya bisa tidur lelap di jam tiga pagi itupun di jam lima dia sudah akan bangun lagi. Gara-gara itu, pekerjaan rumah pun berusaha kami selesaikan di antara jam tiga sampai jam lima itu. Dalam dua jam di pagi buta, saya memasak dan menyetrika pakaian sementara suami menyapu dan mengepel rumah 😅. Repot sekali jadinya memang dan saat menjalani terasa berat. Namun setelah semua berlalu, kami justru bersyukur akan masa-masa itu karena dari situlah kami kemudian terbiasa dengan rutinitas bangun di jam tiga pagi. Terlebih lagi kami bersyukur karena pada akhirnya semua menjadi kenangan yang manis untuk dikenang. Berapa lama sih anak-anak bisa dan mau digendong? Syukur-syukur kalau dapat lima tahun kan? Singkat sekali. Bersyukur karena sejak anak-anak lahir kami tidak pernah ‘pelit’ urusan menggendong anak hanya demi supaya anak tidak bau tangan, maka kami bisa puas menggendong mereka, sampai-sampai sekarang pun lengan kami masih ‘ingat’ bagaimana rasanya ketika anak-anak bergelayut manja dalam gendongan kami 😍.

Anak susah makan dan kalau disuapin sangat lama bisa berjam-jam? Ya sudah tak mengapa, dinikmati saja semua proses itu. Bagi kami tak usah buru-buru beralih ke metode baby-led weaning untuk menghindari frustasi pada anak dan orangtua. Terpikir saja pun tidak pernah sih untuk mempertimbangkan metode ini sewaktu masa MPASI anak-anak dulu. Dinikmati saja masa-masa masih bisa menyuapi anak, baik ketika anak lagi bagus makannya maupun ketika sedang total menutup mulut terhadap makanan atau kalaupun tidak tutup mulut tapi makanannya diemuuuutt terus. Soal kemandirian perihal makan ini kami memang termasuk orangtua yang santai. Kenapa? Karena kami berprinsip bahwa makan adalah kebutuhan dasar manusia. Tanpa perlu diajari untuk makan sendiri pun, seorang manusia akan bisa makan sendiri dengan sendirinya. Puji Tuhan, meski anak-anak sampai usia TK masih disuap, namun selepas usia itu ya mereka bisa makan sendiri dengan rapi dan semangat. Sisi baiknya dengan makan disuapi (spoon-feeding) adalah selain anak-anak mendapatkan porsi serta jenis makanan yang sesuai dengan kebutuhan mereka (tak hanya sesuai dengan keinginan mereka saja), kami juga sebagai orangtua bisa belajar bersabar menghadapi anak dan momen menyuapi mereka menjadi salah satu momen penting bagi kami untuk semakin mengenal kepribadian anak-anak kami lewat segala tingkah mereka ketika makan. Urusan makan bagi anak balita bisa membuat frustasi tak hanya untuk anak tapi juga bagi orangtua. Saking frustasinya, konflik bisa terjadi dan kami pun mengalami itu. Berat saat dijalani, namun setelah terlewati kami justru bersyukur karena konflik itu tidak dihindari melainkan kami hadapi bersama sehingga kami bisa sama-sama belajar. Anak bertumbuh, kami juga ikut menjadi lebih dewasa.

Semua momen mengurus anak-anak adalah sangat berarti. Semua menjadi kenangan indah.

Dan sekarang ketika anak-anak sudah semakin besar dan kian dekat waktunya untuk mereka mengembangkan sayap sendiri, setiap momen menjadi ratusan kali lebih berharga. Setiap detik adalah waktu untuk menorehkan kenangan karena sedikit lagi, dalam sesaat saja, saya sudah akan bertemu dengan hari-hari di mana saya akan merindukan hal-hal yang sekarang ini hanya sekedar menjadi rutinitas…

Hari-hari di mana bahkan terbangun di jam 3.30 pagi pun berarti sudah sangat kesiangan untuk saya.

Hari-hari di mana saya harus bolak-balik mengingatkan anak-anak untuk jangan berlama-lama di kamar mandi karena jam berangkat ke sekolah sudah sangat mepet.

Hari-hari di mana saya melambaikan tangan dari ambang pintu rumah sambil berulang-ulang bilang, “God bless you honey, I love you, don’t forget to pray later!“, menunggu sampai mobil yang berisi tiga orang kesayangan saya hilang dari pandangan mata saya.

Hari-hari di mana saya menjemput mereka dari sekolah lalu sepanjang jalan kenangan mendengarkan ocehan panjang x lebar x tinggi mereka tentang segala yang terjadi di sekolah.

Hari-hari di mana saya mesti berurusan dengan baju olahraga yang basah dan penuh noda keringat sampai hidung perlu mengernyit ketika memasukkannya ke dalam mesin cuci.

Hari-hari di mana saya perlu bolak-balik mengingatkan mereka bahwa tempat tidur itu ada empat sisi, jadi kalau merapikan spreinya, jangan cari gampang dengan hanya menarik dari dua sisi saja.

Hari-hari di mana saya mengantar dan menjemput mereka kesana kemari.

Hari-hari di mana saya menjadi tempat pertama dan andalan mereka untuk mencurahkan segala isi hati serta keluh kesah.

Hari-hari di mana saya memenuhi kapasitas ponsel saya dengan foto dan video mereka.

Hari-hari di mana saya mengomeli mereka karena ruangan mereka masih kurang rapi, kurang bersih, dan masih ada barang yang berceceran tidak pada tempatnya.

Hari-hari di mana rumah begitu ramai, baik oleh suara tawa maupun adu argumen di antara mereka.

Hari-hari di mana kami berdoa bersama setiap malam dan saling sharing Firman Tuhan saat family altar setiap akhir minggu.

Hari-hari di mana saya mengurus keperluan mereka dan membantu mengatur segala jadwal kegiatan mereka.

Hari-hari di mana saya menyendokkan nasi ke dalam piring mereka….

Sebentar saja, kamar-kamar mereka akan menjadi selalu bersih, selalu rapi, tak ada barang yang tak pada tempatnya, karena sang pemilik kamar sudah memiliki tempat lain sebagai rumah.

Pertanyaan anak saya tentang mengapa saya harus menyendokkan nasi untuk mereka, membuat saya sempat terdiam dan tak urung kepala ini memutar ulang memori ketika mereka masih kanak-kanak sebelum kemudian membayangkan hari-hari yang sepi setelah mereka kelak menjalani hidup mereka sendiri….. Bayangan yang lalu memunculkan rasa sedih di hati hingga mata saya pun berkaca-kaca.

Do you know why?” saya pun menjawab anak saya, “Because soon enough, you’ll leave this home and I won’t be able to do things like this anymore. So let me enjoy doing everything I can for you, no matter how useless it is, while I still can, ok?

Anak saya, yang selalu peka dengan perasaan saya, kemudian hanya menanggapi dengan tersenyum sambil bilang, “Love you, ma….

Tanggapan yang semakin membuat saya ingin mewek.

Suami dan anak-anak mengenal persis betapa melankolisnya saya. Sebagai satu-satunya perempuan di rumah, saya selalu menjadi orang yang paling mudah terbawa perasaan. Dan menyaksikan bagaimana cepatnya anak-anak bertumbuh besar serta menyadari bahwa waktu-waktu untuk saya bisa mengurus mereka akan segera berlalu, membuat bakat terbawa perasaan itu semakin sering muncul.

Saya tidak pernah dan tidak akan bermaksud membesarkan anak-anak yang manja apalagi menjadikan mereka bak raja di dalam rumah. A big NO. Sebagai orangtua, sudah menjadi tanggung jawab saya di hadapan Tuhan untuk membantu anak-anak agar siap menghadapi masa depan. Dalam banyak hal saya juga melatih serta mengharapkan mereka untuk bertanggung jawab mengerjakan apa-apa sendiri dan peka ketika harus mengulurkan tangan membantu orang lain yang sedang sibuk. Namun, sebagai Ibu yang sangat menikmati mengurus anak dan yang senang merasa dibutuhkan, maka dalam menjalankan tanggung jawab sebagai orangtua itu, saya akan tetap mempertahankan beberapa hal dalam mengurus anak-anak untuk diri saya sendiri. As much as I can, for as long as I can, I will spoil my boys with lots of love….

Termasuk dengan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan,

seperti menyendokkan nasi untuk mereka….

Biarkan mama yang menyendokkan nasi untuk kalian, bukan supaya kalian menjadi manja, tapi untuk kebahagiaan batin mama sendiri…

Iklan

5 respons untuk ‘Biarkan Mama Yang Menyendokkan Nasi Untuk Kalian…..

Add yours

  1. Aaahh aku jadi legaaa setelah baca tulisan ini Kak.. Ada penyesalan saat aku ingat aku sering mengeluh ketika mengurus anakku. Apalagi kalau aku lihat videonya waktu bayi dulu. Betapa lucunya. Tapi dulu karena aku capek, kadang aku ngeluh, bahkan jengkel sama anakku. Aku nyeselll. Kini anakku 5 tahun, blm telat kan ya kalau aku bayar utang kasih sayangnya. Omelanku dulu aku bayar dengan sekarang lebiiihhh sayaaang lagi dan lebih ikhlas.
    Makasih Kak Lisa udah membuka mataku untuk lebih ikhlas “memanjakan” anak.
    Btw Kak, yang kakak cerita si adek hanya tidur jam 3-5 pagi itu, kak lisa dan suami langsung beberes rumah. Terus kak lisa dan suami tidur enggak?? Kak Lisa dalam sehari tidur brp jam??

    1. Kalau ditanya dalam sehari tidur berapa jam, sejujurnya udah gak tahu lagi deh….hahahahaha…. Yang pasti memang sangat kurang, tapi tetap ada tidur karena waktu itu pas suami lagi tugas di Palembang jadi kami bisa shift2an kalau malam, ganti2an antara yang tidur dan yang gendong si adek…wkwkwkwk….

      Seorang ibu capek dan ngeluh itu wajar kok, jangan terlalu merasa bersalah, yang penting ke depannya berusaha untuk lebih sukacita mengurus anak karena toh waktunya sebenarnya gak panjang, anak2 cepat sekali gedenya

  2. kok mataku berkabut ya baca postingan ini? 😦
    tapi bener kok Lis, anak kandungku 5, punya 1 ponakan yg ikut aku dari dia lulus SMP sampai akhirnya dia sma, kuliah pas sama aku, sekarang dia dah nikah dan punya anak. Rasanya ya Allah, cepet banget waktu berlalu, dan aku masih inget aja masa-masa kami kruntelan bareng di kasur tiap aku pulang kantor, karena semua berlomba cerita pengalaman hari itu.

    1. Oalaaahh…..sekarang ponakannya udah nikah dan punya anak? huhuhuhu…kebayang itu kalau inget2, dulu anak yang masih remaja sekarang udah punya anak. Aku membayangkan jd ikut terharu lhooo

Thanks for letting me know your thoughts after reading my post...

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

Atas ↑

%d blogger menyukai ini: