
Halo pemirsa, apa kabar?
Bulan Juni sudah tinggal seminggu lagi akan berakhir dan saya belum menuliskan apapun di sini š . Kesibukan yang cukup tinggi di bulan ini memang menjadi penyebabnya apalagi ditambah bulan Juni ini terasa berlalu lebih cepat dibanding bulan Mei. Namun tak menulis di sini bukan berarti hari-hari saya yang sibuk di bulan ini berlalu tanpa cerita, karena seperti yang sempat saya singgung di sini, saya menggunakan aplikasi DailyLife sebagai buku harian saya. Saya sudah menggunakan DailyLife sebagai buku harian saya selama hampir satu tahun dan sejauh ini saya benar-benar merasa bersyukur menemukan aplikasi ini karena akhirnya saya bisa seperti dulu lagi, setiap hari menulis buku harian.
Nah soal buku harian inilah yang mau saya ceritakan kali ini.
Kalau di antara pemirsa ada yang seperti saya, gemar menulis buku harian dan kegemaran itu tetap bertahan dari era manual hingga serba digital seperti sekarang, maka simak yuk cerita saya berikut ini.
![]()
Kisah Klasik Buku Harian
“Dear Lord….”
Itulah dua kata yang begitu akrab di hati saya yang punya hobi menulis buku harianĀ dari sejak usia saya menjelang masa remaja.
Oh ya, kenapa Dear Lord dan bukan Dear Diary seperti orang-orang lain?
Jawabnya, karena sejak dulu setiap kali menulis buku harian, saya selalu merasa seperti sedang curhat dengan Tuhan. Sesungguhnya, hanya pada Tuhan saya bisa memercayakan kisah dan isi hati saya, namun media menuangkannya adalah lewat buku harian. Karena itu saya menuliskannya di buku harian, namun saya menujukannya untuk Tuhan.Ā Somehow saya bersyukur, semenjak saya belum benar-benar mengerti pun Tuhan sudah membuat saya bergantung pada-Nya, sehingga untuk mencurahkan isi hati saja pun yang saya ingat hanya Tuhan. Sekarang bila membaca ulang jurnal saya yang lama, rasa hati ini begitu damai dan penuh rasa haru karena setiap lembar yang saya baca adalah seperti doa pribadi, setiap tulisan adalah seperti seruan yang lugu dan tulus kepada Tuhan.
Dear Lord….
For all those journals that You made me wrote, I praise You and I thank You….
Sebenarnya saya sudah mulai menulis buku harian sejak masih duduk di bangku SD, namun saat itu hanya berupa coret-coretan di buku tulis saja dan menulisnya pun hanya ketika ingin saja alias jarang-jarang. Mungkin karena sewaktu masih SD, saya masih terlalu kecil untuk memahami perasaan saya sendiri. Sewajarnya anak-anak, saya merasakan emosi bahagia, sedih, marah, jijik, takut, dan sebagainya. Tapi perasaan-perasaan itu belum terlalu dalam dan bahkan bisa dibilang belum ada makna yang bisa saya rasakan atau pikirkan, sehingga saat itu menulis buku harian secara rutin belum saya rasakan sebagai suatu kebutuhan.
Barulah ketika saya duduk di bangku SMP, menulis buku harian menjadi bagian penting dalam rutinitas harian saya. Faktor pendorong penting kala itu adalah karena saya sudah mulai memasuki masa pubertas. Perasaan “galau” mulai sering saya rasakan dan saya pun mulai lebih mengenali setiap emosi yang saya rasakan. Apa sebenarnya yang saya rasakan, apa penyebabnya, apa yang telah atau akan saya lakukan terhadap apa yang saya rasakan itu, dan bahkan pelajaran apa yang bisa saya dapatkan dari hal itu. Dan dalam kondisi emosi yang sedang berkembang secara labil saat itu, saya tidak memiliki teman bercerita yang bisa saya percayai. Saya butuh media untuk bercerita, dan buku harian adalah salah satu media yang paling tepat untuk saya. Puji Tuhan, saat itu saya diijinkan untuk membeli buku harian yang memiliki gembok dengan lembaran kertas yang wangi š.
Bahagia sekali rasanya ketika bisa memiliki buku harian pertama itu. Rasa bahagianya masih saya ingat. Wangi bukunya juga masih melekat dalam memori saya.
Dengan menulis di buku harian itu, saya akhirnya menemukan kepuasan karena bisa menceritakan hari yang saya alami serta mencurahkan isi hati saya. Saya juga merasa aman menulis di situ karena saya bisa menuangkan pikiran dan perasaan tanpa khawatir disalah mengerti apalagi dihakimi oleh orang lain. My diary was my best friend and safe space. Tak hanya itu, lewat tulisan di buku harian saya juga bisa menoleh ke belakang untuk mengenang dan merefleksi peristiwa serta perasaan yang saya alami, dan itu sangat menyenangkan sehingga membuat saya bertambah rajin menulis buku harian.
Karena saya menulis setiap hari, maka jadilah satu buah buku harian cepat sekali terisi penuh, sehingga saya perlu beli lagi dan lagi, sampai-sampai buku-buku harian saya bertumpuk-tumpuk kala itu š .
Masuk jaman SMA, saya mulai kenal dengan namanya buku harian berbentuk jurnal yang menggunakan binder sehingga kertasnya bisa diisi ulang kalau sudah habis dijadikan tempat curhatan. Biasanya kertas-kertas lama yang sudah terisi saya satukan per periode sesuai urutan waktu, lalu saya jalin dengan menggunakan benang wol, kemudian saya simpan ke dalam plastik transparan agar kertasnya tidak rusak. Kebiasaan menulis buku harian dengan menggunakan buku jurnal ber-binder ini terus berlanjut sampai saya selesai kuliah.
Ketika saya mulai bekerja (waktu itu sebagai dosen di kampus), saya menulis buku harian dengan menggunakan buku agenda yang berukuran cukup tebal. Buku agenda yang saya maksud itulah yang saya tampilkan fotonya sebagaiĀ cover di atas š. Karena pekerjaan saya waktu itu adalah dosen, maka isi agendanya adalah tentang persiapan mengajar, ujian, serta memeriksa ujian mahasiswa, sementara isi curhatannya adalah tentang hasil ujian mahasiswa…wkwkwkwk… Selain soal kampus, dari agenda saya juga bisa terlihat kalau pada saat itu saya sedang mengikuti tes rekrutmen BUMN dan sudah akan masuk di tahap wawancara.Ā Buku agenda yang sama masih saya gunakan sampai di masa-masa awal saya bekerja sebagai karyawan BUMN, sebelum kemudian saya beralih ke buku harian digital.
![]()
Waktu, Teknologi, dan Buku Harian
Buku harian digital yang pertama sekali saya kenal adalah yang berbentuk MS Word files š. Meski buku harian dalam bentuk fisik terasa lebih bermakna dibanding berkas komputer, namun mengetik terasa lebih praktis bagi saya yang saat itu begitu sibuk dengan pekerjaan. Karena pekerjaan saya adalah seorangĀ programmer maka saya selalu menggunakan laptop, sehingga menulis buku harian di situ terasa cukup praktis meskipun oleh karena kendala waktu, tidak bisa saya lakukan setiap hari.
Dalam periode masa yang kurang lebih sama, saya juga menemukan media untuk menulis jurnal lewat blog di Friendster. Saat itu saya mulai merasakan adanya sensasi tersendiri ketika tulisan saya dibaca oleh orang lain dan apalagi kalau mendapatkan komentar dari pembaca. Pelan namun pasti, saya pun mulai lebih sering menulis jurnal di Friendster dibanding menulis buku harian di laptop.
Dari blog di Friendster, setelah menikah dan mempunyai anak yang waktu itu baru berumur 4 bulan, saya beralih ke WordPress yang adalah blog ini, yang sampai sekarang saya gunakan. Di tahun-tahun pertama menggunakan blog ini, saya sangat menikmati mendokumentasikan perkembangan dan keseharian anak saya di sini. Kendala waktu dan kenikmatan menulis di blog membuat saya pada akhirnya sepenuhnya meninggalkan kebiasaan menulis buku harian.
Kemudian telepon genggam pintar berkembang semakin pintar. Kegiatan mengukir kenangan lewat foto dan video menjadi semakin mudah, murah, namun dengan kualitas yang kian tinggi. A picture is worth a thousand words, they say, sehingga seiring waktu, kata-kata semakin tak diperlukan dalam dokumentasi keseharian. Asal ada foto, ada video, maka semua kenangan bisa dimunculkan kembali. Ditambah, pada saat yang berbarengan, teknologi media sosial selain blog juga semakin berkembang dengan aneka ragam rupa dan fiturnya, sehingga ketika dirasa perlu untuk mendokumentasikan atau menjurnalkan sebuah kenangan dalam bentuk tulisan, maka tinggal dilakukan saja melalui post di media sosial. Tak perlu waktu dan tempat khusus, kapan saja ingin ya silahkan. Kemudahan dan kepraktisan yang ditawarkan media sosial itu, pada akhirnya tak hanya membuat kebutuhan akan buku harian semakin jauh, tapi bahkan menulis di blog pun menjadi lebih jarang dibanding sebelumnya š.
Faktor waktu dan perkembangan teknologi memang membawa pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan, termasuk untuk urusan sesederhana menulis buku harian š .
Meskipun begitu, selalu ada bagian di dalam hati saya yang bilang kalau saya merindukan buku harian. Karena tulisan di blog hanyalah jurnal yang bahkan semakin ke sini semakin jauh dari ranah keseharian kami. Post di media sosial lain juga hanya bertujuan untuk dokumentasi seadanya. Baik itu blog maupun media sosial lain, tetaplah ditujukan untuk konsumsi publik, ada hal yang bisa diketahui oleh orang lain, namun lebih banyak lagi hal yang lebih suka kami nikmati sendiri. Lagipula media sosial sekarang perkembangannya sudah begitu aduhai, sehingga membuat saya merasa harus semakin berhati-hati akan apa yang saya post di situ. Dari dulu juga memang sudah hati-hatiĀ sih, puji Tuhan isi media sosial saya termasuk yang clean karena isinya hanya dokumentasi dan frekuensiĀ update-nya pun termasuk dalam batas wajar.
Jauh di dalam lubuk hati, saya tetap merindukan saat-saat di mana saya bisa menuliskan dengan detail setiap hari yang saya alami tanpa khawatir ada orang lain yang seharusnya tak perlu tahu soal itu bisa membacanya. Saya tetap merindukan, saat-saat di mana saya bisa menuliskan dengan bebas apa yang saya pikirkan dan rasakan tanpa harus mempertimbangkan pikiran serta perasaan orang lain ketika membacanya.
Sebuah private blog pernah menjadi solusi untuk saya.
Solusi yang tidak bertahan lama, karena menulis blog yang lebih baik dilakukan dengan laptop itu, tidaklah sepraktis menulis di media sosial lainnya. Butuh waktu khusus, dan itu yang sering saya tidak punya.
Sebuah akun Instagram yang benar-benarĀ private juga pernah menjadi solusi. Untuk yang satu ini agak lumayan membantu saya melepas rindu akan menulis buku harian. Tapi lagi-lagi hanya untuk sebentar saja, karena jumlah karakter yang terbatas pada akhirnya membuat saya tak nyaman menulis di situ. Lagipula teman-teman yang berteman dengan saya di akun utama, bisa mengetahui soal akun pribadi saya itu lewat friend suggestion, akhirnya karena mereka tahu itu punya saya, jadiĀ requestĀ untukĀ follow. Ujung-ujungnya saya yang dilema. Tidak mau terima kok ya sombong amat. Mau terima, tapi…tapi….itu isinya curhatan saja š .
Begitulah, pada intinya akun-akun media sosial yang privat tidak menjadi solusi serta jawaban kerinduan saya akan buku harian.
Beberapa tahun yang lalu, saya pernah menemukan sebuah aplikasi bernama Journey. Aplikasi ini sebenarnya lebih mirip dengan aplikasi serupa Notes. Cukup bila hanya untuk memenuhi kebutuhan membuat catatan-catatan, tetapi masih belum benar-benar klik di hati saya sebagai sebuah buku harian. Saya sempat mencari-cari aplikasi yang lain juga, namun kebanyakan hanya berupa notes applications dan/atauĀ personal organizer.
Sampai kemudian, kurang lebih setahun yang lalu, saya bertemu dengan aplikasi DailyLife. Setelah mencobanya beberapa saat, saya pun merasa bahwa aplikasi ini benar-benar menjawab kebutuhan saya akan buku harian yang praktis untuk saya gunakan setiap hari, sehingga tanpa ragu, saya membeli Premium Service Package-nya.
![]()
DailyLife, Buku Harian Saya Kini
Kenapa saya bilang bahwa DailyLife memenuhi semua kebutuhan saya akan buku harian di era teknologi seperti sekarang?
Itu karena aplikasi ini memuat semua fitur yang seharusnya ada di buku harian namun dengan sentuhan teknologi yang memudahkan semuanya. Dengan DailyLife ini, saya bisa menulis buku harian kapan saja dan di mana saja. Format editornya persis seperti blog tapi penggunaannya semudah media sosial lain semacam Instagram dan Facebook.
Untuk lebih jelasnya, berikut saya daftarkan fitur yang menjadi keunggulan dari aplikasi DailyLife ini yang membuat saya yakin, this is it, the kind of diary that I’ve been looking for. Not only that it’s super easy to use, but it also gives me sensation like writing on a real diary book.
- Aplikasi ini menggabungkan kebutuhan akan buku harian danĀ daily organizer. Jadi di aplikasi ini ada Calendar di mana untuk setiap tanggalnya selain kita bisa menulis, kita juga bisa menyimpanĀ anniversary atau appointment dan bisa diset untuk pengingatnya juga.
- Saya bisa menulis sebanyak dan sepanjang yang saya perlukan dan untuk satu tanggal saya bisa membuat lebih dari satu tulisan. Cocok sekali kan ya untuk saya yang suka sekali bercerita, mendokumentasikan keseharian, dan tentu curhat! š
- Editornya powerful:
- BisaĀ attach gambar dan video dengan tampilan yang inline. Jadi hasil tulisannya adalah seperti tulisan di blog yang enak dibaca dan formatnya memang lebih cocok untuk buku harian. Saya dulu sangat menyukai blog karena menurut saya format blog adalah yang paling bisa menyamai buku harian dan bahkan lebih baik daripada buku harian manual karena bisa langsung insert gambar tanpa perlu gunting dan tempel foto seperti dulu…hehehe…. Nah, format editor dan tampilan di DailyLife tuh seperti itu, keren kan? MemangĀ sih ada batasan untuk jumlah foto dan video ini (non-premium hanya bisa 3, sementara yang premium bisa sampai 20), tapi yah menurut saya 20 foto dan video untuk satu tulisan sudah lebih dari cukup. Ya kali, yang di Instagram saja hanya 10, bisa kok dicukup-cukupkan…hehehe….
- Tulisan bisa diformat, baik itu jenis huruf, ukuran huruf, tebal, miring, garis bawah,Ā alignment, sampai ke warna huruf danĀ highlight. Seru kan seperti ini, membuat saya teringat jaman dahulu kalau menulis buku harian paling senang kalau bisa pakai pulpen warna-warni atau dikasihĀ highlight dengan stabilo…hehehe….
- BisaĀ insertĀ stiker yang lucu-lucu! Ini lagi, benar-benar mirip dengan buku harian jaman dulu yang suka ditempelin stiker yang membuat ceritanya bertambah seru danĀ somehow jadiĀ cute š.
- BisaĀ attach musik supaya kalau pas lagi dibaca ulang, sensasi danĀ mood-nya itu bertambah.
- Didukung sama aplikasiĀ map, jadi kita bisa menandai lokasi yang menjadi background cerita kita.
- Punya fiturĀ pen drawing, cocok bagi yang senang menggambar, begitu mendapatkan inspirasi bisa langsung menggambar di sini dan hasil gambarnya juga bisa diunduh.
- Ada fiturĀ hashtag, yang akan memudahkan kalau ingin mencari tulisan dengan topik yang kurang lebih sama.
- Ada fiturĀ mood. Mirip dengan yang di Facebook, kaannn….? Cuma bedanya, dengan aplikasi DailyLife, mood yang kita atur di tulisan kita bisa sampai tiga jenis dan bisa kita track back.
- Memiliki fitur Category untuk memudahkan pengelompokan cerita dan memudahkan pencarian juga.
- Memiliki fitur Special Places yang didukung oleh Google Map, jadi kita bisa melihat di peta tempat-tempat yang telah kita tandai menjadi background cerita kita dan bisa langsung diklik untuk membaca ceritanya.
- Fitur pencariannya mudah sekali, karena bisa mencari cerita lewat Calendar, lewat mood,Ā hashtag,Ā category, ataupun lewat kata kunci tertentu.
- Punya fitur Photo Album yang di-generate dari foto-foto yang kita masukkan dalam setiap cerita dan bisa ditampilkan per tanggal, jadi mengasyikkan sekali sebagai media album kenangan untuk konsumsi pribadi.
- Bisa berfungsi sebagai media sosial namun bisa juga diatur untuk benar-benar privat. Aplikasi DailyLife ini memungkinkan penggunanya untuk salingĀ subscribe atau membagikan cerita ke pengguna lainnya, tapi aplikasi ini juga memungkinkan pengguna untuk mematikan semuaĀ social features jika hanya ingin menggunakan aplikasi ini sebagai buku harian personal.
- Ingat dengan buku harian yang pakai gembok? Nah, DailyLife ini juga bisa dipasangkan gembok di mana kita bisa mengatur penggunaan password untuk mengakses isinya.
- Ada tampilanĀ profile yang mirip sekali dengan tampilan blog. Selain tampilanĀ profile, daftar tulisan juga bisa ditampilkan berdasarkan urutan tulisan terbaru, berdasarkan urutan waktu (Calendar), Mood, Photo Album, Categories. Intinya, memudahkan sekali untuk melihat-lihat lagi kisah dan cerita yang kita tuangkan di buku harian digital ini.
- Ada pengingat untuk menulis, yang bisa kita atur pesan serta jam notifikasinya.
- Ada fitur Memories of the day! Sejujurnya, fitur yang seperti ini yang paling membuat saya berat meninggalkan media sosial semacam Facebook, karena memang mengasyikkan kalau diingatkan kembali akan peristiwa yang terjadi di tanggal yang sama tapi di waktu yang lampau. Puji Tuhan, aplikasi ini juga punya fitur seperti ini! Jadi bertambah deh semangat untuk menuliskan cerita saya dan keluarga di aplikasi ini š.
- Setiap tulisan bisa diekspor ke PDF, TXT, dan bahkan bisa ke aplikasi yang lain juga seperti ke WhatsApp, Instagram, Facebook, Google Photos, dan bahkan ke Blog! š. Selain mengekspor cerita satu per satu, kita juga bisa mengekspor secara keseluruhan cerita ke dalam format PDF atau TXT.
- Menjunjung pilihan privasi pengguna. Bila kita memilih untuk benar-benar privat, maka semuaĀ content yang kita buat di aplikasi ini hanya akan tersimpan di perangkat kita saja.
- Memiliki fiturĀ backup dan restore dari dan ke akun Google Drive pribadi kita.
- Dapat bekerja pada lebih dari satu perangkatĀ mobile dan mendukung sinkronisasi otomatis antar perangkat.
- Tampilannya bisa dikustomisasi sesuai dengan selera kita yang memberikan kesan personal dalam penggunaannya.
Begitulah pemirsa, daftar fitur di dalam aplikasi DailyLife yang sungguh membuat saya jatuh cinta dengan aplikasi ini.
Berikut saya beri a few glimpses of this application, so you may know what you’re going to have if you download this gem š.






Dengan menemukan aplikasi ini, saya serasa menemukan kembali diri saya yang dulu yang setiap hari membuka buku harian untuk mengisinya dengan coretan kisah di hari itu, di mana di setiap cerita penuh ungkapan perasaan yang jujur, personal, dan bebas karena saya bercerita bukan pada siapa-siapa. Saya bercerita pada Tuhan. Setiap tulisan adalah seperti doa, koneksi pribadi saya dengan Tuhan. Ini bukan tentang nostalgia, tetapi tentang suatu kebutuhan. Di tengah dunia yang semakin terbuka, yang kian menstimulasi orang untuk melihat keluar, saya butuh sesuatu yang membantu saya untuk melihat ke dalam dan dari dulu sejak kini, menulis adalah alat yang menjadi anugerah Tuhan untuk saya melakukan hal itu.
Menulis, yang diawali dengan, “Dear Lord….”
….dan dilanjutkan dengan cerita pada Tuhan….
Sejak menemukan aplikasi DailyLife, saya justru menjadi lebih rajin menulis buku harian dibanding ketika masih menggunakan buku harian manual.
Alasannya tentu jelas.
Menulis dengan aplikasi dalam genggaman itu lebih mudah, lebih praktis, lebih hemat waktu, dengan hasil yang lebih enak dibaca karena dengan aplikasi DailyLife ini saya bisa langsung menyertakan foto dan video yang berkaitan dengan cerita yang saya tulis. Panjang tulisan juga bisa sepanjang yang saya mau tanpa harus merasa lelah menulis. Dan yang terpenting lagi, dengan DailyLife ini saya bisa menulis buku harian kapan saja dan di mana saja selagi bisa š.
Puji Tuhan….
Saya berharap, aplikasi DailyLife ini bisa berumur panjang agar bisa panjang juga saya gunakan. Oh ya, kalau ada di antara pemirsa yang ingin mengunduh aplikasi ini, you can get this app on Google Play and App Store.
![]()
Begitulah pemirsa kisah saya dan buku harian dari sejak jaman masih manual hingga memanfaatkan teknologi yang tersedia di masa kini. Apapun itu, baik berupa buku maupun berupa aplikasi, menulis buku harian itu terasa sekali manfaatnya, entahkah untuk dokumentasi yang kelak bisa bikin tersenyum ketika dibaca ulang, maupun sebagai sarana untuk semakin mengenal diri sendiri dan menarik pelajaran dari setiap peristiwa yang dialami.
Kelak, semua cerita keseharian saya, baik di buku harian manual maupun digital, akan membuat sebuah jalinan cerita yang akan saya baca-baca ulang sambil tersenyum-senyum sendiri. Senyum yang penuh rasa syukur, karena Tuhan memberikan kesempatan pada diri saya di masa lampau untuk bisa menorehkan setiap kisah, pikiran, dan perasaan itu dalam bentuk tulisan yang penuh kejujuran ā¤ļø.

Samaa Kak, aku juga doyan nulis diary dari SD. Tapi kebiasaanku itu memudar seiring bertambahnya usia. Hahaha. Sempat pindah ke notes. Tapi sekarang aku dah mulai rajin lagi nulis jurnal secara manual. Keracunan liat youtube tentang bullet journal, lucu lucu tempel2 stiker. Aku suka nulis secara manual soalnya kayak buat terapi gitu. Dan boleh juga nih nyicipin DailyLife nya. Tengkyu Kak Lisaaa atas rekomennyaaa. š
Aku pernah tergiur juga nih soal bullet journal habis denger bahasannya di radio…tapi blm jg mulai udah undur…wkwkwkwk…soalnya sadar diri nih, pasti bakal susah ngeluangin waktu buat setiap hari bisa nulis di situ š
wahhhh menarik sekali aplikasinya. iya ya, di sosmed skrg kudu mikir2 bgt mo cerita. adaaaa aja yg sensi, pdhl bukan ybs dlm cerita kita. coba donlot ah
Hehe…kalo buat saya aplikasi ini membantu sekali buat saya yang demen curhat š
Pas liat covernya salfok di tahunnya yg 2005 š
Itu tahun prtama masuk De Lasalle tp blm masuk di matkul kak Alissa
Salam kenal kak š
Oalaahhh….sesama Lasallian! š
Salam kenal jugaaa….jurusan TI jg kah dulu? Dulu qta mengajar di kelas tingkat 2 dan 3 š