Dalihan Na Tolu

Suku Batak itu memang punya cukup banyak keunikan. Tak cuma filosofi anakkon hi do hamoraon di au (anakku adalah harta yang paling berharga) yang menjadi pendorong para orang tua Batak untuk mati-matian memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya hingga, seperti yang belum lama ini banyak diberitakan di jagad media sosial, membuat Batak menjadi suku dengan jumlah persentase sarjana terbesar di Indonesia, tapi juga ada banyak macam keunikan lain yang dimiliki oleh suku ini.

Salah satu keunikan di dalam suku Batak adalah filosofi Dalihan na Tolu yang sampai sekarang masih tetap dijalankan di dalam lingkungan masyarakat Batak. Ssst…. Filosofi itulah yang menjadi alasan kondisi seperti pada foto di bawah ini terjadi.

Gambar di atas itu memperlihatkan ada dua orang pria, yang satunya masih muda sementara yang satunya lagi sudah tak lagi muda (tapi masih ganteng 😝). Mereka berdua yang sama-sama adalah suku Batak namun berbeda marga, sama-sama bekerja di sebuah perusahaan yang sama, yang satu berada pada struktur staf sementara yang satu berada pada struktur pimpinan di perusahaan tersebut. Mereka berdua sedang berada di sebuah acara, namun alih-alih duduk manis menikmati acara, mereka berdua justru terlihat sedang mengumpulkan sampah bekas makanan dan minuman dari para tamu yang hadir di acara tersebut, padahal tentu mereka berdua bukanlah petugas gedung tempat acara berlangsung.

Lalu kenapa mereka menjalankan tugas bersih-bersih?

Itu karena mereka berdua hadir di dalam ulaon (pesta/acara adat) tersebut sebagai pihak bere dan boru dari yang empunya acara. Status kehadiran mereka itulah yang membuat mereka harus menjalankan kewajiban untuk bergabung di dalam tim parhobas (pelayan) di acara tersebut. Maka terjadilah, selagi tamu undangan yang lain duduk manis menikmati hidangan sambil menunggu rangkaian acara adat selanjutnya, kedua orang dalam foto di atas justru sedang sibuk melayani dengan cara bersih-bersih. Dengan berbekal plastik sampah besar berwarna hitam di tangan, mereka sigap mengangkat bekas kotak makan dan botol minum para tamu yang hadir 😁. Di kantor tempat mereka bekerja, jabatan serta tugas mereka memang berbeda, namun dalam acara adat ini, posisi mereka adalah setara yaitu sebagai boru dan bere sehingga tugas mereka juga adalah sama, yaitu sebagai parhobas.

Di jagad media sosial, beberapa kali saya membaca ada anak muda yang berusaha menjadi anggota aparat dengan tujuan katanya untuk meningkatkan derajat orang tuanya. Hal ini dimotivasi karena yang bersangkutan merasa tak terima di mana ibunya di setiap acara keluarga selalu berada di dapur untuk mencuci piring dan bukannya duduk manis di depan seperti tamu yang lain hanya karena secara strata sosial dan ekonomi, ibunya dianggap lebih miskin dibanding keluarga yang lain.

Nah, di sinilah yang membedakan antara suku Batak yang memiliki filosofi Dalihan na Tolu dengan kondisi yang kerap terjadi di lingkungan masyarakat yang lain. Dalam budaya suku Batak, kesukarelaan menjadi pelayan dalam sebuah acara tidaklah didasari oleh strata sosial dan ekonomi, melainkan berdasarkan kedudukan fungsional kita di mata adat di dalam acara tersebut. Kalau kita hadir dari pihak boru atau bere dari yang empunya acara, maka sudah sepatutnya kita harus siap menjadi pelayan di acara tersebut, tak peduli apapun strata sosial dan ekonomi kita. Sungguh kita akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu adat apabila kita hadir dari pihak boru dan kemudian hanya duduk manis seperti tamu undangan lainnya. Jangan ya dek ya, jangan 😁. Di dalam adat Batak sangat penting untuk mengetahui posisi kita dalam sebuah acara sehingga kita dapat menjalankan peran sesuai dengan posisi itu.

Lalu apa sebenarnya Dalihan na Tolu itu dan bagaimana filosofi ini memengaruhi posisi kita di dalam adat serta bagaimana cara kita mengetahui posisi serta tugas kita berdasarkan sudut pandang filosofi ini?

Nah, berikut, saya yang aslinya bukanlah boru Batak ini akan memberikan penjelasan di sini. Sungguh ini bukanlah hanya sekedar tulisan demi ada konten saja ya, tapi saya menulis ini di sini juga sebagai dokumentasi pembelajaran terutama untuk anak-anak saya kelak. Kalau ada yang salah-salah, saya mohon maaf sebelumnya dan mohon untuk dikoreksi saja, jangan dicaci maki ya. Sejauh ini masih bersyukur saya menulis di blog dan bukannya di platform media sosial lainnya, karena sepertinya jagad blog adalah dunia Internet yang lebih aman dibanding yang lainnya 😁🙏.

Dalihan na Tolu, Filosofi Dasar dalam Budaya Batak

Meskipun tidak terlahir sebagai boru  Batak, namun semenjak saya menikah dengan suami, saya tentu menjadi bagian dalam keluarga Batak. Apalagi tak hanya menikah dengan seorang pria Batak, saya juga diberi marga Batak dan pernikahan kami juga diadatkan.

Sebagai bagian dari keluarga Batak, maka kehidupan saya juga erat terkait dengan filosofi Batak yang sangat mendasar, yakni tak lain dan tak bukan adalah Dalihan na Tolu ini. Begitu pentingnya filosofi ini, sampai-sampai menjadi materi yang paling pertama diajarkan oleh amang simatua (bapak mertua) saya sebelum saya menjalani prosesi pemberian marga Batak.

Dalihan na Tolu yang secara harafiah berarti tungku berkaki tiga, adalah sebuah filosofi yang mengatur bagaimana semestinya hubungan kekerabatan di dalam kehidupan sosial masyarakat Batak itu berjalan. Kenapa tungku berkaki tiga yang dipilih untuk melambangkan bagaimana hubungan kekerabatan tersebut berlangsung? Itu karena faktor keseimbangan di antara ketiga kaki tungku sangat penting untuk menjaga agar tungku dapat tertopang dengan baik. Kalau ada satu saja kaki yang patah atau timpang, maka tungku tersebut tak dapat berdiri dengan baik.

Ada tiga komponen kekerabatan dalam Dalihan na Tolu ini, yakni Hula-hula, Boru, dan Dongan Tubu.

Kedudukan fungsional dari ketiga komponen di atas tersebut diatur dalam Dalihan na Tolu sebagai berikut.

  1. Somba marhula-hula, yang berarti menghormati pihak hula-hula
  2. Elek marboru, yang berarti menyayangi, merangkul, bahkan membujuk pihak boru
  3. Manat mardongan tubu, yang berarti berhati-hati terhadap sesama marga untuk mencegah kesalahpahaman.

Karena sistem dalam adat Batak menggunakan sistem paternalistik, maka ketiga kedudukan fungsional di atas hanya dilihat dari kacamata pihak laki-laki. Bagaimana dengan perempuan? Tetap mengikuti, hanya saja ketika sebelum menikah perempuan mengikuti kedudukan orangtuanya, lalu setelah menikah ditambah dengan mengikuti kedudukan suaminya.

Berikut saya jelaskan satu per satu isi dari Dalihan na Tolu.

Somba Marhula-Hula

Hula-hula, adalah pihak marga istri dalam sebuah keluarga. Pihak marga istri yang dimaksud adalah dimulai dari kelompok marga istri sendiri, kelompok marga ibu, kelompok marga ompung boru (nenek) kita, kelompok marga istri dari saudara laki-laki kita, kelompok marga istri dari anak kita, kelompok marga istri dari cucu kita, dan seterusnya. Hula-hula menjadi pihak yang dihormati karena merupakan sumber berkat terbesar bagi sebuah keluarga, yakni hagabeon (keturunan). Keturunan kita didapat dari istri, sementara istri adalah keturunan hula-hula kita. Tanpa hula-hula maka tidak ada istri, dan tanpa istri maka tidak ada keturunan. Itulah sebabnya, pihak laki-laki memandang pihak keluarga istrinya sebagai pihak yang sangat dihormati dan dimuliakan karena menjadi kunci lahirnya penerus rantai keturunan bagi marga pihak laki-laki.

Seorang laki-laki akan memanggil tulang kepada hula-hula dengan tingkat keturunan yang lebih di atas darinya, serta tunggane kepada hula-hula dengan tingkat keturunan yang sama dengannya. Panggilan tulang ditujukan kepada saudara laki-laki ibunya, serta juga ditujukan kepada bapak dari calon istrinya (setelah sudah menikah, orangtua dari istri dipanggil dengan sebutan amang/inang) dan bahkan dari sejak tahap awal perkenalan pun panggilan tulang/nantulang ini sudah harus dipakai untuk menunjukkan rasa hormat terhadap orang tua dari wanita yang sedang didekati 😁. Sementara itu, panggilan tunggane ditujukan kepada saudara laki-laki dari istrinya serta anak laki-laki dari tulang. Pembaca mungkin sering mendengar pria Batak saling memanggil dengan sebutan lae. Nah, lae itu artinya kurang lebih sama dengan tunggane, yakni sebuah panggilan di antara sesama laki-laki yang berbeda marga yang urutan keturunannya masih setara. Meski kedua kata tersebut memiliki arti yang mirip dan bahkan lae sering digunakan untuk menggantikan panggilan tunggane, namun panggilan tunggane tetaplah memberikan kesan penghormatan yang lebih tinggi kepada yang dipanggil tunggane.

Dalam sebuah acara adat, pihak hula-hula menduduki kasta tertinggi dan menjadi pihak yang dilayani oleh pihak boru.

Elek Marboru

Boru, adalah pihak perempuan baik itu anak perempuan maupun saudara perempuan. Sekali lagi, ini dari sudut pandang seorang laki-laki ya, jadi yang dimaksud dengan saudara perempuan di sini adalah saudara perempuan dari seorang laki-laki, dan bukannya yang sesama saudara perempuan. Dengan kata lain, pihak boru adalah kelompok marga yang mengambil anak perempuan atau saudara perempuan kita (laki-laki) sebagai istrinya.

Seorang laki-laki, setelah menikah, maka otomatis menjadi pihak boru dari keluarga istrinya.

Di dalam sistem kekerabatan Batak, dikenal juga istilah bere yang sebenarnya merupakan bagian dari boru, karena bere adalah panggilan yang digunakan oleh tulang/nantulang kepada anak (baik laki-laki maupun perempuan) dari saudara perempuan tulang yang tentu adalah pihak boru (bikin bingung gak sih ini penjabarannya? Hahahahahaha….. Sebenarnya ini pengertiannya mudah, tapi kalau dijabarkan kok kenapa jadi rumit yah? 😅. Intinya, bere itu adalah orang yang memanggil kita dengan sebutan tulang/nantulang 😁).

Dalam sebuah acara adat Batak, pihak boru (dan bere) di dalam acara tersebut akan menduduki kasta terendah dan menjalankan tugas sebagai parhobas alias pelayan.

Meskipun memiliki posisi yang lebih rendah, pihak boru harus senantiasa dirangkul dengan penuh kasih sayang, bahkan sampai ke level dibujuk-bujuk, karena justru menjadi pemegang peranan penting setiap kali pihak hula-hula mengadakan ulaon 😁. Elek mar boru ini penting agar boru dapat menjalankan kewajibannya dengan penuh keikhlasan kepada pihak hula-hula. Jadi meskipun kewajiban boru adalah somba marhula-hula, tapi bukan berarti juga bisa dipandang rendah keberadaannya karena boru inilah yang sebenarnya membantu hula-hula.

Manat Mardongan Tubu

Dongan tubu, adalah pihak yang memiliki marga yang sama dengan kita. Secara harafiah, dongan tubu itu berarti teman lahir. Hubungan terdekat dongan tubu adalah hubungan kakak beradik laki-laki. Kesalahpahaman sangat perlu dihindari untuk menjaga hubungan persaudaraan tetap erat dan harmonis. Panggilan yang digunakan di antara dongan tubu adalah abang/angkang dan adik/anggia untuk yang memiliki hubungan darah kakak beradik kandung atau sepupu, serta ampara yang digunakan di antara laki-laki yang semarga namun tidak memiliki pertalian darah sebagai saudara kandung atau sepupu. Di dalam sebuah acara adat, dongan tubu memiliki posisi yang setara dengan suhut (yang empunya acara/ tuan rumah) sehingga mereka juga akan ikut bertugas sebagai penyambut tamu-tamu yang datang.

Prinsip keadilan dalam Dalihan na Tolu

Sampai di atas itu, apakah pembaca non-batak bingung dengan penjelasan saya? 😁

Semoga tidak ya, karena sebenarnya mudah saja untuk memahami kedudukan fungsional dalam sistem kekerabatan Batak berdasarkan Dalihan na Tolu ini.

Ketiga komponen dalam Dalihan na Tolu ini paling mudah dilihat dalam sebuah pesta pernikahan.

  1. Hula-hula, yakni para bapak yang memiliki marga yang sama dengan ibu mempelai. Istri dari para bapak di kelompok ini juga akan mengikuti kedudukan sebagai hula-hula.
  2. Dongan tubu, yakni para bapak yang memiliki marga yang sama dengan bapak mempelai. Istri dari para bapak di kelompok ini juga akan mengikuti kedudukan sebagai dongan tubu.
  3. Boru, yakni para bapak yang istrinya memiliki marga yang sama dengan bapak mempelai. Para bapak dan ibu di kelompok inilah yang menjadi parhobas dalam pesta tersebut.

Satu hal yang pasti, meskipun filosofi ini menekankan perbedaan status antara hula-hulaboru, dan dongan tubu, namun filosofi ini juga mengedepankan prinsip keadilan.

Saya beri contoh dari keluarga kami sendiri.

Suami saya bermarga Samosir sementara saya diberi marga Batak dan menjadi boru Siregar.

Bagi keluarga besar Siregar yang ‘mengangkat’ saya sebagai boru, karena saya adalah boru yang dijadikan istri oleh marga Samosir, maka marga Samosir menjadi pihak boru oleh keluarga Siregar, dan sebaliknya keluarga Siregar adalah pihak hula-hula kami.

Suami saya memiliki beberapa saudara perempuan yang tentu adalah boru Samosir. Saya ambil contoh salah satu, ada yang bermarga Simanjuntak mengambil salah satu saudara perempuan suami saya sebagai istri, maka bagi keluarga Simanjuntak tersebut, keluarga kami adalah hula-hula dan keluarga mereka adalah pihak boru kami.

Suatu hari kelak, apabila anak-anak kami yang dua-duanya laki-laki itu menikah, maka keluarga istri mereka akan menjadi hula-hula bagi kami dan kami akan menjadi pihak boru bagi mereka. Seandainya kami memiliki anak perempuan, maka kelompok keluarga yang mengambil anak perempuan kami sebagai istri, akan menjadi pihak boru  kami dan kami akan menjadi pihak hula-hula mereka.

Hubungan hula-hula dan boru ini berlanjut sampai ke tingkat anak, cucu, keponakan, dan seterusnya 😁. Sebagai contoh, ompung boru (nenek) suami saya dari bapaknya adalah boru Sijabat. Maka sampai sekarang pun, keluarga Sijabat tersebut adalah hula-hula keluarga suami. Lalu untuk keponakan kami dari saudara perempuan suami, yang kami panggil dengan sebutan bere, sampai kapanpun mereka akan menjadi bagian dari pihak boru (karena mamak mereka adalah pihak boru kami 😁) yang melayani kami sebagai hula-hula. Jika kelak bere-bere kami tersebut menikah, maka keluarga mereka akan ikut menjadi pihak boru kami dan kami akan tetap menjadi hula-hula mereka.

Lalu siapa dongan tubu kami? Ya tentu semua yang bermarga Samosir. Kedua anak kami yang laki-laki itu pun adalah dongan tubu satu sama lain. Jadi misal kelak si Bungsu mengadakan ulaon, maka si Sulung akan hadir di ulaon tersebut dengan status sama-sama sebagai tuan rumah karena mereka berdua adalah dongan tubu.

Dari sini bisa terlihat ya kalau hubungan dalam Dalihan na Tolu itu bersifat adil. Seseorang pasti pernah ada dalam posisi sebagai hula-hula, pernah juga dalam posisi sebagai boru, dan tentu pernah juga dalam posisi sebagai dongan tubuPosisi kita sebagai apa akan bergantung pada keluarga mana kita berada.

Seorang perempuan, meskipun adalah pihak boru di dalam keluarga kandungnya, namun akan menjadi pihak hula-hula di dalam keluarga suaminya. Contohnya saya, adalah pihak boru bagi keluarga angkat Batak saya, tetapi saya adalah hula-hula bagi saudara-saudara perempuan suami saya.

Dalam ulaon keluarga Siregar, maka kami menjadi pihak boru yang harus menjadi parhobas dalam ulaon  tersebut. Tetapi, dalam ulaon keluarga kami, Samosirmaka semua boru Samosir (termasuk suami-suami mereka dan anak-anak mereka) harus menjadi parhobas dalam ulaon kami itu karena kami adalah hula-hula mereka. Bila ada yang bermarga Samosir dengan hubungan kekerabatan yang masih dekat dengan kami mengadakan ulaon, maka kami akan hadir di situ sebagai dongan tubu. Semua peran yang dijalankan akan berganti-gantian secara adil.

Yang memberikan ulos kepada kami di foto ini adalah hula-hula kami, sementara yang berada di belakang kami adalah pihak boru kami (yang satu adalah saudara perempuan suami sementara yang satunya lagi adalah saudara perempuan dari bapak mertua). Para boru kami di sini membantu kami agar ulos yang diserahkan oleh hula-hula dapat disampirkan pada posisi yang tepat.
Para boru yang menjadi parhobas di ulaon pembaptisan anak kami yang sulung.
Barisan dongan tubu ikut menyambut tamu yang datang

Dalihan na Tolu, Filosofi yang Mengajarkan Arti Kerendahan Hati

Selain prinsip keadilan yang nyata dalam Dalihan na Tolu di mana semua orang pasti akan kebagian peran sebagai yang di atas (hula-hula), yang di bawah (boru), dan yang setara (dongan tubu), filosofi ini juga memiliki keistimewaan yang lain, yaitu kedudukan sebagai yang di atas, yang di bawah, dan yang setara itu, sama sekali tidak memandang strata sosial dan ekonomi seseorang. Mau itu pejabat sekalipun, kalau statusnya di dalam sebuah ulaon adalah sebagai boru, maka harus mau ikut melayani dengan membagikan makanan dan minuman, membawakan kursi, bahkan mengangkat sampah serta mencuci piring. Begitu juga yang menjadi pihak hula-hula, apapun strata sosial dan ekonominya, kalau dalam hubungan kekerabatan Batak adalah sebagai hula-hula, ya tetap harus menjadi pihak yang dihormati dan dalam ulaon itu harus dilayani. Secara tidak langsung, Dalihan na Tolu mengajarkan kita untuk mengamalkan kerendahan hati dalam keseharian.

Tak dapat dipungkiri, strata sosial dan ekonomi yang dipandang lebih tinggi di dalam masyarakat sering membuat seseorang enggan untuk mengerjakan sesuatu yang mengindikasikan posisinya menjadi lebih rendah dibanding orang lain, apalagi bila harus menjadi pelayan dalam sebuah pesta.

Namun begitulah adanya yang diajarkan di dalam filosofi Dalihan na Tolu yang tetap dijalankan oleh masyarakat Batak sampai hari ini.

Meskipun di jaman sekarang untuk urusan makanan biasanya telah ditangani oleh penyedia jasa katering, namun tetap saja para boru dalam sebuah ulaon akan terjun menjadi seksi sibuk sana-sini, baik sebagai pengumpul beras yang dibawa oleh pihak hula-hula dari yang empunya acara, pelipat ulos, mengatur konsumsi hingga ikut melayani untuk memastikan hula-hula yang dilayani mendapatkan konsumsi yang seharusnya, serta bahkan menjadi seksi sibuk bersih-bersih. Bagi orang Batak, itu adalah hal yang wajar dan sama sekali tidak membuat dirinya menjadi lebih rendah dibanding tamu lainnya yang sedang duduk manis. Menjadi parhobas adalah tindakan sukarela yang dijalankan oleh boru sebagai wujud kasihnya kepada hula-hula.

Silakan kopi dan tehnya, amang, inang….
Bersiap dengan karung sebagai petugas pengumpul beras 😁

Demikianlah pemirsa yang bisa saya tuliskan tentang Dalihan na Tolu ini, semoga tidak hanya menjadi bahan bacaan untuk pemirsa, namun juga bisa menjadi bahan yang membantu anak-anak saya untuk lebih paham akan adat dan budaya dari suku mereka sendiri. Kalau dijelaskan lisan tentu saja bisa, namun dengan terdokumentasi seperti ini maka akan lebih memudahkan mereka untuk lekas paham. Meskipun mereka bukan benar-benar asli Batak karena mamanya pun Batak KW, tapi mereka tetaplah pembawa marga Batak, jadi jangan sampai mereka buta soal Dalihan na Tolu ini 😁.

Oh ya, menulis ini di sini membuat saya teringat kalau di akhir pekan ini ada ulaon lagi yang akan kami hadiri sebagai pihak bere…..

Maka itu artinya apa?

Yupe, itu artinya kami harus bersiap menjadi parhobas lagi! 😁💕

Minggu ini ada jadwal marhobas lagi kita, pa 😁🙏

Selamat malam, Tuhan memberkati kita semua. Amin!

4 respons untuk ‘Dalihan Na Tolu

Add yours

  1. Kak, baca post ini seperti angin segar di antara berita keseharian, senang deh lihat post tentang kekayaan suku di Indonesia ❤ Adil sekali ya konsep Dalihan Na Tolu ini, setiap orang pasti pernah merasakan peran yang beda-beda. Betapa wise-nya leluhur dulu sampai bisa merancang konsep filosofis seperti inii

    1. Betuuulll….alangkah luar biasanya hikmat dan kebijaksanaan yang Tuhan kasih ke leluhur kita ya sampe bisa bikin rumusan dalam kekerabatan yang seperti ini 👍.

      Btw, saya bersyukuurr kalo tulisan ini jadi angin segar untuk yang baca. Makasiiihh komentarnya 😘

Thanks for letting me know your thoughts after reading my post...

Blog di WordPress.com.

Atas ↑