Tulisan ini masih ada hubungannya dengan tulisan sebelumnya, hubungannya sama-sama menyangkut persoalan nama dalam hal ini nama perempuan setelah menikah.
Gak banyak, tapi adalah beberapa orang yang nanya dan sebelumnya mengira kalo setelah menikah, nama belakang saya berganti dari Krones menjadi Samosir. Temen yang ketemunya di blog juga ada tuh yang sempat mengira demikian… Hayooo…yang berasa ancungin tangannya (udah ada satu-dua yang ngaku ke saya, jadi harusnya ada yang ngancungin tangannya )
Dan ternyata ada pula yang mengira kalo budaya di Manado tuh setelah seorang perempuan menikah, maka nama belakangnya atau yang kalo dalam bahasa Manado disebut fam berubah mengikuti nama suaminya.
Padahal gak banget lho.
Saya orang Minahasa dengan fam Krones menikah dengan orang Batak bermarga Samosir. Setelah menikah, nama belakang saya ya tetep aja Krones.
Kenapa bisa begitu?
Yuk mari kita lihat dari sisi budaya baik Batak maupun Minahasa ya.
Minahasa.
Pada tau kan ya kalo Minahasa itu adalah nama suku bangsa dari mayoritas penduduk di Sulawesi Utara? Kalo belum tau ya ini saya kasih tau :D.
Apakah saya orang Minahasa? Ya jelas, saya mengaku sebagai orang Minahasa, meskipun papa saya sama sekali bukan berasal dari Minahasa dan mama saya sendiri berdarah campuran Portugis, Tionghoa, dan Tonsea (sub etnis Minahasa). Tapi berhubung saya lahir dan besar di Tanah Malesung (nama kuno Minahasa) dan menganut budaya sana jadi ya udah saya ngaku-ngaku aja sebagai orang Minahasa :P. Lagian jadi cewek Minahasa atau Manado tuh enak lho, kemana-mana kalo ditanya,
“Aslinya dari mana?”
“Dari Manado…”
“Oh..pantesan cantik dan putih ya…”
Hahahaha…. Padahal gak semua cewek Manado tuh cantik dan putih :P. Eh tapi kalo soal cantik sih itu relatif kan ya dan yang terpenting juga tak hanya cantik yang terlihat fisik saja tapi terutama cantik dari hati tentunya *wink*. Tapi pernyataan yang di atas itu sih biasanya dilontarkan oleh orang yang bukan dari Manado ya. Kalo orang Manado asli mah biasanya begitu tau saya dari Manado, cenderung suka nanya gini, “Manado mana ngana? Nda dapa lia nga pe Manado noh..” *artinya: “Kamu Manado dari Mana? Gak keliatan tuh Manadonya…” ngoookkk…hahahaha...*
Nah kan ceritanya ilang fokus…hihihi…
Nama Krones sendiri sebenarnya bukan berasal dari Minahasa, fam ini dibawa oleh Opa Buyut saya dari tanah Sachsen, Jerman, di antara anak-anaknya yang dibawa ke Indonesia, cuma satu yang akhirnya beneran dan seterusnya tinggal di Indonesia, yaitu opa saya. Nama Krones ini kemudian disebar oleh anak dan cucunya ke beberapa penjuru tanah air, salah satunya ke Manado yang dibawa oleh papa saya sejak beliau merantau ke Manado tahun 1978. Makanya, kalo ada orang Manado nanyain fam saya, biasanya pertanyaannya akan berlanjut, “fam dari mana itu?”. Tapi kalo sama yang bukan orang Manado, paling tanggapannya cuma, “Ooo….” :D. That’s why saya lebih seneng ditanya marganya apa sama yang bukan orang Manado karena gak perlu panjang ngejelasinnya :D.

Nah, ada yang mengira bahwa salah satu kebiasaan di Minahasa itu adalah mengganti nama perempuan setelah ia menikah dengan menambahkan fam suami di depan fam aslinya. Jadi misalnya, perempuan dengan fam Karamoy, menikah dengan pria ber-fam Rumangkang, maka fam perempuan itu menjadi Rumangkang-Karamoy.
Padahal yang saya lihat dan saksikan sendiri gak kayak gitu lho!
Mama saya ber-fam Tuwaidan, dan setelah menikah, gak pernah sekalipun namanya berubah menjadi Margharitha Krones-Tuwaidan. Ya tetep aja di manapun nama mama saya ditulis Margharitha Tuwaidan.
Yang adanya, sebutan untuk keluarga itu yang kemudian menjadi gabungan kedua fam. Keluarga kami contohnya, disebut Keluarga Krones-Tuwaidan. Mama saya juga kemudian jadi suka dipanggil Ibu/ Nyonya Krones atau Ibu Reggy (nama papa saya), yah hampir samalah dengan budaya di tempat lain di tanah air. Yang kemudian akan mengikuti fam suami/bapak dalam keluarga itu ya cuma anak-anaknya aja, mengingat sistem kekeluargaan yang dipakai di Minahasa adalah patrilineal.
Contoh lainnya juga, sejak menikah apa pernah Angel Karamoy mendeklarasikan penggantian namanya menjadi Angel Rumangkang? Gak kan?
Jadi sepanjang pengetahuan saya, gak bener itu kalo ada budaya di Manado yang mengubah nama perempuan setelah menikah. Fam-nya ya tetep pake nama keluarga aslinya. Mungkin karena di Manado dan Minahasa banyak menganut budaya barat, jadinya banyak yang berpikir untuk masalah fam ini kita juga ngikut budaya dari sana, padahal gak kayak gitu, karena secara hukum di Indonesia juga kita kan gak diwajibkan untuk mengganti nama untuk kemudahan urusan surat-surat legal gitu. Beda kalo di luar sana, yang mana sepertinya ada banyak aturan yang akan membuat kita jadi lebih mudah jika ngikut nama keluarga suami.
Batak.
Nah, gimana dengan budaya Batak? Perlukah saya mengganti nama belakang saya setelah menikah?
Iyaaa…perlu banget!
Saya HARUS diberi marga Batak!
Tapi bukan demi ngikut marga Suami, melainkan demi supaya pernikahan kami bisa diadatkan sesuai dengan tata cara adat warga Batak.
Jadi waktu kami menikah di 2008 kemarin, setelah pemberkatan dan resepsi di Manado, seminggu kemudian dilangsungkan adat Paboruhon untuk saya di Medan, dan baru seminggu kemudiannya lagi dilangsungkan acara adat pernikahan kami.
Kenapa sih perlu repot-repot dikasih marga Batak gitu?
Ya kalo gak, mengingat saya ini bukan boru Batak, nanti pas di adatnya siapa dong yang akan menjalankan tugas-tugas dan mendapatkan hak-hak sebagai pihak boru dalam pesta adat itu?
Kenapa gak keluarga yang dari Manado aja?
Bok, ya jelas gak bisalah.
Pertama, karena adat Batak tuh bukannya sekali baca, merem-melek, trus bisa langsung dipahami, yang adanya adat Batak tuh rumit binti ribet. Yang orang asli Batak sendiri pun belum tentu lho paham betul soal adat istiadatnya. Jadi mo butuh berapa tahun buat ngajarin ke keluarga di Manado?? Bisa-bisa batal deh kami nikahnya, karena keluarga saya udah keburu collapse dijejalin serangkaian pengetahuan, keharusan, tanggung jawab, hak, dan kewajiban terkait adat Batak 😀
Kedua dan yang paling mendasar, ya karena menyalahi aturan adat itu sendiri. Lagian dalam pernikahan dan perayaaan adat Batak lainnya, yang terkait tuh gak hanya marga itu saja, tapi juga marga-marga lain yang punya hubungan dengan marga itu dan yang seperti ini jelas hampir tak mungkin bisa kita temukan di dalam sistem kekerabatan di tempat lain di Indonesia.
Jadi, saya sama sekali tak boleh menolak ketika kemudian nama saya setelah adat Paboruhon itu berubah menjadi Allisa Yustica Krones br. Siregar (catatan: br dibaca boru). Ya iyalah gak mungkin nolak, terlalu gak punya perasaannya saya jika masih menolak pernikahan kami diadatkan setelah mertua dengan penuh kasih telah menerima saya sebagai menantu dari anak laki-laki mereka yang cuma ada satu itu.
Tapi nama Allisa Yustica Krones br. Siregar itu hanya dipake dalam lingkungan adat Batak kok, gak dipake ke luar dan tidak ada pengesahan secara hukum apalagi agama terkait perubahan nama itu. Konsekuensi dari pemberian marga Siregar itu? Ya berarti saya jadi memiliki keterikatan keluarga dengan marga Siregar. Dengan kata lain ya nambah sodara gitu, malah bagus kan?
O iya, kenapa harus memilih marga Siregar? Padahal kan marga Batak banyak tuh, tinggal dipilih.
Ya yang jelas, marga Siregar bukannya dipilih biar bisa punya marga yang sama dengan Meisya Siregar atau Zivanna Letisha Siregar atau sama kak Monda Siregar…hehehe….
Marga Siregar jelas dipilih karena pertimbangan secara adat juga. Jadi kan mama mertua saya bermarga Siregar, jadi otomatis pariban suami saya adalah marga Siregar di mana itu artinya suami saya seharusnya menikah dengan perempuan/boru Siregar. Kalo gak sama Siregar ya berarti naik satu tingkat, yaitu ke tingkat Ompung-nya suami yang mana ompung boru-nya alias neneknya dari pihak Bapak adalah boru Sijabat.
Dengan demikian, ada dua pilihan marga utama untuk saya: Siregar atau Sijabat.
Seandainya pihak Siregar tidak mau menerima saya sebagai anak perempuan / boru, maka keluarga suami bisa meminta ke keluarga Sijabat untuk menerima saya (kalo kejadiannya sampe harus minta-minta gini mah kasian amat yak )
Puji Tuhan, kemarin itu prosesnya gak ribet lah. Sejak awal pembicaraan mengenai pernikahan kami dalam lingkungan adat Batak, saya sudah langsung ditetapkan bakal diberi marga Siregar.
Dan dengan demikian, dalam lingkungan adat Batak, nama keluarga kami menjadi Keluarga P. Samosir / A. Krones br. Siregar.
See? Nama Krones saya tetep tidak hilang. Dan meski ada tambahan Siregar di belakang nama saya, tapi tetep aja saya tidak mengikuti marga suami. Kalo dalam adat Batak mah, pantang banget lah ya kalo sampe marga perempuannya sama dengan marga suami, tak boleh banget itu!
Jadi jelas dong ya, baik dari sisi Batak maupun Minahasa, sama sekali tak ada alasan untuk saya mengganti nama.
Lagian sayang banget kalo kemudian semua perempuan Krones mengganti namanya ngikut nama suami, bakal makin hilang dong marga ini di Indonesia, secara jumlah kami juga cuma sedikit banget. Untung aja, Opa saya sadar kalo beliau di Indonesia ini cuma one and only, makanya sampe punya 13 anak …hihihi…
Eh tapi dengan membahas ini di sini bukan berarti saya kemudian menganggap aneh atau salah sama teman-teman yang mengganti penyebutan namanya dengan mengikuti nama suami lho yah. Kalo buat saya sih perkara macam ini tergantung pada kenyamanan masing-masing aja. Dan saya menuliskan ini di sini untuk membuka wawasan teman-teman mengenai sistem penamaan keluarga yang digunakan dalam dua suku di Indonesia ini : Batak dan Minahasa 🙂
Kalaupun saya memilih tetap menggunakan nama Krones itu karena saya memang merasa nyaman dengan menyandang nama saya sendiri apalagi karena tidak ada aturan terkait hukum ataupun adat istiadat yang mengharuskan saya mengikuti nama suami. Merasa nyaman bukan karena saya mendewakan nama keluarga ini ataupun kemudian menjadi merasa berdosa pada leluhur jika mengganti nama saya. Tapi murni karena saya nyaman dengan nama saya sendiri, agak aneh rasanya jika nama saya kemudian berubah menjadi Allisa Yustica Siregar atau Allisa Yustica Samosir, those don’t sound like me at all. I love my whole name so much, it’s like one package for me, karena buat saya nama adalah salah satu jati diri saya dan apalagi jika saya berpikir bahwa meski ciptaan-Nya tak terhitung lagi jumlahnya, namun Tuhan Semesta Alam tetap mengenal nama saya, Allisa Yustica Krones, nama yang sudah disediakan-Nya, dari sejak sebelum saya dibentuk di kandungan ibu saya dan tak hanya sampai di mengenal nama saya saja, namun Dia juga mengenal keseluruhan roh, jiwa, dan raga saya.
Your eyes saw my substance, being yet unformed. And in Your book they all were written, The days fashioned for me, when as yet there were none of them.
mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya
Mazmur 139 : 16
Jadi pemirsa, demikianlah penjelasan yang panjang lebar dan sedikit melenceng sana-sini soal mengapa nama saya meski sudah menikah tetap seperti sewaktu masih gadis, Allisa Yustica Krones.
Krones is my family name and I will always and forever put it as my last name, even later on top of my tombstone there will be name Krones engraved…
oooo begitu yah jeng…*menyimak dengan seksama..walah enaknya yah ada nama marga gitu…jadi last name nya jelas..saya selalu mempunya masalah dengan middle name, dan last name..lho piye..orang cuman “sugiharti” gitu thok.heheheh….dan gak ada marga atau embel embel keluarga lainnya..dijawa kayaknya nggak wajib yah…coba kalo nama keluarga kakek nenek saya diikutkan bisa menyelesaikan masalah last name saya..:)
sip jadi mudeng..inilah kekayaan hasanah adat istiadat negeri indonesia..
bener banget mendukung…nama adalah cerminan pribadi..jadi aku rasa gak enak kalo diubah ubah atau diganti ganti..orangtua ngasih nama tentunya syarat dengan makna dan penuh doa serta pengharapan 🙂
Hehehe…memang kalo namanya cuma satu jadi agak repot kalo berurusan dengan hal2 internasional yang mengharuskan ada embel2 last name yah 😀
Lah aku baca ini baru tau kalo seluk beluk fam Krones. Kan aku bagian dari yang bukan Manado yang cuma ” Ooo…”. Hahahah
But anyway, Lis, seperti kata Kang Romeo ” What’s in a name ? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet”.
Hahahaha…that’s why aku sukaa kalo ditanya marganya apa sama orang bukan dari Manado, karena pasti gak jadi panjang. Secara biasanya kalo sama orang Manado, begitu ku bilang, “oh, itu marga import dari Jerman”, pasti nanyanya berlanjut, “Siapanya yang Jerman?” hihihi..jadi panjaaangg 😀
Hihi…itu kan si kakang Romeo ngomong begitu kan karena Capulet dan Montague-nya berantem. Coba seandainya hubungannya baik dan dia malah dijodohkan sama Juliet, pasti dia bakal ngomong, “thank GOD, i’m a Montague!” aiahahahaha
kalo raja ngikut marga samosir ya?
kalo orang amerika yang umumnya setelah married, yang perempuan ganti family name nya ngikut suaminya. jadi ganti nama legal gitu.
kita yang last name nya beda suami istri malah kadang jadi ‘masalah’ karena system2 suka bikin otomatis kalo suami istri last name nya sama. hahaha.
Iya Man, Raja ngikut Samosir, karena baik Batak dan Minahasa pake sistem patrilineal 🙂
Hahaha…kalo di sana memang setelah menikah biasanya secara legal last name istri diganti ngikut suami ya, karena mungkin hampir seperti sebuah keharusan kali’ yah termasuk biar statusnya kuat di mata hukum dan kalo ngurus apa-apa termasuk untuk beli apartemen jadi lebih gampang. Bener gak sih?
yah kayaknya sih gitu.
padahal jadi ribet. mesti ganti nama dimana2 kan, termasuk email kantor lah, nama2 di bank, dll… 😀
Eh iya ya, malah ribet urusan ganti nama ini ya, karena kan sebelumnya waktu nikah udah punya account di mana-mana, jadi harus ganti semua deh 😀
Untung aja di sini gak ada keharusan kayak gitu, jadi gak perlu repot ngurusinnya 😀
awal kenal mama Raja, bingung juga sebenernya, ada ya fam Krones di Manado. Soalnya selama ini, kenal beberapa kenalan dari manado, gak ada yg pakai Krones. Pikiran saya, mungkin sayanya yg gak tau, krn saya bukan dari Manado.
Dan ternyata … begitu ya ceritanya.
Pantesan Raja ganteng …. para kakek buyutnya juga ganteng2 gitu kok ..
Hehehe…jadi sebenarnya teh Dey juga udah berasa aneh sama margaku ya :D. Memang gak ada orang Manado dengan fam Krones teh, yang ada ya cuma dari keluarga kami aja 😀
Hahaha..teh Dey bisa aja. Thanks yah teh 🙂
ooh gitu ya:)
jelas deh sekarang mengenai marga krones padahal bingung awalnya itu marga darimana. keren marganya krones.
Hehehe…iya mbak, nama Krones itu keren yak…lho..malah narsis sendiri…hahaha
kali ini aq g begitu pusing baca tentang “perBatakan”, krna prnh ym-an tanya2 soal marga he..
tp msh blm paham yg “pantang banget lah ya kalo sampe marga perempuannya sama dengan marga suami, tak boleh banget itu”, berarti klo cowok siregar menikah dg cewek siregar juga gak boleh y? atau si perempuan hrs ganti marga dlu ?, mohon “pencerahannya”, halah bahasany
Gak boleh sama, karena itu artinya incest, Tik! Hahaha… Jangankan yang cewek dan cowok yang bapaknya sama2 semarga, Tik. Misal yang cewek, mamanya bermarga Siregar, trus yang cowok, mamanya juga bermarga Siregar, walopun bapak2 mereka marganya beda, tetep aja gak boleh menikah, karena berarti masih dianggap sodara sedarah dari keturunan ibu. Yang boleh itu kalo cowok mamanya bermarga Siregar, trus yang cewek bapaknya bermarga Siregar, baru deh boleh menikah malah dianjurkan 😀
Ganti Marga gak boleh dong. Dikasih marga bisa, tapi ganti marga gak ada itu adatnya karena emang gak boleh 😀
o gtu, tambah pengetahuan lg nih soal “permargaan”, trimaksh penjelasanny 🙂
Hehe..sama-sama Tik 🙂
Hahahaha, pantesan.
Aku pas ke sini pertama kali.
Ada ya marga orang Manado, krones 😛
Ternyataaa…
Pengetahun baru nih tentang budaya minahasa dan batak @_@
Hehe…mmg nama Krones gak terdengar seperti marga Manado 😀
Syukurlah klo bs ngasih pengetahuan baru soal budaya, aku seneng, sama kayak kmrn Una ngajarin juga soal basa walika 🙂
Gak tau kenapa, baca tulisanmu yang ini bukannya merasa bingung, tapi merasa lucu. Lucu aja sama cara penulisannya, jadi geli sendiri, gitu… hihihihi…bayangin keluarga besar Krones diajarin pelajaran Marga sama keluarga Samosir, sementara kalian berdua sebel sendiri karena gak jadi-jadi nikah, hihihihihi…
Weh, kalo aku nama belakangnya diganti ngikut nama suami, jadi Retno Satrio, aneh ih…..
xixixixi.. maap, komennya juga jadi ilang fokus…..
Hihihi…iya, jadi geli kalo ngebayanginnya ya, untung aja gak kejadian kayak gitu 😀
Eh, Retno Satrio juga kedengaran bagus kok No 😀
Cuma mo nanya
kapan ngana pulang kampung ke Jerman
xixixixixxiixixixi………
ato inceran S2 nya di Jerman sana biar mudik sekalian…????
Itu tanggung jawab Ama Rajamin bawa aku pulang ke huta 😛
wah, kt disini kalo ketemu org manado atau yg tahu ttg manado pasti jg di tanya : “Manado mana ngana?” soalnya kt pe fam jg bukan termasuk fam org minahasa… 🙂
E iyo, kalo Kadoena itu fam dari mana One? Kita le dulu pernah ba tanya, ini One ini asli Minahasa ato bukang kang? 😀
Kadoena itu fam dari Poso, Sulawesi Tengah. Kt p Opa asli dari sana, trus menikah dengan Oma yg asli Minahasa. Kt p papa pun so lahir dan besar di Minahasa. Kalu kt pe mama campuran China Minahasa. Jd kt juga so pasti orang Minahasa, walau lahir dan besar di tanah Totabuan (BolMong), hehehe……
🙂
Ooo…dari Poso, pantas 😀
Hahaha…jadi torang dua sama kang, turunan campur2an mar tetap mengaku cewek Minahasa…hihihi
Menyimak penjelasannya sambil berusaha memahami adat yang baru saya tahu. TFS, ya mbak.
Sama-sama, mbak Susi, seneng rasanya bisa berbagi soal budaya gini 🙂
Awalnya, semangat membaca….apalagi pas tau Mba Allisa keturunan Jerman;), beberapa menit kemudian mulai oleng, banyak terms yang sesuatu banget susah untuk difahami, hingga akhirnya nyerah. Beres bacanya tapi no whole understandng. hihihiihi….betu-betul ribets ya Mba….;)
Hahahaha…walo gak sepenuhnya dapat dimengerti, at least u can understand that I can keep my family name as my last name after being married, ya kan? 😀
baru tau kalau krones itu nama fam dari minahasa. keren banget yah. kebule2an gimanaaa gitu.
btw… kebiasaan adat masih berjalan juga yah sampai sekarang. Huhuhuhu syukurlah aku orang palembang. ga ada yang begitu2an 😀
Budaya Batak memang masih banget dipertahankan sampe sekarang, salut juga sih dengan cara warga Batak mempertahankan budayanya 😀
Kalo di Palembang paling yang masih dipertahankan adalah soal gelar-gelar kesultanan ya 🙂
Keluarga siregar pasti mau lah nambah anggota cantik begini hehehe..
Jadi dalam darahmu mengalir banyak bangsa ya Jeng..Pantasan cantik dan pantasan pula menurun pada Rajamin..
Tks ya sdh menuliskan jadi mengerti sekarang bahwa perempuan minahasa gak hatus meninggalkan fam-nya pada nama hanya karena dia menikah dengan fam lain. Aku pikir dulu tak seperti itu, kirain ngikutin budaya Belanda, dimana perempuan akan mengganti namanya jadi nama keluarga suami..
Iya mbak, ni udah gado-gado gak jelas. Dan Raja lebih gado-gado lagi karena udah nambah Bataknya 😀
Iya mbak, memang untuk urusan marga ini, di Minahasa gak nganut budaya luar karena toh hukum negara kita juga gak menganjurkan atau mengharuskan demikian kan…
pengetahuan yang barub aku tahu… informatif sekali
kunjungan pertama
salam kenal dan follback juga ya
Revolusi Galau:Gerakan Hibah Sejuta Buku Blogger
Salam kenal juga, thanks udah mampir ke sini 🙂
baca postingan ini tiba2 keinget dulu pas diklat OJT dulu aq taunya namamu itu krones bukan allisa, taunya marga yahh xiixixixixiii
dan suamiku dulu juga memanggil aku dengan Krones…hadeehhh… 😆
samaaa,, aku juga teteup pake fam tangka di semua surat2 resmi ama kartu identitas walopun uda merit, paling kalo arisan kluarga ato di greja baru jd kel.sarwadji-tangka..
btw, tonsea juga ya, papaku juga tonsea.. 🙂
Papa fam apa, say? Tonsea dari daerah mana? Kalo kita pe mam dari Kawiley 😀
tuh kan bener feelingku. pasti krones itu berbau sesuatu yang buleu-buleu qiqiqiqi 🙂
kalo aku nama prabandono cuman buwat di socmed mba. karna namaku puanjaaang dan susye diinget orang. plus begitu ke sini pun kan kalo kita ngisi apa-apa lebih praktis ajah kalo surname-nya satu. udah gitu kalo nama aseliku dikasih tauk ke buleu, yang ada mulut mereka bisa mletat mletot gag bisa ngomongnya hahaha…mei-d-ya-is-ta-ma-ra-b-di-za-h! dibilang jadi meidyeaisteme…blebeg blebeg blebeg… ah ya sudahlah! 😀
Emang bener nama yang unik itu bikin bangga yang punya ya 🙂
btw itu foto kakek buyut masih ada mba…heibaaatttt!
Hehehe…feelingnya bener 😀
Iya ya, kalo di sana bakal lebih gampang kalo last name suami-istri sama ya, makanya gak heran kalo di sana cenderung lebih suka ganti nama. Kalo di Indo kan gak ada kewajiban kayak gitu, makanya ngapain susah2 ganti nama, hehe,…
Btw, namamu memang syusyeeehhh…aku aja yang wong indo susah ngucapinnya. Bacanya yang bener tuh gimana sih? 😀
Iyaaa…foto buyut masih ada dan masih tergantung di rumah ortu 😀
Puanjang amat ya mbak history nya…sambil nahan+ambil+buang nafas bacanya hihihiii 🙂 tp dr awal ngintip disini nama fam krones nya mbak itu buatku unik soale baru pertama kali tau juga, kan keren tuh kalo unik dan asing didenger org 🙂
Hihi…iyaa..kalo diceritain jadi panjang gini 😀
Nama Krones memang unik, soalnya jarang2 yang pake nama itu di sini 😀
Hai Alll, long time ngga blogwalking huhuhu…
Yap, gw juga nyaman dengan nama gw dan ngga mau diganti dengan marga suami 🙂
Btw, nyokap Tuwaidan? Orang Tonsea juga? Mmmhhh… jangan2 basodara jauh torang 😉
Hi Crey, iyooo…lama skali nda maen ke sini eh 😀
Btw, ngana le ada turunan Tuwaidan? Kalo iyo, berarti betul masih sodara jao torang, soalnya kalo fam Tuwaidan kan belum ada orang ‘luar’ yang ambe, kalo macam fam Sondakh ato Bolang kan so banyak yang pake 😀
Ngana pe sapa yang Tuwaidan dang?
kita pe tante (tapi baru meninggal oct/nov kemarin) :(, iyo jangan2 sih yaaa ahahaha….
Hihi..kalo bagitu, berarti masih sodara jao no katu’ torang 😀
aku pernah diceritain temenku marganya kan ketaren,katanya orang batak mesti kawin sama orang batak juga. kalo enggak dianggap melawan adat. eh bener gak si gitu amat mba?
Gak juga sih, say. Mungkin kalo jaman dulu kali’ bakal dianggap gitu, tapi kalo sekarang kan udah lebih terbuka. Nikah sama orang non Batak bisa2 aja, tinggal milih mau diadatin atau gak pernikahannya. Kalo mau diadatin ya berarti harus seperti aku, diberi marga Batak. Yang cowok non Batak juga kalo nikah sama cewek Batak bisa lho diberi marga Batak 🙂
huaa…sangat menarik sampe bingung mau komen apa lagi ^__^
baca lagi ah belum ngerti hehe
Hihi..penjelasannya njelimet yak? 😀
ooo..
ooo
ooo gitu
jadi gimana tadi?
*scroll lagi ke atas*
mama Radja, keknya lebih seru kalo ceritanya diomongin ya..
anyway, urusan adat tu seru yaa 🙂
Hahahahaha…..sepertinya aku memang gak bakat ngejelasin yang kayak gini ya, yang baca malah jadi susah ngerti…hihihi
sayang di jawa ndak ada nama marga ya. . . . aku mau buat nama marga sendiri ah buat keluargaku nanti. . . . eh mbak katanya klo mau nikah sama orang yang bermarga tinggi harus beli marganya juga yak… dan itu mahal ya katanya. . . ???
Hehe..sekarang udah banyak yang kayak gitu juga kan, nama bapak diturunkan ke anak, contohnya kayak Soekarno atau bapak SBY 🙂
Soal beli marga, memang pas adat paboruhon alias pemberian marga itu, keluarga suami harus memberikan kewajiban2 tertentu ke pihak keluarga besar Siregar, cuma kek mana sistem ‘pembelian’ itu aku juga kurang begitu ngerti. Tapi setau aku, itu tergantung hubungan baik sama keluarga besar marga yang bersangkutan, kalo hubungannya baik dan dekat tentunya keluarga besar marga yang mau ‘dibeli’ itu gak akanlah meminta syarat yang gimana2 🙂
Oooooo….gitu asal usul fam Krones hihihihi. Saya menikah dengan org Batak, tapi gak tahu banyak adat batak *malu. Soal panggilan, sampai saat ini gak ada yang manggil saya BuNas (Bu Nasution) 😀
Maaf ikutan nimbrung,
BunDit gak diangkat boru dari keluarga ayah Dita? (bisa diambil dari marga mama mertua BunDit)
Nanti kalo jadi paboruhon dan adat nikahannya, kami diundang ya Bundit..hehe…
Haha…lucu juga klo dipanggil BuNas gitu ya bund 😀
Kalo Bundit sih pasti bisa cepat belajar 😉
hahaha…emang bener adat batak itu ribet, saya aja yang boru batak suka gak tau kalo ditanya silsilah keluarga. Yang pasti papa saya marga Simamora dan mama diangkat jadi boru Hutahuruk.
Meski gak begitu tau silsilah, yang pastinya saya boru batak dg nama lengkap Dwiyani Arta Simamora *hahaha…gak penting ya?* :p
Hahahaha…ngerti gak ngerti pokoknya kita tetap boru Batak yak 😀
bagus sih kalau ada nama keluarga begitu ya, di Jawa itu sebagian besar nggak ada nama kelurga, aku dulu waktu ngurus surat surat di sini ya lumayan bingung petugasnya karena aku ndak punya nama keluarga
Iya ya mbak, kalo gak ada nama keluarga malah repot ngurus surat-surat di tempat yang mengharuskan ada surename gitu ya mbak
Oohh begitu ya ceritanya..
pantesan..
Ngacung deh,sempet bingung juga kemaren apalagi masalah naman hihihi..
Hehe..sempat mengira juga kalo saya seharusnya setelah menikah bermarga Samosir ya mbak? 😀
Jeng, dah pernah baca 10 suku israel yang hilang belum (bisa baca di wikipedia). Kalo bang poltak tu, termasuk batak toba bukan sih? kalo iya, bisa jadi dirimu menikah dengan keturunan israel ^^
Hehehe…iya sih kata orang2 suku Batak Toba tuh masih keturunan Israel 😀
Keturunan Israel atau bukan, yang pasti bersyukur banget karena Tuhan juga memberikan keselamatan untuk bangsa lain ya jeng 🙂
Kalo menurut tulisan di sini :
http://www.eastlightning.com/2011/06/24/gerbang-emas-israel-dan-hubungannya-dengan-nubuatan-atas-indonesia/
Setelah bangsa-bangsa mendengar kabar baik, kabar baik itu akan kembali lagi ke asalnya dengan dibawa oleh negara yang mempunyai simbol burung. Tebak negara manakah itu? => ni komen kok ga nyambung ya ^^
yang punya simbol burung: Indonesia, Jerman, Meksiko, Mesir dan AS 😀
wah tulisan yang bagus
Terima kasih 🙂
Sama2
Salam kenal Mbak Alissa, aku juga orang Manado, pacarku Batak. Kisahnya menarik sekali mbak. Mbak Alissa beruntung sekali. Lain hal-nya, aku susah sekali untuk masuk ke jenjang yang lebih jauh karena perbedaan sifat kami dan keluarganya yang menuntut dia untuk nikah dengan sesama batak. Ada masukan gak yah mbak kira-kira gimana paling gak untuk menembus dinding perbedaan suku ini? Lalu, kalo boleh tau, proses pemberian marga siregar ini detailnya gimana yah mbak? terima kasih mbak (: God bless!
Halo, salam kenal juga 🙂
Terus terang, aku gak pinter ngasih saran soal beginian.
Tapi kalo seandainya aku ada di posisimu, pertama aku akan evaluasi dulu gimana hubunganku dengan si dia dan ngeliat sikap dia apakah bener-bener mau ‘membimbing’ kita dan mengusahakan agar kita bisa masuk ke lingkungannya. kalo dia sendiri kurang membantu atau kurang keliatan gregetnya, aku keknya bakal mikir-mikir lagi deh, soalnya bakal susah nanti masuk ke lingkungan adat yang ketat plus lingkungan keluarga baru yang butuh banget banyak sekali penyesuaian tanpa dukungan penuh dari suami kita…
Kedua, kalo yang pertama di atas udah oke, aku akan lihat gimana reaksi keluarganya. Di sini perlu pendekatan dan banyak penyesuaian dari diri kita sendiri, karena ceritanya kan kita yang masuk ke keluarga dia dan buat aku di kondisi kayak gitu harus aku yang berusaha menyesuaikan diri. Cuma kalo setelah lewat upaya pendekatan tetep aja gak ada lampu ijo dari keluarganya, aku bakal milih mundur, karena prinsip aku, aku gak akan mau membuat seorang anak harus terpisah dari orang tuanya karena memilih aku 🙂
Ketiga, tentu selalu berdoa dan mau peka sama suara Tuhan, apakah kita benar berjodoh dengan dia atau gak 🙂
Kalo soal pemberian marga, detailnya sih panjang ya, cuma intinya aku diangkat sebagai anak perempuan dari tulangnya (sodara laki-laki ibunya), jadi aku menjadi boru tulang yang mana dalam ketentuan adat Batak, baiknya dia memang menikah dengan boru tulangnya. Pengangkatan marga ini pake acara adat juga 🙂
Kak Allisa, aku suka banget baca blognya, menarik banget kehidupan keluarga mbak. Semoga kakak, suami, ade Raja, dan keluarga besar boleh terus diperlindungan Tuhan. Kampungnya di Manado dimana kak kalo boleh tahu? Aku juga Manado, Gaghana – Rawung. Papa sangir, mama dari sonder bawah hehe. Salam kenal 🙂
Halo, Vania…salam kenal juga neh…kita di Manado di Lapangan say 🙂
Amiiinn…makase ne, may God bless u always too 🙂
Ble mo gabung 😀
Shalom kak Allisa Yustica Krones br Siregar…Horas…
Berarti udah mantap lah bahasa Batak kakak ya…
Saya jg orang Batak, dan kerinduanku sangat besar pendamping hidupku orang Manado. Bisa ga kita membahas lebih jauh mengenai kebudayaan dan adat Manado kak ?
Shaloomm dan horas!
Wah, pengen punya istri orang Manado yaa? Kalo kebudayaan dan adat Manado sih gak yang gimana2 ya, cuma tetep butuh penyesuaian di beberapa hal. Contohnya kalo di Batak kan nikahnya di tempat pengantin pria, sementara di manado lazimnya pernikahan itu dilaksanakan di tempat wanita, jadi ya hal yang tampak kecil seperti itu musti dibicarakan sejak awal…
wah, kalo begitu masalah ke orang tua lah mungkin yang agak susah ya kak, soalnya jujur kalau budaya batak anak laki-laki itulah penerusnya, tetapi mungkin betul apa yang kakak bilang, apabila dibicarakan dari awal pasti ada solusinya
Doakan lah ya kak, kerinduanku sudah bulat harus punya pendamping hidup dari manado, tetapi tidak akan menghilangkan adat dan kebudayaan kedua-duanya
Iya, memang agak susah, makanya musti dibicarakan baik2
Btw, si calon pendampingnya sendiri sudah ada belum? Marga/fam apa kah?
Salut banget da,..seneng banget juga dgn prinsip2 yg eda pegang. Sptinya pola pikir kita ada kemiripan, hehehe…
Soalnya pas baca2, ada perasaan: kok bisa sama dgn apa yg aku pikirkan & rasakan yah? Kirain slama ini hanya aku sendiri yg brpikir spti itu (cth: pernikahan bukan soal pesta atau apapun, tapi persatuan 2 orang di hadapan Tuhan). Trnyata ada yg brpikir bgitu juga, jdi senengg bangett 🙂
Many thanks utk sharing2 yang ada dlm blog ini, byk pelajaran positif yg bisa diambil, bisa belajar utk jdi calon ibu yg baik & benar utk calon anak juga.
All the best ya da 🙂 GBU
Many thanks juga udah baca2 ya da…. God bless u too da 🙂
Acara pernikahan kakak dulu berlangsung di Sulawesi kan, seperti yg kakak bilanh td, umumnya dlm budaya manado itu pernikahan dilangsungkan di tempat pihak wanita. Jd, kalau pihak laki2 meminta dilaksanakan di tempatnya, apalagi di luar Sulawesi, apakah ada hal yg diurus atau diminta oleh keluarga pihak wanita menurut budaya manado yg ada ?
Kalo menurut adat/budaya Minahasa (Manado) ada yang namanya Balas Gereja (untuk yang Kristen ya), jadi misalnya pernikahan dilaksanakan di tempat laki-laki, seminggu kemudian (atau terserah kapan) ada Balas Gereja-nya yang artinya ada acara juga (yang biasanya tidak semeriah pernikahan) yang diselenggarakan di tempat pengantin wanita. Ini tujuannya supaya masing-masing keluarga besar, kerabat, kenalan, termasuk pihak gereja yang tidak melakukan pemberkatan nikah bisa mengenal kedua pengantin (terutama pihak besan). Begitu juga sebaliknya jika pernikahan dilaksanakan di tempat pengantin wanita, nanti ada Balas Gereja-nya di tempat pengantin pria 🙂
Ini yang biasanya berlaku ya, tapi masing-masing keluarga kan ada keinginan dan harapannya sendiri-sendiri 🙂
Gitu ya kak, thanks buat infonya.
Tp balas gereja bukan berarti dua kali pemberkatan nikah kan ?
Oya, banyak yg bilang wanita manado itu seperti ubi yg dikupas, putih-putih sih… Kakak setuju kah ?
Balas Gereja bukan pemberkatan nikah, hanya sekedar perayaan saja supaya lebih saling kenal 🙂
Iya, istilah itu mmg ada, tapi yg putih2 bukan cm orang manado, dari daerah lain jg banyak sekali yang putih2 🙂
Tabea Allisa, salam kenal. Nama saya Lindy Rotinsulu. Boleh komentar sedikit ya tentang nama fam.
Sepengetahuan saya selama ini (saya umut 53 thn) nama perempuan Menado setelah menikah ada perubahan.
Contoh, mama saya fam Wenas. Ketika menikah dengan papa saya, maka mama saya disebut XXX Rotinsulu-Wenas (model Belanda), bukan XXX Wenas-Rotinsulu (model Amerika). Secara keluarga kami disebut Kel. Rotinsulu-Wenas. Tapi secara individu ayah saya tetap Rotinsulu, anak-anaknya YYY Rotinsulu, ZZZ Rotinsulu, dst. Hanya mama saya yang berhak memakai fam Rotinsulu-Wenas (pakai hyphen/dash/garis pendek, tidak terpisah).
Apakah secara legal diganti atau tidak, saya gak ngerti juga. Tapi secara kebiasaan nama fam suami dipakai , dengan aturan urutan & penulisan seperti contoh. Mengapa pakai cara Belanda? Ya karena secara historis Belanda yg masuk duluan. Tapi secara filosofis bedanya Belanda dengan Anglo-Saxon adalah ketika mencantumkan fam suami belakangan seperti model Amerika secara psikologis lebih gampang karena tinggal keluarin yang di ujung; tapi model Belanda lebih susah karena di tengaj 🙂
Anyways, saya punya foto-foto kepala nisan dari akhir abad 19 dan awal 20 yg menujukkan bahwa ketika meninggal kebiasaannya adalah untuk perempuan Menado dicantumkan nama seperti contoh mama saya di atas, memakai fam suami. Sayang saya tidak tau cara uploadnya. Saya bisa kirim via imel kalau diperlukan.
Salam,
Lindy
Tabea tante Lindy (kita pangge tante karena amper satu umur dengan mama 🙂 ) .
Makasih banyak untuk pencerahannya ya, maafkan lah generasi yang lebih muda ini yang mulai tidak paham sejarah dan adat istiadat 😦 .
Memang sebenarnya kalau diingat-ingat, beberapa tokoh perempuan Manado memang menggunakan fam suami di depan fam asli, misalnya Maria Walanda-Maramis, Dr. Anna Karamoy-Warouw, dan sebagainya. Cuma memang sepertinya adat seperti itu mulai ditinggalkan ya, jaman sekarang rata-rata perempuan meski sudah menikah tetap menggunakan fam asli tanpa embel-embel fam suami, mungkin juga karena faktor tidak ada kewajiban hukum penggantian fam oleh karena pernikahan seperti itu.
Sekali lagi terima kasih ya tante Lindy, Tuhan memberkati 🙂 .
PS:
Kalau berkenan bisa kirim via email, tante, ke kronesallisa@yahoo.co.id 🙂
Shalom kak Allisa 🙂 Namaku Fanny, salam kenal kak:) (Sebenarnya trg dua amper sama noh kak, tumbuh besar di Minahasa kong suka ja mngaku org Minahasa mskipun nda sepenuhnya Minahasa. Btw kita pe mum Tontemboan)
Begitu liat post ini, aku ngerasa kek ada pencerahan batin gitu :)) Aku juga pen bgt punya pendamping orang batak karena selama ini aku tinggal dgn org batak. Cuman ya itu, marga. Aku juga punya fam kk, apa fam ku itu wajib diganti atau tidak?? Kalo diganti nggak enaklah aku sama keluarga pihak papa kak. Tapi kk kok bisa ttp pakai fam Krones meski ada tambahan di belakangny br. Siregar?? Enak kali yah kk kalo seandainya fam ku nggak mesti diganti dan cuma disisipin aj boru ap gitu di belakang namaku. Aku agak keliru gitu kk, kata kerabatku di tempat aku tinggal (org batak br. Lumbantoruan) famku mesti dihapus dan hrs diganti dgn marga pariban suamku kelak. Yg bener yg mana yah kk? Btw makasih loh kk udah post sesuatu yang sangat bermanfaat kek gini 🙂
Pemberian marga gak akan mengganti fam kok. Hanya berlaku dalam lingkungan adat Batak aja. Dalam keseharian ya fam kita tetap melekat dgn kita. Mau itu di akte, di KTP, di manapun, kita tetap pake fam kita aja.
Sama2 makasih yaaa