
Aslinya saya berencana menulis tentang ini di tanggal 8 September yang lalu karena bertepatan dengan peringatan genap tiga bulan kami berada di sini. Maksudnya agar pas begitu ya, cerita tentang kejadian di tanggal 8 Juni dituliskan di tanggal 8 September 😁. Namun apalah daya, tepat di tanggal 8 September yang baru lalu ternyata saya tidak bisa menyempatkan diri untuk mampir di blog, jadi yah sudah, yang terpenting adalah saya bisa mendokumentasikan peristiwa penting yang terjadi di tanggal 8 Juni itu.
O ya, kalau dihitung-hitung, sekarang sudah 6 bulan lebih ya kita semua #stayathome.
Tanpa terasa sudah setengah tahun ternyata 😅.
Masih jelas dalam ingatan, hari pertama #stayathome untuk kami itu adalah di hari Rabu, tanggal 18 Maret 2020. Di hari itu, sekolah resmi ditutup dan di hari yang sama kami juga memutuskan bahwa semua les anak-anak dilakukan dari rumah saja (kecuali berenang yang otomatis harus off karena tidak bisa dilakukan dari rumah 😁), sehingga sejak hari itu pun kami tidak pernah keluar rumah lagi.
Hidup benar-benar berubah total. Rasanya seperti hanya dalam sekedipan mata saja dan semua sudah berubah. Padahal, beberapa hari sebelum hari Rabu tanggal 18 Maret 2020 itu, kami masih melakukan perjalanan udara Palembang – Jakarta – Palembang.
Hari Jumat siang, tanggal 13 Maret 2020, saya dan anak-anak terbang dari Palembang ke Jakarta dan dijemput suami di Bandara Soetta. Saat itu, wabah memang sudah menghampiri Indonesia namun jumlah kasus masih belum sampai 50. Itu pun sebenarnya sudah cukup membuat khawatir, karena itu di sepanjang perjalanan kami terus menggunakan masker. Perjalanan saat itu tujuan utamanya memang bukan untuk santai atau jalan-jalan, tetapi karena si sulung akan mengikuti kompetisi piano di hari Sabtu, tanggal 14 Maret 2020. Di hari yang sama dengan keberangkatan kami pada hari Jumat itu, sewaktu kami pada sore hari telah berada di apartemen kami di Jakarta, kami mendapatkan kabar bahwa jumlah kasus mengalami peningkatan dan telah mencapai angka 70 kasus.
Esoknya, Sabtu, setelah si sulung selesai dengan kompetisi piano, dan ketika kami telah kembali berada di apartemen, jumlah kasus mulai melonjak hingga hampir menyentuh angka 100 kasus.
Keesokan harinya, di Minggu pagi, kami terbang kembali ke Palembang bersama suami.
Hari Senin, anak-anak masih bersekolah, suami saat itu belum langsung kembali ke Jakarta. Hari itu, meski anak-anak sekolah, namun si bapak sudah yakin bahwa kalau melihat perkembangannya, maka sepertinya sekolah akan segera ditutup. O ya, saat itu seingat saya sudah kurang lebih dua mingguan sekolah anak-anak memberlakukan aturan no physical contact di sekolah. Mereka tidak boleh lagi bersalaman dan sebelum memasuki area sekolah mereka juga harus menjalani pemeriksaan suhu tubuh. Hari itu, selagi anak-anak di sekolah, saya dan si bapak masih keluar untuk mengurus pajak rumah. Kondisi di Palembang masih seperti biasa tapi kami sendiri sudah menggunakan masker. Ketika menjemput anak-anak pulang sekolah, kami mendapatkan kabar, bahwa benar sesuai perkiraan kami, sekolah akan ditutup sementara mulai hari Rabu nanti. Hari Selasa masih akan masuk namun hanya untuk mengambil bahan pelajaran saja. Setelah mendapat kabar bahwa sekolah akan ditutup sementara itu, si bapak pun menganjurkan untuk kami belanja mingguan di hari itu juga supaya saya tidak perlu keluar-keluar lagi. Sorenya, kami berdua pergi untuk berbelanja mingguan di Diamond, yang mana untuk persiapan, maka belanjanya diusahakan supaya cukup sampai kurang lebih dua minggu. Tidak ada maksud untuk menyetok bahan makanan, maksudnya hanyalah supaya mengurangi kegiatan saya untuk keluar rumah nantinya.
Hari Selasa subuh, tanggal 17 Maret, saya mengantarkan si bapak ke bandara karena dia akan kembali ke Jakarta. Hari itu anak-anak masih bersekolah, namun pulang lebih awal.
Hari Rabu, tanggal 18 Maret, kegiatan belajar di rumah dimulai. Dan sejak hari itu, kami praktis tidak pernah kemana-mana lagi.
Seingat saya, terhitung sejak tanggal 18 Maret itu, hanya ada empat kali saya pernah keluar rumah.
Kali pertama, tanggal 23 Maret 2020, saya keluar hanya untuk ke JNE di dekat rumah untuk mengirimkan makanan buat si bapak yang waktu itu belum bisa pulang kembali ke Palembang.
Kali kedua, tanggal 30 Maret 2020, saya keluar untuk berbelanja bahan makanan di Diamond. Pandemi ternyata tidak selesai dalam waktu dua minggu saja, stok bahan makanan di rumah sudah menipis karena itu mau tidak mau saya harus pergi keluar untuk berbelanja.
Kali ketiga, tanggal 09 Mei 2020, saat itu si bapak sudah berada kembali di Palembang, kami berempat keluar untuk melihat-lihat kota meski hanya di dalam mobil saja.
Kali keempat, tanggal 08 Juni 2020, kami berempat keluar rumah, namun kali ini tidak hanya untuk melihat-lihat saja, tidak juga untuk belanja, tidak juga hanya untuk pergi ke tempat yang dekat-dekat saja, melainkan untuk melakukan perjalanan jauh ke Jakarta dengan mobil. Kali ini, kami keluar untuk meninggalkan rumah dan kota Palembang tercinta demi bisa bersama-sama di Jakarta.
![]()
Saya sendiri sudah tidak begitu mengingat lagi sejak kapan tepatnya kami memutuskan untuk saya dan anak-anak ikut si bapak ke Jakarta. Yang pasti yang saya ingat, ketika pandemi ini dimulai di Indonesia hingga sampai pada titik di mana sekolah harus menerapkan home-based learning serta kantor-kantor termasuk kantor si bapak memberlakukan work from home dan si bapak pun mendapatkan ijin untuk menjalaninya dari Palembang, kami sama sekali tidak mengira bahwa kondisi pandemi ini akan berlangsung selama ini. Karena itu, ketika si bapak pulang ke Palembang via darat di tanggal 29 Maret 2020 (tepat sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pertama kalinya diberlakukan di Jakarta), saya sejujurnya masih mengira bahwa mungkin suami paling lama sebulan saja di Palembang, setelah itu kondisi akan membaik dan si bapak pun bisa kembali lagi ke Jakarta lalu kemudian kami pun bisa kembali dengan tenang menjalani aktivitas seperti sebelumnya. Kami di Palembang sementara si bapak di Jakarta sambil masing-masing kami menjalani rutinitas di hari Senin – Jumat untuk kemudian berkumpul kembali bersama di akhir pekan. Normal. Seperti biasa.
Tapi ternyata kenyataan yang terjadi sangatlah jauh dari itu.
April tiba dan berlalu. Jumlah kasus bukannya menurun malah semakin meningkat. Saat itulah kami mulai tersadar bahwa kondisi ini tidak akan berlalu secepat yang kami sangka. Namun begitupun, seingat saya kami belum benar-benar membicarakan tentang pilihan untuk kami sekeluarga pindah ke Jakarta, karena berpikirnya selama kondisi masih belum membaik tentulah belum akan ada kebijakan dari pemerintah yang mengijinkan karyawan kembali bekerja di kantor.
Tapi ternyata begitu bulan Mei datang, di tengah kondisi yang semakin tak menentu karena jumlah kasus terus mengalami kenaikan, isu new normal justru muncul yang langsung diikuti oleh penerapannya. Kantor si bapak pun harus mengikuti aturan memberlakukan work from office (WFO), meskipun masih sebagian, dalam artian belum 100%, alias dalam seminggu setiap karyawan mendapatkan giliran bekerja di kantor hanya 1 – 2 kali (atau paling banyak 3 kali) dalam seminggu. Ketika peraturan dan jadwal WFO itu keluar, saya lupa kapan tepatnya, di situlah kami memutuskan untuk kami semua ikut suami ke Jakarta. Keputusan itu kami ambil tanpa berpikir lama-lama lagi, karena seperti yang saya bilang di sini, segala hal yang terjadi di tengah dunia ini, membuat kami tersadar bahwa kebersamaan itu adalah hal yang harus kami usahakan.
Memasuki minggu pertama bulan Juni, kami pun mulai mengurus segala hal yang diperlukan untuk kepindahan kami, termasuk surat-surat yang mana pengurusannya tentu diusahakan oleh kantor si bapak. Waktu itu juga diberlakukan aturan perlu adanya Surat Ijin Keluar Masuk (SIKM) untuk memasuki Jakarta. Setelah mengurus ini-itu dan mempertimbangkan berbagai hal, kami pun memutuskan untuk berangkat ke Jakarta pada hari Senin tanggal 8 Juni.
Untuk persiapan barang-barangnya sendiri, tidak terlalu banyak yang kami bawa, namun semua yang penting kami usahakan agar jangan sampai ketinggalan. Kami tidak tahu apakah kami hanya akan sementara saja di Jakarta ataukah memang Tuhan berkehendak kami betul-betul pindah ke Jakarta, jadi sebagai persiapan, semua yang penting-penting kami bawa.
Puji Tuhan, di malam hari di tanggal 7 Juni, semua barang yang hendak kami bawa sudah masuk dengan sempurna ke dalam mobil.

Kalau ditanya bagaimana perasaan kami saat itu?
Duh, susah mau dijabarkan lagi. Campur aduk sekali rasanya!
Di satu sisi kami yakin dengan keputusan ini. Tapi di sisi lain, tentu tak dapat dipungkiri ada rasa sedih yang mendalam karena harus meninggalkan rumah yang sangat kami cintai itu. Dari sejak malam pertama kami mengambil keputusan untuk ikut si bapak ke Jakarta, kami selalu menangis setiap kali berdoa. Tak hanya orangtua yang sedih, tapi anak-anak juga. Si sulung bahkan menangis cukup keras ketika kami berdoa sebelum berangkat di Senin pagi tanggal 8 Juni itu. Tersayat rasanya hati ini ketika mendengar tangisan si sulung saat itu. Kesedihan yang kami rasakan itu amat dalam, namun kami semua sadar sepenuhnya bahwa seberat apapun perasaan kami meninggalkan rumah, itu tidak akan sebanding dengan perasaan sedih yang akan kami rasakan jika dalam kondisi seperti sekarang kami masih harus terpisah-pisah lagi.
Selesai berdoa, kami pun berangkat.
Pagi itu cuaca di Palembang sangat kelabu. Sampai-sampai, sahabat baik saya, yang waktu itu adalah satu-satunya orang selain keluarga yang mengetahui tentang keberangkatan kami ke Jakarta, bilang ke saya bahwa bahkan kota Palembang pun ikut ‘menangis’ melihat kami meninggalkan kota ini…hehehehe….


Oh ya, pagi itu sebelum benar-benar keluar dari kota Palembang, kami sempat singgah di McD dulu untuk membeli bekal makan siang dan makan sore 😁. Lalu setelah itu kami masih menyempatkan waktu untuk berkeliling sebentar, melihat-lihat kota yang sangat kami cintai ini. Empat belas tahun tinggal di kota ini, kami menyaksikan bagaimana kota ini berkembang, dan sebaliknya kota ini juga menjadi saksi bisu perjalanan hidup dan proses pendewasaan kami. Meskipun kami tidak tahu bagaimana ke depannya, namun hari itu terasa seperti benar-benar ucapan selamat tinggal kepada kota ini. Di dalam hati kami sudah tahu bahwa setelah ini semua tak akan sama lagi. Palembang, bukanlah rumah kami lagi. Cukup lama kami berkeliling, hingga akhirnya kami baru keluar dari kota Palembang setelah sudah hampir tengah hari.


Puji Tuhan perjalanan kami lancar.
Sepanjang perjalanan itu kami hanya berhenti sebanyak dua kali.
Kali pertama karena ada pemeriksaan di perbatasan kota Palembang. Pemeriksaannya hanya seputar pengecekan suhu tubuh, pemeriksaan kapasitas penumpang di dalam kendaraan, serta untuk melihat apakah kami semua menggunakan masker atau tidak.
Kali kedua berhenti adalah untuk menikmati bekal McD yang dibeli tadi.
Perjalanan yang lancar di hari itu membuat kami tiba di Lampung dalam waktu yang cukup singkat. Sekitar pukul 15.36 kami sudah tiba di Pelabuhan Bakaeuheni. Oh ya, sebelum masuk ke pelabuhan, kami juga sempat singgah sekali lagi di rest area yang berada di dekat situ karena si bapak hendak mengisi bensin dan sekalian kalau kondisi memungkinkan juga mau singgah ke toilet. Puji Tuhan, saat itu rest area tersebut dalam kondisi sepi dan toiletnya juga bersih serta aman karena tidak ada siapa-siapa. Setelah melihat kondisinya yang memungkinkan, maka anak-anak juga diajak si bapak untuk menggunakan toilet di situ, tentu saja dengan pengawasan protokol yang sangat ketat, alias mereka benar-benar dilarang untuk menyentuh benda apapun dan biarkan papa yang mengurus semuanya 😁.


Setelah dari rest area itu, kami pun melaju ke pelabuhan dan langsung menuju ke dermaga eksekutifnya. Begitu kami hendak mengantri di loket depan, kami didatangi petugas yang membawa pesan bahwa kapal eksekutif baru saja berangkat dan kapal berikutnya baru akan berangkat di jam 7 malam. Itu artinya kalau kami memang mau naik yang eksekutif, maka kami harus menunggu selama 3 jam! Duh!
Puji Tuhan, setelah itu kami juga mendapatkan informasi bahwa kapal reguler justru baru akan berangkat dan kami masih punya waktu untuk naik ke kapal itu. Langsunglah si bapak memutar haluan untuk menuju ke dermaga non-eksekutif. Meskipun perjalanan di lautnya memang akan lebih lama yakni kurang lebih 2,5 jam alias 1,5 jam lebih lama dibanding dengan kapal eksekutif, namun setidaknya bila kami naik kapal reguler itu maka di jam 7 malam (di mana kapal eksekutif dari Bakauheni baru akan berangkat), kami sendiri sudah bisa tiba di pelabuhan Merak.
Puji Tuhan juga, saat itu bisa dibilang sangat sedikit orang yang melakukan perjalanan dengan kapal feri untuk menyeberangi Selat Sunda, sehingga tidak ada sama sekali antrian di loket. Begitu juga saat memasuki kapal, kami tinggal langsung masuk saja karena antrian kendaraan yang naik terbilang sedikit. Tak berapa lama, kami bersama kendaraan kami sudah berada di dalam kapal. Dan lagi-lagi puji Tuhan, kami tidak diharuskan untuk turun dari mobil, bahkan mesin kendaraan pun bisa dinyalakan sehingga kami tidak kepanasan di dalam mobil.
Kondisi yang sama juga terjadi sewaktu suami pulang dari Jakarta ke Palembang sebelum PSBB Jakarta yang pertama dimulai. Waktu itu suami juga diijinkan menunggu di dalam mobil selama perjalanan dengan feri agar antar penumpang benar-benar bisa saling menjaga jarak. Sekali lagi puji Tuhan, dari sejak suami berencana pulang ke Palembang di akhir bulan Maret sampai kami memutuskan berangkat ikut suami ke Jakarta di bulan Juni, perjalanan darat dengan mobil pribadi sudah menjadi pilihan kami karena dirasa yang paling memungkinkan untuk menghindari kontak dengan orang lain. Puji Tuhan juga dengan adanya kebijakan pemberian ijin bagi penumpang untuk menunggu di dalam mobil selama perjalanan dengan feri, maka itu lebih memudahkan untuk menghindari pertemuan serta kontak dengan orang lain.
Puji Tuhan, sore itu perjalanan kami mengarungi Selat Sunda diberkati Tuhan dengan kelancaran. Perjalanan selama 2,5 jam itu bisa digunakan oleh si bapak untuk tidur. Sekitar jam 18.30 kami sudah tiba di Pelabuhan Merak 🙂.

Dari Pelabuhan Merak kami langsung menuju ke apartemen kami di Jakarta Selatan. Puji Tuhan masuk Jakarta juga lancar-lancar saja dan sama sekali tidak ada pemeriksaan apapun.
Berbicara soal pemeriksaan, sejujurnya hal ini sempat membuat orang tua saya di Manado ketar-ketir, karena bahkan sampai di hari keberangkatan kami, mereka masih melihat berita di TV orang-orang yang disuruh putar balik serta dilarang masuk ke Jakarta karena surat-surat yang tidak lengkap. Orang tua saya hanya khawatir jika ternyata kami juga ada yang kurang lengkap dan harus balik kanan kembali ke Palembang. Bukannya apa-apa sih, mereka membayangkan alangkah lelahnya kami (terutama suami yang menyetir mobil😅) jika terjadi hal yang demikian. Karena itu, dari sejak mereka tahu tentang rencana kami untuk ke Jakarta, hal itulah yang terus mereka doakan. Namun, yang namanya manusia ya, kecenderungan untuk merasa khawatir ada saja muncul bahkan sampai membuat mama saya semalaman tidak bisa tidur 😅. Puji Tuhan, apa yang mereka khawatirkan tidak terjadi. Perjalanan kami sangat lancar dan bahkan tidak melewati pemeriksaan apapun. Sekitar jam 8 malam kami sudah tiba dengan selamat dan baik di apartemen kami.
![]()
Tiba di apartemen, si bapak yang duluan turun sambil membawa beberapa barang. Saya dan anak-anak disuruhnya agar menunggu dulu di dalam mobil sambil makan malam. Suami naik duluan untuk bersih-bersih apartemen supaya ketika kami menyusul naik, kondisi di apartemen sudah siap dan nyaman untuk kami. Puji Tuhan memang dikasih suami yang seperti suami saya ini, tipe yang selalu memikirkan yang terbaik untuk orang-orang yang disayanginya 😍.
Jadilah saya dan anak-anak menunggu sambil menikmati makan malam di mobil yang terparkir di area parkir gedung apartemen, sementara suami turun dari mobil, mengangkut beberapa barang, lalu naik ke atas ke unit apartemen kami.
Begitu sampai di unit kami, suami langsung mengabari kalau ternyata unit kami berada dalam keadaan bersih. Puji Tuhan, ternyata tetap bersih meskipun sudah ditinggalkan selama lebih dari dua bulan. Meski begitu, tetap saja suami bebersih dengan mengelap, menyapu, dan mengepel 😁.
Tak lama, suami pun turun lagi untuk menjemput kami sambil membawa sisa barang yang hendak diturunkan dari mobil pada malam itu. Tiba di unit, saya disuruh mandi duluan selagi si bapak mencuci piring. Piring-piring di rak dapur sebenarnya bersih-bersih saja, hanya saja agar lebih nyaman, si bapak memilih untuk mencuci ulang semuanya. Untung peralatan makan dan minum kami di apartemen ini tidaklah banyak 😁. Selesai saya mandi, suami dan anak-anak bergantian mandi. Setelah semua sudah bersih, kami pun berdoa, mengucap syukur pada Tuhan Yesus untuk semua penyertaan-Nya bagi kami.
Selesai berdoa, kami pun beristirahat.
Puji Tuhan, meski hari itu adalah hari yang panjang serta melelahkan untuk kami, terutama untuk si bapak, tapi semua berjalan dengan lancar dan bahkan kami bisa menaruh kepala di atas bantal untuk mengistirahatkan badan yang lelah ini, tepat pada waktunya untuk beristirahat.
Sekali lagi, puji Tuhan Yesus….
![]()
Rasanya memang tak akan berhenti berterima kasih pada Tuhan Yesus untuk semua penyertaan-Nya. Kondisi sekarang ini memang tidak mudah bagi semua orang, termasuk bagi kami. Namun dalam kondisi ini, kami terus melihat kebaikan dan kemurahan Tuhan, dalam segala perkara, baik besar maupun kecil.
Soal mobil misalnya yang sejak penghujung tahun lalu sudah kami usahakan supaya salah satu mobil bisa dibawa ke Jakarta. Tujuan awal saat itu adalah untuk kenyamanan saja, apalagi karena jarak kantor dan apartemen yang terbilang dekat sehingga tentu lebih nyaman ditempuh dengan kendaraan pribadi daripada menggunakan kendaraan umum. Yang tak kami sangka saat itu adalah bahwa tak lama setelah itu wabah ini menghampiri Indonesia dan mobil yang kami bawa ke Jakarta itu kemudian bisa dipakai sebagai moda transportasi yang aman untuk si bapak segera pulang ke Palembang sebelum PSBB di Jakarta diberlakukan pertama kalinya.
Lalu soal apartemen ini juga. Lagi-lagi bersyukur sekali karena ketika di akhir tahun lalu sewaktu suami pindah tugas ke Jakarta, kami sudah memutuskan untuk membeli apartemen ini. Tadinya sempat terpikir supaya suami jadi anak kos saja di sini, karena toh dia berencana untuk pulang ke Palembang setiap akhir pekan jadi bisa dibilang yang diperlukannya hanyalah tempat untuk tidur di hari kerja saja. Tapi kemudian terpikir, lalu bagaimana kalau sebaliknya justru kami yang ingin main ke Jakarta, saat libur sekolah anak-anak misalnya? Sepertinya tidak akan nyaman yah kalau kami ikut tinggal di kamar kos. Pilihan lainnya adalah mengontrak rumah, tapi kemudian kami rasa kurang cocok, karena ukurannya akan terlalu besar untuk si bapak yang hanya akan tinggal sendiri saja di Jakarta ini. Akhirnya, kami pun memutuskan untuk mencari apartemen saja. Suami sempat menyewa apartemen selama hampir satu bulan sebelum kemudian menemukan apartemen ini yang dari segi ukuran, isi, lokasi, serta fasilitas gedungnya sangat sesuai dengan kebutuhan kami. Keputusan yang benar-benar kami syukuri, karena puji Tuhan dengan keberadaan apartemen ini, paling tidak kami bisa memiliki tempat tinggal sementara sekarang ini, yang meski terbatas tapi sudah cukup untuk menjadi ‘rumah’ bagi kami hingga saat ini.
Kemudian soal hal-hal kecil, semacam meja misalnya.
Di awal tahun sewaktu kami jalan-jalan ke Ikea, saat itu kami memutuskan membeli meja kecil untuk diletakkan di depan sofa bed di ruang nonton apartemen ini. Waktu itu sebenarnya antara butuh dan tidak butuh juga dengan meja itu, tapi tak tahu kenapa, tetap kami beli juga. Dan ternyata, begitu di kondisi sekarang, meja itu menjadi sangat berguna karena berfungsi sebagai meja belajar si sulung ketika dia sekolah online 😁.
Tak hanya meja itu, bahkan sesuatu yang sudah kami punyai sejak sangat lama dan selama ini tidak begitu terlalu dianggap penting pun, ternyata bisa sangat berguna di saat sekarang ini. Sesuatu itu adalah meja belajar lipat yang sudah kami miliki dari sejak tahun 2012 ketika kami masih tinggal di rumah sendiri #1. Selama kami tinggal di rumah sendiri #2 di Palembang, meja itu hanya kadang-kadang saja dipakai, karena anak-anak memiliki meja belajar permanen mereka sendiri-sendiri. Karena jarang-jarang dipakai, maka meja itu seringnya hanya terlipat begitu saja di samping sofa. Tapi, begitu kondisi ini terjadi, ternyata meja itu bisa menjadi amat berguna. Karena bisa dilipat, maka meja itu bisa dengan mudah dimasukkan ke dalam mobil untuk dibawa ke Jakarta dan di sini meja itu pun menjadi meja andalan untuk si bungsu bersekolah online. Lalu lagi-lagi karena bisa dilipat, maka keberadaan meja itu sama sekali tidak memakan tempat di apartemen mungil ini.
Saya selalu yakin bahwa tidak pernah ada yang kebetulan di dunia ini. Semua hal, besar atau kecil, terjadi karena ada maksud Tuhan. Karena itu saya juga yakin, hal-hal sederhana semacam meja-meja itu pun merupakan wujud kebaikan Tuhan bagi kami agar kondisi kami bisa dipermudah dan tetap merasa nyaman di tengah situasi yang tidak gampang seperti sekarang ini.
Sekali lagi, saya hanya bisa bilang, puji Tuhan. Kebaikan Tuhan terlalu besar, amat sangat besar. Karena itu, meskipun sampai hari ini kami belum menemukan rumah yang kami cari dan kondisi di luar masih mengkhawatirkan, namun saya hanya mau terus yakin, bahwa di mana pun kami berada, Tuhan Yesus akan tetap memberikan damai sejahtera, sukacita, serta perlindungan. Amin.
“Great is Thy faithfulness,” O God my Father,
There is no shadow of turning with Thee;
Thou changest not, Thy compassions, they fail not
As Thou hast been Thou forever wilt be.
“Great is Thy faithfulness!”
“Great is Thy faithfulness!”
Morning by morning new mercies I see;
All I have needed Thy hand hath provided—
“Great is Thy faithfulness,” Lord, unto me!

A Comment from Frany for the original post on September 21, 2020 at 4:33 pm
Mirip sebenernya, Mbak. 14 Maret Sekolah menetapkan mulai Sein, 16 Maret 2020 sekolah akan dilangsungkan online. Ga terasa udah setengah tahun aja. Makin pesimis akhir tahun bakal beres wabah ini. Memang mesti super sabar menghadapi ujian ini. Semoga kita semua sehat2 dan aman semua yaa.
A comment from Arman for the original post on
kirain malah bakal pindah ke jakarta for good lis. ternyata sekarang udah balik palembang ya?
A comment from veronica5277 for the original post on September 22, 2020 at 10:45 am
Pandemi ini juga memberi banyak hikmah, sempat ngrasain 3 bulan WFH, asyik banget, seru bisa setiap saat sama anak-anak. Gak ada rasa bosan sedkit pun. Sampai sekarang dah mulai masuk kantor pun, anak-anak selalu protes kenapa ibu pergi, hehe.
Sehat selalu Lisa dan keluarga. Semoga kondisi ini lekas berlalu, aamiin
A comment from neng fey for the original post on September 22, 2020 at 2:11 pm
eh ternyata kalian pindah ke jkt ya lis? yang rumah mau dijual itu kah? eh kayaknya pernah baca sekilas, apa salah baca ya hehehe
semoga semua kembali normal ya, dan kita semua sehat2 ya lis
btw tinggal di daerah mana?
A comment from Fiona for the original post on September 23, 2020 at 9:07 am
sending warm love and hug for kak Lissa & keluarga 🙂 God knows every detail ya kak, Roma 8: 28.. Tuhan selalu berkati ya kak apapun yg dikerjakan
A comment from gegelin2 for the original post on September 24, 2020 at 7:38 pm
Ciyeeee double R udah jadi anak Jaksel nih! 😛 boleh donk kapan2 ketemu setelah pandemi usai…
Anyway waktu masih single aku cuek2 aja kan kak mau hidup sendirian juga. Tapi sejak ada pacar/pasangan yang punya value yang sama kya kak Alissa yaitu kebersamaan, aku jadi terbiasa juga untuk hal itu. Pas LDR-an karena pandemi ini entah kenapa aku ngerasa ada strong bond di antara kami karena selalu mengusahakan komunikasi, quality time, semoga aja aku gak salah2 rasa 😆
Dan juga di masa pandemi ini banyak juga yang ambil keputusan besar utk pindah rumah dan kerjaan, kak… Salah satu youtuber di Batam tuh akhirnya pindah ke Bali karena suasana di Batam udah gak memungkinkan lagi utk dia dan keluarganya
A comment from fitri3boys for the original post on September 25, 2020 at 10:09 am
Semuanya dimudahkan semua ya Jeng, keputusannya tepat banget ya, yang penting semuanya berkumpul bersama ya
A comment from andyekopranoto for the original post on October 1, 2020 at 7:27 pm
Semoga wabah ini cepat berlalu, dan semua aktivitas berjalan seperti sedia kala.