Hari Kamis yang lalu, saya dipanggil oleh atasannya atasan, saya pikir buat ngomongin masalah kerjaan yang masih pending, tapi ternyata yang dibahas oleh beliau bukan itu, melainkan tentang bagaimana saya ke depannya. Beliau bercerita banyak, tentang hal-hal yang seharusnya membuat saya senang…
Tapi sebaliknya, saya justru hanya hampir bengong mendengarnya…
Apa yang beliau katakan, justru jadi pergumulan tersendiri buat saya. Rencana beliau terhadap saya sungguh saya syukuri, tapi untuk saat ini, ada hal lain yang lebih menjadi prioritas buat saya.
Ini bukan tentang soal zona nyaman, tapi sampai sekarang ini saya masih bertahan tetap bekerja di luar rumah karena kondisi pekerjaan saya memungkinkan sekali untuk tetap optimal memperhatikan keluarga dan tetap optimal juga memberikan kontribusi untuk perusahaan yang sudah membayar saya setiap bulannya. Di sini, di lingkungan pekerjaan ini, saya bisa mengatur ritme kerja saya sendiri, hingga meskipun saya harus membagi waktu di sela-sela pekerjaan untuk mengurusi keperluan dan kebutuhan anak-anak, namun puji Tuhan kerjaan masih bisa terselesaikan, bahkan sering bikin surprise karena bisa selesai dengan cepat. Di sini, saya juga bisa leluasa untuk menarik diri dari segala kegiatan dinas ke luar kota hingga saya tak perlu memikirkan kemungkinan meninggalkan anak di rumah selama berhari-hari. Di sini, tak hanya soal enjoy bekerja, tapi juga soal rasa tenang dan aman bahwa keluarga akan tetap merasa mereka adalah prioritas saya meski saya bekerja, dan saya sendiri juga merasa puas karena merasa bahwa produktivitas saya masih berguna bagi tempat saya bekerja ini ini.
Kemarin, saya memang tak langsung menyampaikan pada beliau soal apa yang jadi pertimbangan saya. Kebiasaan saya memang, kalo denger sesuatu yang bikin shock terutama soal masa depan, pasti saya akan speechless dulu, kayak orang bengong dulu, seolah-olah bisa menerima dulu, padahal dalam hati bercampur aduk rasanya dan pengen langsung teriak, “Noooo!!!!!”.
Biasanya, hal yang bikin shock itu akan terus terbawa-bawa dalam pikiran saya *yaiyalah, persoalannya gak langsung diselesaikan soalnya!*, sampe akhirnya saya bisa obrolin soal itu sama suami *bersyukur banget yah, di dunia saya yang penuh kelabilan ini, Tuhan ngaruniakan dia hikmat yang bikin dia cenderung selalu stabil pemikirannya* dan seperti biasa dia bisa ngasih solusi *dalam hal ini solusinya adalah berupa apa yang harus saya lakukan dan jika ada yang perlu disampaikan, maka point-point apa yang harus saya utarakan…duh, pak suami…dirimu memang amat sangat sistematis!*. Saya kemudian akan semakin bertambah yakin dan tenang, setelah saya berdoa. Bagian ini yang hampir tak dapat terungkapkan dengan kata-kata betapa bersyukurnya saya punya Allah yang hidup yang selalu bisa ngasih kekuatan dan solusi….iya dong, saya selalu yakin kalo yang ngasih saya solusi itu aslinya bukan pak suami, tapi Tuhan sendiri, tapi lewat pak suami *mulai belepotan bahasanya*.
Esok harinya, pagi-pagi saya ngadep atasannya atasan saya itu. Pas liat saya masuk, beliau langsung ngajak ngomong soal kerjaan. Setelah bahasan soal kerjaan itu selesai, saya pun mulai membahas soal yang beliau bahas kemarin. Puji Tuhan, beliau mengerti situasi saya. Anak-anak masih kecil, tak ada keluarga besar di sini, sementara suami punya karir yang harus dia jalani….
Di antara kami berdua harus ada yang mengalah dalam hal persoalan karir ini. Dan dalam hal ini saya dengan sukacita memilih menjadi pihak yang mengalah, karena toh dia punya kompetensi yang jauh lebih tinggi daripada saya, karena toh mengurus keluarga adalah kebahagiaan tak ternilai untuk saya, karena toh dengan mengalah saya tetap jadi pemenangnya soalnya ehm…yang ngerasain penghasilan dia ya saya juga kan???.
Jadi begitulah, puji Tuhan atasannya atasan bisa langsung mengerti dan saya pun bisa langsung lega….leganya pake banget pokoknya, serasa ada beban berton-ton yang diangkat dari atas kepala saya. Serius, karena kemarin itu pas denger rencana beliau tentang saya, yang langsung terbayang adalah saya yang mau gak mau harus sering dinas keluar kota, saya yang tidak boleh tidak musti ngikut diklat selama berminggu-minggu demi memenuhi syarat posisi itu, dan saya yang akan terus berada dalam posisi dilematis…optimal memperhatikan anak-anak akan berarti tidak optimal dalam pekerjaan karena sistem kerja yang bukan lagi seperti sekarang. Dan saya tidak mau itu! Kalau saya digaji untuk sebuah tanggung jawab, maka saya harus menjalaninya sebaik mungkin agar paling tidak dari diri saya sendiri bisa merasa bahwa saya memang layak digaji untuk apa yang saya lakukan. Saya paling tidak suka melihat orang yang taunya hanya numpang duduk, dapat nilai kinerja, dapat gaji, dapat bonus, padahal yang dilakukan masih jauh dari tanggung jawab yang seharusnya. Yang kerja susah-susah orang lain (mostly bawahan), tapi dia tetap dapat enaknya. Saya gak suka ngeliat yang seperti itu, jadi saya pun tak mau melakukan hal yang sama. Prinsip saya, kalau memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan, maka lebih baik jangan diterima. Jangan hanya mau jabatan, tapi tak mau menanggung konsekuensinya. Jangan hanya mau enaknya (gajinya, tunjangannya, bonusnya, posisinya), tapi gak mau susahnya. Jangan hanya mau pekerjaan, tapi tak mau kerjanya, trus taunya nyuruh bawahan doang, seolah-olah kalo udah jadi bos itu sama dengan tak perlu melakukan apapun -____-“
Ah, sudahlah…tak ada gunanya berpanjang-panjang soal itu. Apapun itu, yang pasti saya sudah plong. Life is all about making choices, and this time, again, I think I’ve made another right decision for me and my family. Amen.
pa kabar jeng?…semoga sehat sehat selalu dan bahagia bersama keluarga…terusik untuk koment….idem dengan saya..ketika dihadapkan pada pilihan posisi dan karier yang sebenarnya bagus dan “challange” malah yang ada bingung untuk menolak…bukan kepada zona aman…dan gak mau tantangan dan perkembangan karier..tapi lebih melihat kepada keluarga, anak anak…suami…fungsi kita sebagai ibu dan ibu bekerja…nggak ingin jadi semaunya sendiri…siapa sih yang tidak ingin gaji dan tunjangan naik…karier naik tapi tidak maksimal menjalaninya karena dilema…lebih baik berterus terang…idem …aku pernah melakukannya..yakin ini adalah pilihan yang terbaik…sukses selalu jeng
Puji Tuhan di sini sehat jeng, di sana gimana? Si kecil dalam perut gimana? Semoga perkembangannya baik yaaa..
Iya, kita ibu yang bekerja, mau gak mau harus memilih mana yang lebih diprioritaskan
Hehehe…kalo gw mbak…selalu mikir gimana caranya bisa naik pangkat tanpa pernah menduduki kursi struktural.
hehehehe..iya, kursi struktural itu lebih berat. Saya sekarang di struktural juga, tapi masih di bidang IT jadi sistem kerjanya masih lebih mudah diatur sendiri
Selamat ya Jeng Lis, tidak semua orang menemukan jalan yang tepat bagi mereka. Semoga dengan posisi sekarang dirimu kian cemerlang, baik dalam mengurus rumah tangga maupun karier di kantor. Berkat Allah yang berlimpah untukmu sekeluarga. Amin
Amiinn…terima kasih mbak Evi 🙂
Hal yg sama dulu pernah dialamin Mama ku, Mbak.. Dan beliau mengambil keputusan sama seperti Mbak, menolak secara halus karena memprioritaskan keluarga.. Alhamdulillah keputusan yang tepat. Heheh.. 😀
Semoga selalu sehat dan bahagia sekeluarga ya, Mbak. Aamiiin..
So happy for your mama, Beb 😀
Selama keluarga jadi prioritas, maka yakin kalau itu adalah yang terbaik. Thanks yaaa 🙂
Super like this post lis 🙂 ini nih yg bikin aku betah bgt baca blog km. Kadang apa yg kamu tulis itu bisa bikin pikiran aku terbuka n adem. Lumayan belajar lebih dewasa lagi berkat tulisan2 kamu hihihi. Apapun itu semoga jd yg terbaik buat km n sekeluarga yak 😉
Ahahaha…makasih Epiiii…semoga kamu juga selalu mendapat yang terbaik untukmu dan keluarga yaaa
idem….
memilih ‘diam’ pada posisi saat ini
Hehe..yang penting anak-anak aman ya da 😉
Keluarga emang tetep nomor satu ya lis…
Iya Man, selalu….. 🙂
kalau memang situasi dan kondisi tidak memungkinkan, maka lebih baik jangan diterima. Jangan hanya mau jabatan, tapi tak mau menanggung konsekuensinya. Jangan hanya mau enaknya (gajinya, tunjangannya, bonusnya, posisinya), tapi gak mau susahnya. Jangan hanya mau pekerjaan, tapi tak mau kerjanya, trus taunya nyuruh bawahan doang, seolah-olah kalo udah jadi bos itu sama dengan tak perlu melakukan apapun -____-“ -> setuju bngt sm prinsip ini dan semoga saya bs selalu berpegang pd prinsip ini juga ke depannya kak 🙂
selamat yah kak Lisa udah pilih keputusan yg paling melegakan utk keluarga, pasti Tuhan kasih kesempatan yg lebih baik ke depannya 😀
Thanks Mey 🙂
Iya, yakin dan percaya, Tuhan akan selalu beri yang terbaik
Pertanyaan mendasarnya adalah “Worth it apa tidak?”
Kalau dengan pemikiran yang matang ternyata keluarga lebih berharga ya monggo
Keluarga akan selalu lebih berharga buat saya apalagi jika hanya dibandingkan dengan karir 🙂
paham banget kayaknya Lis dengan situasi dan kondisi yang dirimu hadapi. Semoga yang terbaik selalu terlimpah buat keluarga ya..
Amiinn…tengkyu, Dani
ini semacam dilema ibu bekerja ya mbak. dari awal pun aku sadar, aku ga bisa memilih dua2nya. karir dan keluarga. dan sudah pasti, keluarga adalah prioritas utama. tapi kadang suka terbersit rasa ga enak kalau terus-terusan menolak. malah dulu aku dibilang, mengutamakan kepentingan pribadi daripada negara. sigh.. semangat terus mbak lissa
Asal kita bisa mengungkapkan point2 yang penting yang bikin kita nolak dan asalkan kita bisa menunjukkan etos kerja yang baik, semoga para atasan bisa selalu mengerti ya
iya mbak,,sama,,aq pun berpikir gitu..sejak punya anak,rasanya ya udh ga kepengen perkembangan karir,karena takut dengan konsekuensinya yaitu tanggung jwb lbh besar,,dan nantinya harus sering ninggalin anak,saya sama temen2 yg ibu2 juga prinsipnya,ga naek jabatan gpp yg penting gaji naik,hihihihi
kmrn aja ke luar kota 2hr ga tenang rasanya.
smangat mbak,smua pilihan yg sudah kita pilih,itu yg terbaik ^^
Hihihi..semangat juga buat dirimu yaaa